kesetiaan
Halo...
Apa kabar?
Semoga kalian selalu sehat dan bahagi ya 🤗
Aku mau berbagi kabar untuk kalian yang nungguin cerita ini. Untuk bisa membaca cerita Bisakah Kau Mencintaiku, kalian bisa tengok di KBM APP. Aplikasi ini bisa kalian install di Playstore, atau buka di browser. Cari cerita ini dengan judul yang sama Bisakah Kau Mencintaiku. Nama akunnya aja yang beda, tapi penulisnya tetap aku kok 😉
Sekali lagi, aku jelaskan ya kalo kalian gak dipaksa untuk baca di sana karena ada beberapa bab yang berbayar. Kalo merasa keberatan, kalian bisa cari cerita lain yang masih gratis 😊
Terima kasih 🙏
Kesetiaan Dulu
Riri menuang sayur lodeh ke mangkok besar berwarna putih polos, lalu membawanya hati –hati ke meja makan. Putih sudah duduk rapi di salah satu kursi, menunggu waktu makan. Riri belum mengizinkan karena dia masih menata lauk dan nasi. Dia berbalik mengambil teko berisi air teh hangat, sesuai permintaan Putih. Dengan telaten, Riri menuang teh ke gelas Putih yang bergambar Hello Kitty.
"Papa pulang!" Putih berseru gembira melihat sosok Jendra masuk ke dapur.
"Pas banget datangnya. Aku baru mau telepon nanya kamu dimana. Putih udah nggak sabar mau makan," kata Riri tanpa ditanya.
Jendra masih memasang wajah kesal, tapi Riri memilih tidak peduli dan terus saja menyiapkan makanan untuk Jendra. "Kamu mau makan pakai telur goreng atau ayam goreng?" tanya Riri.
Jendra duduk di sebelah Putih. Dia memerhatikan makanan di ataas meja. "Nggak ada telur goreng," katanya.
"Kalau kamu mau telur goreng, aku gorengin sebentar. Kalau kamu mau makan ayam goreng aja, aku udah siapkan. Mau yang mana?" Riri tidak mau mengulang pertengkaran konyol dengan Jendra. Dia dan Jendra harusnya membuat kesepakatan dalam pernikahan mereka secara adil, bukannya mendebat apa yang tidak disuka. Dia mengaku salah, tapi tidak menutup kesalahan lain bahwa Jendra pun terlalu mudah terpancing emosi.
"Ayam goreng aja," jawab Jendra akhirnya.
Riri mengambilkan sepotong ayam goreng yang aromanya sangat menggoda. Alih – alih menyerahkan piring berisi nasi dan ayam goreng itu, Riri malah berkata, "Kamu cuci tangan dulu baru aku kasih makan malam kamu."
Putih terkikik senang. "Papa belum cuci tangan. Jorok dong. Putih udah cuci tangan. Bersih dong."
Jendra berdehem. Wajahnya terlihat malu. Tak membantah, Jendra bangun dan mencuci tangan di sink dapur. Riri puas bisa mengingatkan Jendra pentingnya menjaga kebersihan sebelum makan. Sebenarnya Riri ingin sekali meminta Jendra mandi dan berganti pakaian sebelum makan. Sayangnya dia khawatir Jendra tidak makan sepanjang hari karena kesal pada pertengkaran mereka tadi pagi. Jendra tidak pulang sepanjang pagi sampai sore setelah bertengkar soal kontrak dan Riri tidak tahu apakah pria itu makan di luar atau memilih kelaparan.
"Aku buat sayur lodeh, tempe orek, kentang balado, dan sambal goreng. Kamu mau sayurnya dipisah di mangkok kecil atau dicampur ke nasi?"
Jendra memerhatikan lama sayur lodeh buatan Riri. Dia menjilat bibirnya. "Aku mau sayurnya dipisah, Kak." Ketika Jendra memutuskan, Riri mengulum senyum dan segera mengambilkan mangkok untuk Jendra. Dia bersyukur Jendra tampaknya tergiur memakan masakannya.
"Putih mau dipisah juga, Bunda!" Putih tidak mau kalah.
Riri menggeleng. "Tadi Putih minta makan sayur bayam. Bunda sudah buatkan sayur bayam untuk Putih. Nggak usah ikut –ikutan papa makan sayur lodeh. Kata Mbak Nur, kamu nggak suka yang santan."
"Putih suka satan..." Putih diam berpikir. "Satan tuh apa?"
"Santan, Sayang. Itu perasan dari kelapa," Jendra menjawab dengan kalem.
"Putih suka dong satan."
Riri tetap menggeleng saat menyerahkan mangkok kecil yang sudah diisi sayur lodeh untuk Jendra. "Putih sudah minta sayur bayam. Putih harus makan sayur bayam Putih. Bunda nggak mau Putih ganti –ganti pilihan. Kalau cicip sedikit boleh minta ke papa, tapi tetap harus habiskan sayur bayam."
"Sayur bayam Putih buat papa dong. Putih makan sayur loooo..." Putih menengok ke Jendra, minta pertolongan karena lupa nama sayur di mangkok besar. "Sayur lobo ya, Pa?" Putih berbisik.
"Sayur lodeh," jawab Jendra. "Putih belum pernah makan sayur lodeh. Sebaiknya Putih makan sayur bayam putih aja."
Putih memanyunkan bibirnya. "Putih mau makan masakan Bunda semuanya. Bunda masaknya enak. Putih masak bantu Bunda dong."
"Benar?" Jendra membelalak ke Riri.
"Bantu cuci sayuran bersama Nur," jawab Riri santai.
