RUMAH MEREKA


RUMAH MEREKA

Riri melirik Jendra penasaran. Setelah dia mandi, Jendra sedang Aku mau ke kamar mandi. nggak apa-apa ganti pakaian di sini, kan?

Riri mengiyakan. Sebenarnya ada rasa was was seandainya Jendra keluar saat Riri sedang memasang pakaian dalam. Menghindari hal memalukan itu terjadi, Riri cepat – cepat memakai baju sembari memasang telinga kalau-kalau Jendra keluar dari sana.

Beruntung Jendra butuh waktu lebih dari lima belas menit di kamar mandi. saat pria itu keluar, Riri sudah berpakaian dan berdandan ala kadar.

Jendra keluar kamar mandi mengenakan bathrobe. Riri menghela napas penuh syukur. Aneh sekali jika dia harus melihat Jendra berkeliaran kamar dengan selembar handuk di pinggang. Jendra mengambil pakaian di lemari.

"Kita check out pagi ini," katanya.

"Pa- pagi ini?" Riri tidak bisa menahan kebingungannya.

"Putih nangis semalaman karena nggak lihat aku. Dia pikir aku pergi seperti Nadya." Nada getir di suara Jendra sangat ketara. "Kita pulang sekarang. Sarapan di rumah aja."

Riri segera berdiri. "Kalo gitu aku bereskan pakaian kita, ya?"

Sekejap ekspresi Jendra menggelap. Kemudian dia membalik badan ke kamar mandi tanpa menjawab. Riri memandang pintu kamar mandi yang tertutup. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Andai Nadya, pertanyaan itu tentu tidak perlu diutarakan. Nadya adalah istri tercinta Jendra, dia diperbolehkan melakukan apapun demi kebaikan Jendra. Namun Riri adalah orang asing yang ditarik masuk dalam kehidupan Jendra. Sekalipun Riri dan Jendra sempat menyandang status sebagai ipar selama bertahun – tahun, bukan berarti mereka adalah keluarga akrab.

WMW

Nadya membawa kabar bahagia ke rumah pada Sabtu malam, tepat setelah dia dan Jendra berkencan. Dewi menyambut suka cita kabar itu. Ayahnya bersikap sebaliknya. Riri memilih tersenyum dan memberikan selamat tanpa mau ikut campur perbedaan pendapat Dewi dan Ali, ayahnya. Nadya kesal pada respons Ali dan mengurung diri di kamar. Dewi menyusul Nadya untuk menenangkan putri bungsunya. Malam itu, Riri duduk di depan TV, menemani Ali yang tampaknya dilarang tidur sekamar dengan Dewi.

"Bukannya Ayah mau larang Nadya menikah, tapi kenapa harus buru – buru? Dia baru 23 tahun, Ri," Ali berbicara tanpa dipancing. Sepertinya Ali membutuhkan sepasang telinga yang mau mendengarkan pendapatnya, alih – alih mengencangkan urat leher.

"Nadya masih punya perjalanan panjang. Pernikahan bukan selalu tujuan akhir manusia. Malah pernikahan bisa berjalan jauh dari harapan," Ali meremas tangan Riri, "kalau Ayah boleh jujur, Ayah lebih senang kalau kamu yang menikah duluan."

Riri diam sambil memandang Ali. Dia sudah berumur 26 tahun, umur yang cukup untuk menikah. akan tetap dengan siapa? Riri tidak dekat dengan pria mana pun. Selama ini dia serius menjalankan usaha warung makannya, kendati mendapat penolakan keras Dewi. Riri berusaha menjadikan warung makannya sukses sampai lupa waktu dan bersenang – senang untuk kenal pria.

"Jadi, itu alasan kamu larang Nadya menikah?" suara marah Dewi sontak mengejutkan Riri dan Ali.

"Jangan menarik kesimpulan sepihak, Dew," Ali memeringati.

Dewi melotot pada Riri, lalu dia mendengkus. "Kalau Nadya harus menunggu Riri nikah, bisa bertahun – tahun. Itu pun kalau benar Riri bertemu jodohnya dalam beberapa tahun."

"Dewi! Jaga ucapan kamu!" Ali berdiri dengan wajah garang.

"Aku nggak salah," sanggah Dewi. "Kamu yang bersikap seenaknya terhadap masa depan anak. Kamu bisa menjamin pacar Nadya masih mau menunggu sampai Riri menikah?"

"Keras kepala," gumam Ali.

Riri menunduk. Dia tidak berani bergabung dalam percekcokan orang tuanya. Nadya lebih vokal, tapi Nadya sedang mengurung diri.

"Ya sudah, suruh Jendra datang ke sini bersama orang tuanya. Pastikan dia punya niatan baik menikahi Nadya dan nggak akan menyakiti istrinya kelak," kata Ali akhirnya.

"Jendra pasti datang, Yah!" seru Nadya. Kepalanya melongok dari balik pintu kamar.

