Bab 7
Siap?
Tidak ada yang istimewa hari ini bagi seorang Ananta. Ia memulai jam kerja di waktu yang sama, bersama dengan Yaya. Mengerjakan pesanan lemper, kue sus dan juga risoles sebanyak 100 pax yang harus diantar sebelum salat Mahgrib. Tidak ada yang berubah, itu yang Ananta ulangi di kepalanya semenjak semalam sebelum tidur.
Meskipun travel bag yang telah siap di dalam kamarnya menandakan bahwa hari ini bukan sekedar hari biasa meski belum menjadi istimewa. Namun saat menerima pesan di siang hari, hatinya meloncat kegirangan dan membuat harinya menjadi istimewa. Semua dimulai beberapa hari yang lalu saat ia mengirimkan jawaban pada pria dengan senyum menggoda.
Kalau enggak ngerepoti, nyusahin dan enggak ada yang marah, aku terima ajakan bareng Mas untuk ke Solo
Tidak perlu menunggu lama untuknya membaca balasan yang membuatnya tersenyum sendiri di kegelapan kamarnya. Ananta tak bisa menghentikan pikirannya dari bayangan senyum pria tersebut ketika membaca kata demi kata yang miliki arti tersembunyi. Setidaknya itu yang dia kira. Ia tidak menghapus percakapan singkat mereka, sesekali ia baca pesan Rizky semenjak pesan pertamanya.
Rizky Anggara
Kamu enggak nyusahin atau bahkan ngerepotin.
Enggak bakalan ada yang marah, karena I’m yours. Eh, maksudnya I’m free.
Halah, malah makin salah. Pokoknya enggak bakalan ada yang marah kecuali aku lupa ambil pesanan ibu di Solo nanti.
Hingga saat ini Ananta tidak tahu apa yang dimaksud dengan ambil pesanan ibunya. Ia sudah mengatakan bahwa dirinya akan siap jam berapapun Rizky jemput. Hari ini adalah hari di mana ia siap untuk dijemput, dan pesan yang didapatnya membuat perutnya semakin terasa gugup.
Rizky Anggara
Sudah siap untuk ke pelaminan? Eh, ke Solo
Guyonan receh Rizky berhasil membuat pipinya bersemu kemerahan, seperti saat ini.
“Kenapa pipimu merah? Pasti karena cowok itu, ya?” tebak Yaya—panggilan Yanti—yang memandangnya dengan penuh curiga. Bahkan sahabat sejak jaman kuliah itu menghentikan pekerjaannya, bersedekap dan menanti jawaban dari bibir Ananta.
“Iya iya … ini semua karena Mas Rizky!” jawab Ananta sambil cemberut untuk menyembunyikan gugup yang mulai dirasakannya setiap kali memikirkan Pria itu. “Ya, wajar enggak sih, kalau aku—”
“Suka dia! Wajar lah, lagian ini udah berapa tahun, coba. Palingan orang itu udah move on. Kamu aja yang stuck!”
Tidak perlu menyebut nama, karena ia tahu siapa yang Yaya maksud. Seseorang yang merasa ia tak pantas untuk bersanding dengannya hanya karena Ananta memutuskan untuk tidak meneruskan kuliah, bahkan untuk mengambil sumpah dokter pun tak ia lakukan. Alasan yang pria itu katakan padanya, sungguh membuatnya kecewa. Namun semakin hari, ia yakin dengan keputusan yang diambilnya. Menjadi dokter bukan segalanya, karena menjadi bahagia jauh lebih penting baginya.
“Nah, kan. Mikir cowok edan itu lagi!” hardik Yaya tepat di depan telinganya, membuat cup kertas yang ada di tangannya jatuh berhamburan. “Makanya, kerja yang bener. Enggak ada gunanya mikir pria macem dia. Mendingan mikir Rizky yang sepertinya calon potensial untuk mengobati luka hati.”