Jendra mengulum tawa. bisa –bisanya Putih mengaku membantu Riri masak padahal hanya mencuci sayuran saja. Dasar Putih. Banyak sekali akal anak perempuan ini, pikir Riri.
"Tadi siang Bunda masak enak dong. Ikan goreng sama toge. Putih bantu masak dong," cerita Putih lagi bangga.
"Oya?" Jendra melirik Riri dengan senyum usil.
"Bantu toge berenang di baskom," bisik Riri.
"Togenya bersih dong. Putih cuci bersih." Putih tidak menangkap sindiran halus Riri dan tetap berceloteh tentang kegiatannya membantu Riri di dapur penuh kebanggaan.
Jendra tertawa sembari mengelus kepala Putih. Riri memerhatikan interaksi mereka berdua. Jendra begitu menyayangi Putih. Dia merasa tenang. Nadya memang pergi, tapi Jendra punya kasih sayang yang luas untuk anak mereka.
Makan malam itu berlangsung meriah karena Putih tak hentinya menceritakan keseruannya di dapur. Jendra mendengarkan penuh perhatian sembari melahap makanan. Hanya Riri yang tahu bagaimana ribetnya suasana dapur selama Putih berusaha membantu mencuci sayuran. Nur bahkan perlu mengingatkan Putih berhenti bermain air berkali –kali.
MWM
Putih sudah terlelap di kamar. Jendra dan Riri berkumpul di ruang santai. Mereka sekali lagi merundingkan kontrak mereka.
"Apa yang Kakak tuntut selama kita menikah?" Jendra langsung ke poin.
"Aku mau tetap bekerja." Riri diam, mengantisipasi kalau –kalau Jendra ingin menyela. Jendra hanya diam, memberikan ruang bagi Riri melanjutkan. "Walau kita menikah, aku nggak ingin kegiatanku mengurus warung makan ditiadakan."
"Apa hanya itu alasannya? Jujur, kalau soal uang, aku bisa kasih Kakak uang bulanan yang cukup. Jadi, Kakak cukup fokus merawat Putih."
Riri menggeleng. "Warung makan itu investasiku, Jen. Kita nikah sementara. Suatu saat akan pisah. Warung makan itu yang akan membiayai hidupku setelah kita pisah. Aku akan tetap pada putusan bekerja di warung makan. Soal mengurus Putih, aku bisa jaga dia di warungku."
"Apa nggak berbahaya? Di sana ada kompor dan Kakak sibuk memasak."
"Yang masak bukan hanya aku. Ada yang bantu. selain itu, ada pekerjaku yang sering bawa anak ke warung. Putih malah bisa punya teman kalau main ke warung. Dia nggak harus di sana seharian. Warung tutup jam tiga sore. Putih bisa datang pagi setelah rapi diantar Nur. Nanti Nur kembali untuk membereskan ruko." Riri dengan mudah memikirkan pengaturan tersebut karena dia terbiasa mengatur pekerjaan di warung dan rumah.
"Warungku nggak jauh. Rumah ibu dan ayah juga nggak jauh dari warung. Kalau Putih bosan, dia bisa main ke rumah kakek dan neneknya." Riri memandang Jendra. "Lebih baik, Putih sering ke luar agar bisa memberi dia ruang dari mengingat kesedihan ditinggal Nadya. Itu hanya saran, Jed."
"Kita coba dulu. Kalau Putih nggak betah, Kakak sebaiknya pikir untuk mencari orang yang bisa jaga warung Kakak."
"Aku yakin Putih akan betah," sahut Riri percaya diri.
"Sekarang, giliranku."
"Oke."
"Setia."
"Hah?"
"Aku nggak mau ada yang selingkuh selama kita masih menikah."
Riri membelalak. Astaga, Jendra masih saja teguh meminta syarat ini selama menikah.
"Nggak ada syarat lain?" tanya Riri.
Jendra menggeleng. "Aku hanya meminta syarat ini dan jaga rahasia soal kontrak ini. itu saja."
"Yakin? Nggak akan ada syarat yang beranak pinak?"
"Aku..." Jendra menunduk. Matanya memandang kosong pada karpet. "Hanya butuh istri yang setia."
"Bagaimana kalau nanti kamu ketemu cewek yang bikin kamu jatuh cinta sementara kita masih di tengah pernikahan?" sejujurnya, inilah alasan Riri menentang syarat tersebut. Dengan ciri fisik Jendra, mudah saja perempuan cantik jatuh cinta. Perempuan cantik adalah syarat awal pria jatuh cinta. Itu yang Riri pelajari selama ini. banyak pria mendekatinya karena mereka ingin mengenal Nadya. Berkali –kali sakit hati, Riri belajar bahwa pria tampan pun punya mata dan hasrat ingin bersama perempuan cantik. Sayangnya, Riri tidak termasuk golongan perempuan yang diminati pria tampan. Dia gemuk.
"Kesetiaan dulu. Cinta belakangan. Kita bisa bahas kalau peristiwa itu sampai terjadi."
Berarti Jendra punya rencana akan jatuh cinta. Riri mengepalkan tangan di pangkuan. Dia tidak boleh marah. Pernikahan mereka dipaksakan. Jendra adalah pria bebas yang berhak jatuh cinta. Di sisi lain, Riri tidak bisa menyangkal ada rasa getir yang menyusup.
"Apa kita bisa sepaham sekarang, Kak?" tanya Jendra.
Riri tersenyum penuh paksaan. "Iya."
"Oke." Jendra bangkit dan masuk ke kamarnya. Ketika pintu kamar itu tertutup rapat, Riri merasa seorang diri di dunia ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top