kontrak

Kontrak sepasang suami istri

Pada lantai tiga ruko itu terdapat dua kamar tidur. Satu milik Jendra dan yang lebih kecil untuk Putih. Selain itu ada kamar mandi, sedikit ruang untuk duduk-duduk di atas karpet, dan ruang menjemur. Khusus ruang menjemur, atapnya terbuat dari material khusus yang tembus cahaya matahari tapi tidak tembus air hujan. Malam itu, setelah Dewi, Anna, dan Nur pulang, Riri menemani Putih bermain di ruang duduk lantai tiga. Jendra sedang turun memesan makanan dari pedagang gerobak yang sering mangkal di trotoar depan, sekalian mengunci pintu depan. Riri menggunakan kesempatan ini untuk bicara berdua dengan Putih.

"Putih, nanti kita tidur bareng. Gimana?"

"Putih bobo bareng Bunda dan papa?" tanya Putih.

Riri menggeleng. Sebenarnya akan sangat menyenangkan jika Putih bisa tidur di antara dia dan Jendra. Membagi waktu malam bersama bisa saja mendekatkan mereka dan membantu Riri mendapat tempat di keluarga ini. sayangnya, Jendra berpikir berbeda. Pria itu ingin Riri tetap pada posisinya sebagai orang asing.

"Papa Putih tidur di kamar sendiri. kita aja yang tidur berdua," jawab Riri.

"Nanti kita ngomong princess yuk," usul Putih.

"Boleh. Tapi kita aja yang ngomongin princess. Papa nggak usah diajak." Riri menempelkan telunjuk ke bibir.

Putih menirukan. "Kita aja," bisiknya dengan sepasang mata penuh antusiasme.

Riri tenang sudah berhasil memperoleh persetujuan Putih. Sekarang dia mengganti pembicaraan sebelum Jendra datang dan berpikir dia sedang meracuni Putih. "Boneka ini namanya siapa?" tanyanya.

"Nama?" Putih memandang Riri heran. "Nggak ada namanya. Boneka aja."

"Oh gitu," Riri memandang boneka kucing yang tampak menjadi favorit Putih dari semua boneka lain, "dulu Bunda punya boneka namanya Roti."

"Bentuknya kayak roti?" tebak Putih.

"Bukan." Riri tertawa kecil. dia masih anak-anak waktu itu dan senang memberi nama ke boneka kesayangannya menggunakan nama makanan. "Itu boneka lumba –lumba beli di Ancol. Bunda namakan Roti soalnya pas Bunda dikasih sama kakek, Bunda lagi makan roti."

"Kok bukan kasih nama lumba-lumba aja?"

"Bunda ada boneka bayi, rambutnya pirang, Bunda kasih nama Lulu. Matanya bisa kedip-kedip. Lucu banget."

"Bonekanya hidup?" Putih memang tahun ini tiga tahun, tapi dia sudah sangat cakap menanggapi pembicaraan orang dewasa. Kebiasaannya mengobrol dengan orang dewasa mengembangkan nalarnya dalam komunikasi.

"Bonekanya nggak hidup. Matanya aja bisa kedip-kedip sendiri gitu."

"Putih nggak punya." Putih mengelus boneka kucing di pelukannya.

"Nanti kita cari boneka lucu buat Putih. Bunda yang belikan."

"Beneran, Bunda?!"

"Benar."

"Makan yuk." Jendra muncul bersama satu kantong plastik di genggaman.

"Asik makan!"

Malam itu, mereka bertiga makan dengan tenang. Sebagian besar celotehan diisi obrolan Putih dan Jendra mengenai tayangan kartun yang mereka tonton selama makan. Riri menahan diri tidak bergabung dalam percakapan kecuali ditanya Putih. Dia merasa perlu membatasi diri selama ada Jendra.

MWM

"Lagi apa?"

Riri menghentikan kegiatannya memotong sayur, rencananya dia mau memasak sayur dan menggoreng ikan untuk sarapan. "Mau masak," jawabnya.

Jendra melirik hasil kerja Riri sejenak. "Lanjut nanti aja. Mumpung Nur sudah datang, dia bisa jaga Putih. Kita harus bahas beberapa hal di kamar. Ayo ke atas."

Beberapa hal yang dimaksud Jendra pasti berkaitan apa yang dia omongkan kemarin. Riri meninggalkan kesibukannya, mencuci tangan, dan segera menyusul Jendra ke atas.

"Aku sudah buat draft peraturan selama kontrak. Kakak bisa baca dulu. Kalau ada yang mau ditambahkan, bilang saja." Jendra menarik kursi ergonomis di depan meja kerja yang ada di kamar tidurnya. Meminta Riri duduk di situ.

