tIDUR TERPISAH
Tidur Terpisah
"Mama nggak enak sekali tahu pengantin baru ini terpaksa pulang."
Riri berhenti memotong buah pir hijau, buah kesukaan Putih. Dia mengangkat kepala ke ibu mertuanya yang bergabung dengannya di meja makan.
"Tante kerepotan menjaga Putih. Tentu aku dan Jendra nggak bisa nyaman menginap di hotel," balas Riri sembari tersenyum.
"Duh, kamu masih terbiasa memanggil tante. Panggil mama aja, Ri. Seperti Jendra." Riri yakin baru kemarin pagi, dia dipaksa memanggil mama dan sekarang itu terjadi. Sepertinya tidak ada orang yang peduli sikap terburu –buru mereka membuat Riri tertekan.
"Iya, Ma." Riri menekan perasaannya dan melakukan apa yang diinginkan Anna.
"Gitu dong. Jangan sungkan sama Mama. Sekarang kamu anak Mama juga." Anna berbalik ke sofa set yang menghadap televisi. "Putih sini. Pir kamu udah dipotong Mama Riri nih."
Bola mata Riri nyaris lepas dari tempatnya. Anna begitu santai memposisikannya sebagai mama Putih tanpa berdiskusi dengannya. Memang dia dinikahkan dengan Jendra untuk alasan Putih butuh pengganti sosok Nadya, tapi biarkan Putih menerima keberadaannya dan perannya secara perlahan.
Kalau begini, tak heran Putih mendekat dengan kebingungan tercetak jelas di wajah. "Mama Riri? Siapa Mama Riri?"
"Itu loh." Anna menunjuk Riri antusias.
Putih memandang Riri dan Anna heran. Anak tiga tahun itu tampak tidak setuju. "Ini Tante Riri, bukan Mama Riri."
"Kamu panggil mama ke Tante Riri mulai sekarang. Tante Riri jadi ibunya Putih." Anna menjawab sembari mengangkat Putih ke pangkuan.
"Mamanya Putih itu Nada." Putih masih kesulitan menyebut Nadya. Dia terbiasa menyebut Nada.
"Mama Nadya tetap mamanya Putih. Tapi mulai sekarang mamanya Putih nambah satu. Ada Mama Riri," Anna masih mendebat.
"Bukan Tante Riri lagi?" Air mata menggenangi mata Putih.
Riri merasa Putih salah menanggapi ucapan Anna. Dia berusaha memperbaiki suasana. "Putih kayaknya bingung dengan panggilan Mama Riri. Kalau Putih belum siap, sebaiknya jangan dipaksa, Ma," Riri berkata ke Anna.
"Gitu, ya?" Anna memandang Putih, lalu mengelus kepala anak itu dengan sayang. Putih memang sangat menggemaskan. Sosoknya adalah foto kopi Jendra dalam versi perempuan. satu – satunya jejak Nadya adalah mata bulat hitam yang sangat menawan.
"Kalau panggil ibu, gimana?" Anna belum menyerah.
"Itu kan manggil nenek." Putih bermaksud menyebut panggilan ibu adalah yang digunakan untuk memanggil Dewi, panggilan yang biasa dia dengar dari Nadya dan Riri.
"Kalau panggil Bunda Riri, kamu mau dong." Anna menggelitik perut Putih sampai anak itu tertawa renyah.
"Wah, suaranya terdengar bahagia banget. lagi main apa?" Dewi datang bersama Nur, asisten rumah tangga sekaligus pengasuh Putih.
"Putih sudah nentuin mau panggil Riri apa. ayo, kasih tahu nenek panggilannya apa." Anna menoel pinggang Putih dan membuat anak itu tergelak kecil.
Putih lompat dari pangkuan Anna, berpindah ke kursi di sebelah Riri. "Panggil Bunda Riri!" seru Putih.
"Sudah punya panggilan sendiri buat ibu baru," komentar Dewi.
Nur menoel pipi tembam Putih. "Bunda Riri punya siapa? Punya Mbak Nur, ya?"
"Bukan dong. Bunda Riri punya Putih," jawab Putih.
"Nggak, ah. Bunda Riri punya Mbak Nur," Nur menggoda lagi.
"Punya Putih dong. Kalo Mbak Nur nakal, Putih kasih tahu papa biar Mbak Nur kasih cabe," ancam Putih.
"Walah, Mbak Nur dikasih cabe malah senang. Dimakan sama gorengan bakwan jagung."
"Mau bawan jagung," rengek Putih yang tergoda ucapan Nur.
"Putih suka makan bakwan jagung, Ri. Kalau susah makan, ancam aja nggak kasih bakwan jagung. Tapi ada Nur. Dia itu hapal banget kelakuan Putih dan bisa bantu kamu," kata Anna.
"Kalau ada yang nggak kamu paham, telpon Ibu aja," Dewi ikut berbicara.
Riri hanya mengangguk kalem. Kemudian dia menyodorkan buah potongannya ke Putih. Sebelum Putih mencomot sepotong, Riri menahan. "Cuci tangan Putih pakai sabun dan air."
"Nggak kotor tuh." Putih menunjukan telapak tangannya dengan yakin.
"Kuman dan bakteri nggak kelihatan, tapi kalau masuk ke perut kamu terus mereka gigit – gigit perut kamu, kamu bisa sakit. Menurut kamu, sakit itu enak?" balas Riri.
"Nggak enak." Putih memeletkan lidah. Dia turun dari kursi dan mencuci tangan didampingi Nur.
"Jujur, Mama tenang tahu kamu yang akan merawat Putih dan Jendra. Mama nggak terpikir ada orang lain yang lebih baik selain kamu," Anna tiba –tiba berbicara.
