Bab 6
Antara Imam Bonjol dan Darmo Permai
Setelah mengucapkan salam pada ketiga orang yang berdiri di depan pagar rumah, Rizky mengarahkan kemudi mobil ke arah jalan dr Soetomo. Jalanan masih terlihat ramah meski waktu telah menunjukkan angka sembilan.
“Kemaleman, ya? Sorry,” kata Rizky ketika menyadari mereka terlalu lama berada di rumah Ara.
“Enggak apa-apa, Mas. Aku yang salah, terlalu asik ngobrol sama Tara dan Mbak Nika. Keluarga mereka terlihat bahagia banget, ya.”
Rizky melirik Ananta yang terlihat sibuk menjawab pesan tak lama setelah ia menutup pintu mobil. Dari sudut mata, ia bisa melihat sesekali perempuan itu menuliskan sesuatu di tablet yang ia letakkan di atas pangkuannya. “Hampir lupa, Mbak Nika emang selalu menahan untuk makan gitu, ya?”
Tak lama setelah pernikahan kakak sepupunya, ia sempat berkunjung untuk membicarkan pekerjaan. Namun ketika hendak pulang, langkahnya di tahan Nika untuk makan terlebih dahulu. Semenjak hari itu, ia tidak terkejut dengan kebiasaan ibu tiri Tara tersebut.
“Mbak Nika emang gitu orangnya. Teman atau keluarga yang datang kerumahnya, pasti diajak makan. Ibunya Tara emang selucu itu.”
“Mas, jangan tersinggung, ya, Mas. Mbak Nika itu ….”
Rizky bisa menduga arah yang Ananta tuju, “Iya, dia ibu sambung Tara. Mereka berdua menikah saat Tara semester dua atau tiga, gitu. Tapi sayangnya Mbak Nika enggak kalah ama mendiang Mbak Pradnya, ibunya Tara.”
Ananta mengangguk-angguk mendengar jawaban darinya, sebelum menyandarkan kepala. “Melihat cara Mas Ara memandang Mbak Nika buat iri. Matanya berbinar dan senyum di bibirnya tak pernah pudar, siapapun akan bisa melihat berapa besar cinta yang pria itu punya untuk suaminya.”
Rizky merasa kalimat yang terdengar pelan dari bibir Ananta tidak hanya sekedar kekaguman pada kakak sepupunya. Ada getir yang bisa ia rasakan di setiap kata berbalut pujian tersebut. Ada kekecewaan yang masih terasa di balik kalimat itu, tapi Rizky tidak akan menanyakan hal tersebut. Bahkan ia memutuskan kecanggungan diantara mereka karena Ananta terdiam sambil memandang jendela di sampingnya kirinya.
“Ngomong-ngomong … kamu kerja dimana?” tanya Rizky ketika teringat pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya semenjak pertemuan pertama mereka.
Ia menanti jawaban dengan sabar saat terdengar nada dering dari ponsel di genggaman Ananta. Rizky menurunkan volume radio dan membiarkan perempuan itu sibuk dengan sambungan teleponnya yang sepertinya membahas tentang kue. “Kamu baker?” tanya Rizky begitu Ananta menyudahi teleponnya.
Ananta menggerak-gerakkan kepala ke kiri dan kanan, “Something like that, lah,” jawab perempuan itu dengan senyum terkulum. “Aku berdua sama teman—namanya Yanti—terima pesanan kue macem-macem gitu, Mas. masih skala kecil, sih. Kita juga masih ngerjakan di dapur rumah orang tuaku.”
Rizky bisa melihat bahagia di mata Ananta saat menceritakan tentang bidang usaha yang di gelutinya. Hilang sudah kegealauan Ananta beberapa saat lalu. Ia mnendengarkan dengan seksama awal mula usaha mereka, membuatnya kembali mengingat perjuangan untuk memulai hingga sampai seperti sekarang. Semua waktu, tenaga dan pikiran yang dicurahkannya selama ini telah membuahkan hasil baginya. “Ada rencana untuk buka … kafe atau—”
“Aduh … belum, Mas. Kalau mimpi kami berdua sih pengennya punya tempat yang enggak hanya menawarkan hidangan manis seperti sekarang, tapi juga ada menu lain.” Rizky terkejut ketika Ananta sepenuhnya menghadap ke arahnya, “Kalau Mas Rizky sudah pernah ngerasain masakan Yaya, pasti ketagihan. Dia bisa bikin mie kluntung yang rasanya enggak kalau sama yang sudah terkenal itu. Kapan-kapan Mas harus coba.”
Ia hanya tersenyum dan berkata akan menagih janji Ananta untuk mencoba masakan temannya tersebut. Rizky mendengarkan dengan seksama cerita yang mengalir lancar dari bibir mungil perempuan yang sesekali memberikan arah menuju rumahnya.
“Semua berawal dari yang kecil, yang penting tetap usaha, kan?” kata Rizky memberi perempuan itu semangat.”Eh, Ananta pergi ke nikahan Aan, kan?” tanyanya saat teringat pesan ancaman Aan.
“Mas Rizky?” tanya Ananta balik.
“InsyaAllah berangkat.”
“Aku enggak yakin bisa datang. Ada kerjaan sampai agak sorean. Sudah cek semua tiket, tapi enggak dapet, kecuali naik bis. Aku nggak berani naik bis sendiri, Mas.” Dari sudut mata, ia bisa melihat kegalauan Ananta. “Mungkin aku datang terlambat atau sehari setelah acara.”