Ali mengibaskan tangan, lalu bergegas ke kamar tidur. Nadya bersorak kegirangan di dalam kamar. Riri membungkam bibir rapat – rapat di bawah tatapan tajam Dewi. Dia tidak bergerak sedikit pun. Ketikan Dewi masuk ke kamar Nadya, barulah Riri sanggup bernapas lega.

Kilas kejadian itu terasa baru kemarin. Riri masih ingatan kegembiraan Nadya yang dilamar Jendra, juga pertengkaran orang tuanya, dan apa yang terjadi setelah itu. tentu yang terjadi adalah Jendra datang bersama keluarganya untuk melamar Nadya.

Mengapa Riri yang duduk di sebelah Jendra dalam mobil SUV putih ini?

Harusnya Nadya!

Harusnya Jendra bersama Nadya!

Kecelakaan enam bulan lalu yang membuat segalanya jungkir balik. Duka keluarga yang berusaha diobati dengan pernikahan Riri dan Jendra.

Riri melirik Jendra yang fokus pada kemudi. Pria tidak seceria dalam ingatannya sejak kemarin.

Ya, apa yang bisa Riri harapkan? Jendra pun pasti dipaksa menikah dan butuh waktu membiasakan diri.

Riri harus maklum.

Mobil yang mereka tumpangi berbelok ke deretan ruko bergaya klasik Eropa. Dua pilar besar dan tinggi berdiri di tiap pelataran depan ruko, membuat kawasan ruko itu tampak lebih homey. Jendra menghentikan mobil di depan ruko berwarna putih yang atapnya berwarna biru. Semua ruko terdari dari tiga lantai dengan empat jendela pada masing – masing lantai. Pintu depannya ganda dengan teras kecil dan sepasang pilar yang tingginya menjangkau atap. Pada tiap lantai terdapat balkon kecil.

Riri ingat pernah datang beberapa kali ke ruko putih ini. ruko yang menginspirasi nama anak Jendra dan Nadya. Ruko yang menjadi tempat tinggal pasangan itu setelah menikah. ruko dijadikan kantor Jendra di seluruh lantai satu dan sebagian lantai dua, tapi lantai tiga adalah area privasi keluarga kecil mereka. Riri masih ingat betapa bangganya Nadya pada pencapaian Jendra yang berhasil membeli ruko ini di usia muda tanpa bantuan orang tua.

"Ayo turun," kata Jendra.

Kali ini, Riri akan datang ke rumah mereka tanpa disambut Nadya.

Nad, Kakak datang ke rumah kesayangan kamu. Kakak akan berusaha jaga dan rawat rumah ini sebaik – baiknya. Dari sana, bantu doa ya.

Jendra mencekal siku Riri sebelum membuka pintu. Riri batal keluar mobil.

"Nanti ada Mama di sana." Jendra merujuk pada panggilan Anna, ibunya. "Mungkin ada Ibu juga." Sekarang Jendra menyebut Dewi.

Riri mengangguk, walau tidak bisa menebak maksud ucapan Jendra yang tiba – tiba. Sepanjang jalan mereka hanya diam tanpa didampingi musik apapun. Riri bahkan sudah mengingat banyak sekali kenangan bersama Nadya.

"Kita harus pura – pura mesra biar mereka nggak resek," lanjut Jendra.

Mendengar kata 'pura – pura', Riri mengantisipasi sesuatu. Badannya tegang. Dia menyimak ucapan Jendra berikutnya.

"Kalo mama atau ibu nanya soal semalam, senyum aja. Nggak usah jawab. Kalo masih dipaksa, Kakak suruh mereka tanya ke aku aja."

"Kenapa?" Riri bertanya dengan getir.

"Karena nggak mungkin kita melakukan apa yang mereka pikirin," sentak Jendra.

Riri menepis tangan Jendra. "Yang aku maksud kenapa aku harus suruh mereka tanya ke kamu. Aku sudah tersenyum, kalau mereka nggak puas, aku bisa menghindari mereka dengan cara lain. Aku nggak harus lempar ke kamu."

Pintu ruko terbuka. Dari dalam, muncul Dewi dan Anna. Benar dugaan Jendra, ada mereka yang menunggu. Riri menarik napas, lalu berbicara, "Tenang aja, Jen. Kakak tahu harus gimana bersikap di depan tante dan ibu."

Jendra tersenyum lega. Sebaliknya, Riri merasa terpukul. Jendra sudah mengatakan mereka nggak mungkin melakukan apa yang orang tua mereka pikirkan. Riri mungkin perawan, tapi dia paham maksud Jendra adalah berhubungan badan.

"Makasih, Kakak paham situasiku."

Riri mengangguk.

"Untuk sementara, kita pura-pura mesra dan baik – baik. aku akan cari cara bikin mereka paham kalau kita nggak mungkin bersama."

Riri mungkin tersenyum dan mengangguk. Jauh di hatinya, dia tertampar. Ternyata, Jendra punya rencana sendiri untuk mereka.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top