"Sudah, Mbak Anna, jangan sedih lagi." Dewi meremas bahu Anna ringan.
"Kecelakaan itu mengubah Jendra dan Putih, Dew. Kamu lihat sendiri, kan? Putih selalu cemas setiap ditinggal Jendra. Dia terlalu kecil untuk mengalami kejadian sedrastis menjadi anak piatu. Lalu Jendra seperti mengubur diri dalam pekerjaan. Berpura –pura kuat, padahal dia lupa mengurus diri."
"Mama berlebihan." Tahu –tahu Jendra muncul di situ.
"Mama memperhatikan kamu dan Putih. Mama tahu apa yang terjadi," sahut Anna tidak mau dibantah.
Jendra hanya buang muka sembari berlalu ke kulkas. Lantai dua terdiri dari tiga ruangan. Ruang rekreasi dengan pantri kecil untuk beristirahat karyawan Jendra, dapur sekaligus ruang TV untuk keluarga, dan kamar mandi kecil. makanan di ruang rekreasi tidak boleh dimakan keluarga karena bisa saja itu milik salah satu karyawan, begitu pula sebaliknya. Cara ini diberlakukan untuk menjaga batas kenyamanan masing –masing. Jendra memilih mengambil minuman dingin di dapur karena alasan kenyamanan.
"Ri, pakaian dan barang –barang kamu sudah Ibu dan Mama Anna bereskan di kamar. Kalau ada yang kurang, bilang saja. Nanti Ibu kirim ke sini."
"Makasih, Ibu. Makasih, Mama Anna. Aku terbantu banget."
"Jangan sungkan, Ri," balas Anna.
"Bunda!! Tangan Putih udah bersih!" Putih datang dengan wajah ceria. Bajunya sudah ganti yang baru.
"Loh, bajunya ganti?" tanya Anna.
"Cuci tangannya nggak kelar –kelar, malah air nyiprat baju. Katanya, takut kuman masih idup. Cuci tangan sampai empat kali. Terpaksa ganti baju," cerita Nur.
"Aduh, cucu Nenek takut makan kuman di tangan."
"Nggak mau sakit. Kata bunda, sakit makan kuman." Putih kembali memeletkan lidah. Dia duduk di kursinya lagi, lalu mencomot sepotong buah dan melahapnya suka cita.
Semua orang di sana senang menyaksikan Putih makan. Tanpa mereka sadari ada satu orang yang merasakan kegetiran melihat keakraban itu dan memutuskan naik ke lantai tiga. Riri baru menyadari kepergian orang itu saat ponselnya mendentingkan notifikasi pesan masuk.
Jendra:
Ngomong sebentar di kamar sekarang, kak!
Riri bingung, tapi dia tetap menyusul Jendra ke lantai tiga. Dia masuk kamar tidur Jendra yang menurut Dewi dan Anna adalah kamar tidurnya juga.
"Tutup pintunya," perintah Jendra begitu Riri masuk. Riri menuruti,
"Ada apa?"
Jendra menatap Riri kesal. "Apa nggak terlalu cepat Putih manggil Kakak bunda?" Jendra bertanya tanpa basa – basi.
Riri mendesah. Ternyata itu ketidaksukaan Jendra. "Mama kamu yang ajari Putih manggil aku bunda," jawabnya kalem.
"Nggak harus sekarang. Kakak kan bisa nolak mama maksa Putih."
"Kalo Putihnya sendiri mau, aku nolak yang ada aku mencurigakan."
Jendra masih tidak puas. Terlihat sekali di wajahnya. Tapi Riri enggan membuat terlalu banyak perdebatan di hari pertamanya tinggal di sini. Bagaimana pun Riri masih merasa menumpang tinggal.
"Kita harus buat kesepakatan soal tidur nanti malam," kata Jendra lagi.
"Kesepakatan bagaimana?" Diam –diam, Riri menduga akan ada kesepakatan soal pernikahan mereka yang terpaksa. Sejak awal Riri tidak yakin Jendra akan mau hidup bersamanya di saat hatinya masih mencintai Nadya.
"Menurut Kakak, kita akan tidur bareng?" Jendra mendesiskan pertanyaan itu dengan nada meremehkan.
Riri merasakan hujaman di dada yang membuat sesak dan sakit. Sebegitu burukkah dia? Kemudian Riri memasang topeng, menggeleng dan tersenyum.
"Bagus. Kakak pintar. Kita nggak mungkin tidur bareng. Jadi, kita harus punya kamar terpisah. Aku akan atur Kakak tidur di kamar Putih. Aku dan Putih akan tidur di sini. Kita nggak usah bilang mama dan ibu. Nur juga nggak akan tahu. Dia pulang tiap sore."
Jendra berbicara begitu lancar seolah dia sudah menyiapkan segala pengaturan sejak awal. Riri seperti diseret mengikutinya tanpa repot ditanya pendapat. Ya, siapa yang mau mendengarkan pendapat Riri.
"Kamu aja yang tidur di sini. Putih udah biasa tidur di kamarnya, biar aku yang tidur bareng Putih. Aku bisa bantu jaga Putih saat malam," usul Riri. Dia bisa bersikap tenang walah hatinya merontakan kesakitan. Inilah penolakan yang dia takutkan.
"Oke. Besok, kita akan buat kontrak pernikahan. Isinya perlu kita rundingkan." Jendra keluar setelah berbicara.
Riri melafalkan kata 'kontrak pernikahan' dalam hati. Dia memang menduga akan ada penolakan yang diberikan Jendra padanya, tapi mengapa harus sampai ada kontrak pernikahan?
Mengapa harus sejauh itu?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top