Riri duduk, lalu membaca ketikan Jendra di laptop. Pasal –pasal dalam kontrak sesuai bayangannya. Tidak ada keharusan kontak fisik, tidak saling mencampuri urusan pribadi masing –masing, menjaga kerahasiaan kontrak mereka dari pihak lain, dan tidak berhubungan dengan pihak lain selama kontrak.

Eh, apa maksud pasal ini?

"Jen, apa maksud pasal tidak berhubungan dengan pihak lain selama kontrak? Aku harus isolasi diri?"

Jendra bangkit dan membaca tulisan yang Riri tunjuk. "Hubungan romantis. Kayak pacaran dan selingkuh."

"Kenapa nggak boleh pacaran dan selingkuh? Toh, kita hanya kontrak," debat Riri.

Jendra menyandarkan bokongnya pada tepi meja menghadap Riri. "Kakak nggak selingkuh, begitu pula aku. Kita saling menghormati pasangan dengan nggak selingkuh. Walau kita nikah kontrak, aku mau kita tetap menjaga kesakralan pernikahan ini."

"Dengan kontrak ini, nggak ada kesakralan pernikahan, Jen. Sejak awal, sudah tumbuh borok. Apa yang mau kamu jaga kesakralannya? Kalau kamu ingin menghormati pasangan ya cukup saling jaga privasi masing –masing. Nggak melanggar hak dan kenyamanan pasangan, itu sudah cukup."

"Apa Kakak mau bilang Kakak ada rencana selingkuh?" Jendra tiba –tiba menjadi dingin. Ini pertama kalinya Riri melihat sikap Jendra yang demikian. Dia takut dan terkejut, tapi dia tidak mau ketakutannya dijadikan serangan bagi Jendra di kemudian hari.

"Kontrak seperti ini mungkin tampak adil di kedua pihak, tapi perempuan tetap paling rugi. Ketika pisah, serapat apapun aku jaga diri, aku akan tetap dinilai janda. Nilaiku berbeda dengan aku dalam status lajang. Ujung hubungan ini jelas menyiksaku jadi, kenapa aku harus menahan diri dari hiburan yang mungkin aku dapat dari pria di luar sana?"

Jendra menggebrak meja. Matanya nyalang. Bibirnya menipis menahan geram. Riri merasakan bulu kuduknya meremang. "Semuanya tentang perempuan yang rugi dan pria yang untung. Apa hanya perempuan yang punya hati dan harga diri? Pria nggak punya? Kalian sama aja."

Jendra keluar dari kamar. Dia membanting pintu sangat keras. Riri sampai memejamkan mata saking takutnya. Tak lama, Nur dan Putih datang ke kamar. Wajah Nur panik, sementara Putih senang diajak main ke kamar orang tuanya. Riri segera menutup laptop Jendra.

"Non Riri nggak apa –apa?" tanya Nur cemas.

"Nggak apa –apa. Jendra kemana?"

"Pak Jendra bilang mau keluar. Dia bawa mobilnya, nggak bilang mau kemana. Yakin nggak apa –apa?" Nur membaca situasi dengan baik.

"Biasa aja. Kita turun yuk. Aku mau masak ikan goreng. Putih mau bantu masak?"

"Putih boleh masak? Tanya Putih gembira.

"Boleh. Bantu cuci sayuran aja ya," tawar Riri.

"Mau dong! Mama mah nggak pernah masak. Putih nggak pernah diajak masak. Kan Putih suka masak masakan. Ayo, Bun, kita turun." Putih sudah menggenggam tangan Riri turun ke dapur.

Riri melirik Nur yang membuntuti mereka. "Nadya jarang masak, Nur?" tanya Riri saat mereka menuju dapur.

"Biasanya Non Nadya dan Pak Jendra pesan makanan atau beli di luar. Nggak pernah masak. Saya masak buat Putih aja."

"Sabtu dan Minggu juga?"

"Sabtu, Non Nadya ada ke salon. Minggu biasanya arisan dan kumpul sama teman –temannya. Kadang jalan sama Putih dan Pak Jendra. Kalau Putih dibawa Non atau Bapak, saya libur tuh. Tapi jarang banget. seringnya Minggu aja, itu juga Putih dibawa main sama Pak Jendra. Olahraga kemana, Putih sama papa?"

"Main sepeda ke GOR dong. Papa lari ikutin Putih naik sepeda. Putih jago banget."

Riri merasakan keganjilan dari cerita Nur dan Putih. Jika dia punya waktu santai di akhir pekan, Riri yakin dia akan mengisi waktunya bersama Putih yang manis dan lucu, bukannya sibuk dengan aktivitas lain. Ini menjawab keheranannya kenapa dia sering sekali menemukan Putih dititipkan ke ibu dan ayahnya tiap hari Minggu.

Nad, kalau Kakak tahu kamu akan pergi secepat ini, Kakak akan buat kamu menghabiskan banyak waktu bareng Putih.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top