0

"Ini yang terbaik, Ri."

Entah sudah berapa kali Riri mendengar ucapan itu. Dia menunduk, menatap tangannya yang bertaut di atas pangkuan. Pendingin ruangan tidak menepis ketegangan dari punggungnya yang basah keringat, malah menambah buruk telapak tangannya yang menggigil. Susah payah Riri menyembunyikan ketakutannya. Siapa yang tak takut jika didorong pada pernikahan yang tak diharapkan.

"Minum teh manisnya, Sayang."

Segelas teh hangat diletakan di meja sebelah Riri. Perlahan Riri mengangkat kepala. Masih diingatnya siapa perempuan itu. Mertua Nadya, adik kandungnya, yang akan segera menjadi ibu mertuanya. Desakan kesedihan melingkupi hati Riri seketika.

"Bilang makasih, Ri," Dewi, ibu Riri mengingatkan.

Riri terhenyak. Dia susah berpikir lurus saat ini. Rasanya kemarin dia tinggal bersama ibunya membicarakan rencana berlibur ke Jogja bersama ayah. Tahu-tahu, dia sudah digiring mendaftarkan diri sebagai calon istri Jendra di KUA. Jendra, pria yang sama yang dikenalnya sebagai suami adiknya, sekarang akan menyandang status sebagai suaminya.

Andai saja kecelakaan Nadya tidak pernah terjadi. Andai saja Nadya tidak berkeras pergi dan pulang kerja mengendarai mobil sendirian. Andai saja malam itu Nadya tidak lembur. Andai saja cuaca tidak hujan. Akan ada jutaan 'andai saja' agar Nadya tetap hidup dan melanjutkan perannya sebagai menantu keluarga Santoso. Namun segalanya tidak bisa diputar ulang. Nadya telah beristirahat dengan tenang di peristirahatan terakhirnya.

"Makasih, Tante," kata Riri pelan.

"Ya, ampun, anak ini," Dewi menepuk ringan bahu Riri, "Mbak Anna calon ibu mertua kamu. Kenapa masih panggil tante."

Riri tersenyum canggung ditatap Dewi dan Anna. Dia menunduk sembari mendesis, "Maaf."

"Nggak apa-apa, Ri. Santai saja. Kamu nggak harus memaksakan diri kalau belum terbiasa manggil mama. Kita punya banyak waktu untuk terbiasa," balas Anna lembut.

Riri bersyukur Anna mengerti posisinya. Mereka berdua meninggalkannya di dalam kamar setelah seseorang datang dan memberi tahu acara akad nikah akan segera dimulai. Riri mulai tegang. Selera makannya telah lenyap sejak semalam. Dia memandang langit-langit kamarnya dengan gundah.

Situasi Riri dimulai karena kekhawatiran orang tuanya dan orang tua Jendra setelah kematian Nadya. Mereka khawatir anak Jendra dan Nadya, Putih, kehilangan sosok ibu. Dibandingkan membiarkan perempuan lain masuk dan menggantikan peran Nadya, mereka lebih suka ide menjadikan Riri sebagai ibu Putih sekaligus istri Jendra.

Riri memang masih melajang di usianya yang sudah 32 tahun, sehingga mudah saja bagi Dewi memojokan Riri menerima keputusan mereka. Riri tentu sempat menolak, tapi kemarahan Dewi membuat suasana rumah menjadi buruk. Ayahnya pun terkena imbas. Riri letih dengan sikap keras ibunya yang menginginkan Riri menikah dengan Jendra. Akhirnya Riri menyerah dan setuju, walau dia dapat merasakan ada yang tidak suka pada persetujuannya, yakni Jendra.

"Ri." Dewi masuk kembali ke kamar. "Akadnya berlangsung cepat. Sekarang waktunya kamu keluar. Ayo ibu bantu."

Selama akad berlangsung, Riri melamun. Dia tidak sadar segalanya berjalan dengan cepat. Terlalu cepat malahan.

Dibantu Dewi, Riri keluar kamar. Di ruang tamu, keluarganya dan keluarga Santoso berkumpul. Di tengah ruangan, ada pria yang menunggunya. Perasaan bersalah lantas menyergap.

"Sekarang Jendra adalah suami kamu, Ri," bisik Dewi.

Riri memandang Jendra lama. Ucapan ibunya terasa tidak rasional. Jendra adalah suami Nadya dan begitu selamanya. Hal itu tercetak jelas di mata Jendra. Anehnya, semua orang seolah buta pada sirat luka yang coba Jendra tunjukan. Riri menduga Jendra pun dipaksa menikah dengannya.

OoO

Pernikahan itu selesai tanpa adanya resepsi. Itu lebih baik. Riri enggan berpura-pura bahagia selama duduk di pelaminan seolah hari ini dipenuhi cinta dan berkah. Nyatanya, hari ini bagai pisau bermata dua. Dia menjadi penghianat adiknya.