“Halah! Sok puitis, pikir diri sendiri dulu. Enggak inget apa sama pria yang dari kemarin menuhi pesan kamu tuh,” jawab Ananta yang tidak ingin kalah. Karena ia tahu hubungan Yaya bersama Pradipa Nugraha—pria yang telah menjadi tunangannya sejak setahun lalu—tidak dalam keadaan baik-baik saja. Ia belum mengetahui masalah di antara mereka berdua, tapi Ananta merasa apapun yang terjadi, membuat sahabatnya berfikir untuk membatalkan rencana pernikahan yang akan dilaksanakan akhir tahun.
Ananta tahu Yaya tidak akan menjawabnya saat ini, karena ia mengenal sahabatnya tersebut. Tidak akan ada cerita yang mengalir dari bibirnya jika apapun itu belum menemukan jalan keluar. Di matanya, sahabatnya adalah sosok perempuan kuat. Seperti bambu, meski bengkok tidak akan patah.
“Mas Rizky itu bikin hati—“
“Dag dig dug?” tanya Yaya yang terlihat berterima kasih karena ia tidak meneruskan pembahasan tentang kehidupan cintanya. “Kamu suka sama Mas Rizky ini? Aku jadi penasaran orangnya seperti apa,” kata Yaya yang kembali sibuk memasukkan kue sus ke dalam kantong plastik.
“Mas Rizky itu orangnya tinggi besar, kalau aku berdiri di sebelahnya. “ Ananta mencoba mengingat perbedaan tinggi mereka berdua, “Sepertinya dia bisa taruh dagunya di atas kepalaku.”
“Ecie, ngarep dipeluk dari belakang gitu. Romantis banget, sih,” goda Yaya yang membuatnya kembali tersipu malu. Bukan karena ia berharap akan mendapat pelukan seperti itu, tapi karena itulah yang ada di bayangannya saat ini. Rizky berdiri di belakangnya, dengan tangan yang melingkar di pundaknya. “Jangan dibayangin, Na. Ntar jadi pengen beneran, lho!”
Ananta yang selesai menyusun cup kertas di atas meja meraih benda terdekat untuk dilempar ke arah sahabatnya tersebut. Tak lama kemudian tawa mereka berdua memenuhi ruang makan rumah keluarga Ananta.
“Na, aku serius!” tiba-tiba nada suara Yaya terdengar dingin di telinganya. “Jika pria ini bisa bikin kamu berhenti memikirkan masa lalu, mungkin dia yang kamu nanti selama ini.” Tidak ada sisa tawa yang terlihat di wajah Yaya, bahkan senyum yang selalu menghiasi wajahnya pun menghilang. Ananta jadi terdiam ketika menyadari tingkat keseriusan sahabatnya.
“Iya iya. Aku enggak akan menutup hati, tapi juga enggak membukanya lebar-lebar begitu saja. Satu hal yang pasti aku lakukan, enggak berharap banyak. Karena sepertinya cewek-cewek akan mudah jatuh cinta sama cowok seperti Mas Rizky.”
“Halah, bilang aja takut jatuh cinta!” kata Yaya sebelum meninggalkannya sendiri di tengah keriuhan otaknya. Karena saat ini, ia tak bisa berhenti mengulang-ulang kejadian bersama Rizky. Hal kecil yang membuatnya susah untuk menghapus bayangan wajahnya.
Satu hal yang hingga saat ini sulit untuk Ananta lupakan, perhatian pria itu membuatnya merasa istimewa. Ia masih bisa mengingat ketika mereka di dalam mobil dalam perjalanan menuju rumahnya. Saat itu ada pengendara motor yang tiba-tiba memotong jalan, membuat Rizky harus menekan pedal rem mendadak. Jantungnya terasa berhenti, tapi bukan karena mobil yang berhenti mendadak. Namun, karena mendapati tangan kiri Rizky melintang di depan badannya, meski tidak sampai menyentuhnya. Siap melindungi agar ia tidak terhuyung ke depan.
“Kamu enggak apa-apa?” pertanyaan yang diajukan Rizky pertama kali setelah mobil kembali melaju dengan kecepatan sedang.
Happy reading
😘😘😘
Shofie
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top