"Sudah mandi?" Jendra bersuara begitu dia kembali ke kamar setelah menemui teman-teman kuliahnya yang sengaja mengantar mereka ke hotel tempat mereka menginap.

Riri tidak ikut makan malam. Dia merasa kurang nyaman bersama teman-teman Jendra yang sebagian besar adalah teman kuliah Nadya juga. Riri memilih naik ke kamar dan beristirahat.

"Iya, aku udah mandi," jawab Riri.

"Oh." Jendra membuka lemari, mengambil pakaian yang sudah dirapikan Anna, lalu masuk ke kamar mandi.

Riri memandang pintu yang baru saja ditutup Jendra. Dia sudah memikirkan matang-matang selama Jendra makan malam bersama teman-temannya. Pernikahan mereka akan bergantung pada bagaimana Jendra akan menuntunnya. Dia tidak bisa menolak kewajibannya sebagai seorang istri.

Nad, Kakak minta maaf karena lancang mengambil peran kamu. Ini semua permintaan ibu. Doakan Kakak bisa merawat Jendra dan Putih baik-baik. Meski Kakak nggak yakin bisa membesarkan Putih dan melayani Jendra lebih baik dari kamu.Riri berbicara dalam hati, berharap Nadya bisa mendengar kata-katanya di sana.

Jendra keluar tidak berapa lama. Dia sudah berganti pakaian dengan kaos putih dan celana bahan panjang. Kamar tidur yang mereka tempati memiliki dua ruangan yang disekat. Satu area tempat tidur dan yang lainnya merupakan tempat bersantai dengan sofa set dan televisi. Jendra segera mengambil laptop dan menuju ruang santai.

Riri diam memperhatikan. Dalam hati menduga Jendra punya beberapa urusan yang perlu diselesaikan sebelum tidur. Namun sampai jam dua belas, Jendra belum juga selesai dengan urusan di laptopnya. Riri bangkit dari tepi ranjang untuk menyusul Jendra.

"Kamu nggak mau tidur?" tanya Riri. Dia menyesali pertanyaannya yang bisa bermakna macam-macam. Di sisi lain dia mencemaskan kesehatan Jendra.

"Masih ada kerjaan. Kakak..." Jendra berhenti mengetik. Dia melirik dengan rasa bersalah yang mudah Riri tangkap. Jendra biasa memanggilnya kakak seperti yang Nadya lakukan.

Riri tersenyum maklum. "Ya udah. Kerja aja. Kalo ngantuk, segera tidur ya," balas Riri berusaha pengertian.

Ketika pagi menjelang dan Riri menemukan dirinya sendirian di ranjang, malah Jendra terlelap di sofa sepanjang malam, Riri menemukan satu dugaan bahwa pernikahan ini akan dimulai dengan beragam perbedaan.

Riri memilih tidak membangunkan Jendra. Dia masuk ke kamar mandi, mencuci wajahnya, lalu menggosok gigi. Sejenak dia memperhatikan pantulan wajahnya di cermin. Fisiknya berbeda dengan Nadya. Badan Riri gemuk dan tinggi, sementara Nadya langsing dan mungil. Kulit Nadya putih dan wajahnya mungil. Kulit Riri lebih gelap seperti ayah mereka dan bulat. Jika Riri berdiri di sebelah Nadya, tidak ada yang menduga mereka adalah saudara kandung karena perbedaan fisik yang mereka miliki. Di sisi lain, Nadya cerdas, berbanding terbalik dengannya. Mungkin itu pula yang menyebabkan Nadya dengan mudah bekerja di bank ternama dan punya karir cemerlang. Hal yang paling membanggakan dari Nadya adalah kisah cintanya bersama Jendra yang terjalin sejak masuk kuliah hingga ke pernikahan.

Riri tidak pernah membenci Nadya untuk semua keberuntungan yang adiknya miliki sejak lahir. Riri tulus menyayangi Nadya dan mendukung segala keputusan Nadya, seperti ketika Nadya memilih melangkahinya menikah duluan bersama Jendra. Dia tidak marah, malah ikut bahagia. Apalagi Dewi sangat menyukai Jendra yang sopan dan punya latar belakang keluarga baik-baik. Riri bersyukur Nadya membawakan menantu idaman ibu mereka karena dia belum bisa melakukan hal itu.

Kali ini Riri tidak tahu perasaan apa yang timbul setelah berhasil mempertahankan Jendra sebagai menantu kesayangan ibunya. Satu-satunya yang ingin Riri lakukan hanya menangis. Dia melepaskan pakaian dan bergegas mengguyur kepalanya di bawah pancuran. Riri diam-diam menangis di pagi pertamanya sebagai seorang istri.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top