"Mau bareng?" Pertanyaan itu tiba-tiba terlontar begitu saja dari bibirnya, membuatnya dan Ananta yang mendengarnya terdiam tak tahu bagaimana harus menjawabnya.
“Hah! Enggak deh, Mas. Ntar bikin kita berdua jadi awkward gitu."
Rizky memutuskan untuk meneruskan rencana dadakan yang baru saja dibuatnya beberapa detik lalu. "Jangan kuatir, aku jamin enggak akan ada moment canggung. Karena ada Tara di sana, jadi kita berangkatnya bertiga. Gimana?”
Tidak ada jawaban yang Ananta berikan kecuali petunjuk jalan menuju rumahnya. Hingga Rizky mematikan mesin mobilnya, ia masih belum mendapatkan jawaban yang dia inginkan. “Sampai,” katanya memecahkan keheningan.
“ Pikir saja dulu. Seandainya kamu mau bareng, Aku jemput … jam sembilan malam. Karena aku juga masih ada pekerjaan sampai jam tujuh malam.” Saat tidak mendapatkan jawaban, Rizky pun meneruskan rencana dadakannya. Tapi kita ke yogya dulu ya."
“Kok Yogya, Mas. Nikahan Aan di Solo, kan? “
Iapun menjelaskan tentang rencana menginap di rumah eyangnya Tara dan tujuan yang bisa mereka tuju di kota Gudeg tersebut. Rizky terkejut saat mendapati Ananta terdiam memandangnya lekat, "Kamu diam karena kaget atau kagum melihatku?"
"GR banget sih! Ini tuh muka kaget! Kapan bikin rencana itu, karena sampai kita meninggalkan rumah Tara sejam yang lalu, enggak sekalipun keponakanmu itu menyebutkan tentang pergi ke Yogya.”
Rizky tertawa terbahak-bahak, karena Ananta bisa menebak tipu muslihatnya. “Bikin rencananya … kira-kira setelah aku jawab InsyaAllah berangkat.” Mata perempuan itu membeliak mendengar jawabannya, “Tapi tawaranku tetap berlaku. Jangan kuatir tentang Tara, karena ia akan dengan senang hati ke Yogya dan menjadi pemandu untuk kita berdua.” Rizky menghentikan Ananta yang terlihat ingin membantah, “Pikir saja dulu, hubungi aku kalau sudah ada keputusan.”
Rizky mengulurkan ponselnya dan meminta Ananta untuk memasukkan nomer ke dalamnya, dan tak memerlukan waktu lama, keduanya sudah menyimpan nomor masing-masing.
“See you soon Gemintang, call me,” kata Rizky sebelum mengucapkan salam dan meninggalkan Ananta setelah memastikan perempuan itu masuk dalam rumah berpagar kayu di daerah Surabaya Barat. Sepanjang jalan menuju rumahnya, ia tak bisa menghapus senyum di bibirnya. Mengingat antara jalan Imam Bonjol dan Darmo Permai, ia menemukan sesuatu yang baru dalam hidupnya.
Sepuluh menit setelah ia meninggalkan Ananta di depan rumahnya, notifikasi pesan terdengar nyaring.
Gemintang
Thank you, drive safely.
😘😘
Eh, maaf salah emo
Risky tertawa membaca ulang pesan yang ia terima. Hanya dengan membaca berisan kata, bisa membuatnya tertawa karena bahagia malam itu. Dalam mobil di depan deretan ruko yang mulai sepi, ia seperti orang gila yang tertawa dan berteriak menyuarakan kata Yes! Sekencang yang ia bisa. Jarinya dengan sigap membalas pesan tersebut
Maaf pesan sudah terbaca, nggak bisa ditarik kembali.
Gemintang
Gombal! Nyetir dulu, kabari kalau sudah sampai rumah. Eh, maaf. Enggak perlu kabari, Mas
Bahagia kembali membuncah dalam dadanya, ia tak tahu apa yang dirasakannya saat ini. Namun satu hal yang ia tahu, Ananta juga merasakan apa yang dirasakannya. Ia tak peduli apakah dia hanya besar kepala ataukah ada ketertarikan di antara mereka berdua. Karena ia terlalu bahagia saat ini.
“Ra, kamu masih libur, to? Kita ke Yogya minggu depan!” kata Rizky tegas dan tidak ingin dibantah setelah menjawab salam Tara. Ia tahu keponakannya pasti bingung, tapi ia tak peduli.
“Kenapa tiba-tiba ke Yogya?”
“Karena kamu harus temani Mas dan juga Ananta, Ra! Enggak mungkin Mas jalan keluar kota cuma berdua sama dia.” Rizky menjelaskan rencananya satu persatu dan meminta Tara menyusun tujuan jalan-jalan mereka nantinya. Ia ingin Ananta memiliki pengalaman menyenangkan bersamanya.
“Sik sik … iki kok ya ujug-ujug ngejak Mbak Ananta? Kapan bikin rencananya, kok aku enggak tahu?”
Rizky tertawa mendengar pertanyaan penuh selidik yang didapatnya, “Mas bikin rencana kira-kira beberapa menit yang lalu saat Ananta bilang belum tahu ke Yogya mau naik apa. Jadinya, ya … Mas tawarin aja untuk berangkat sama kit—”
“Meski Mas belum tahu aku bisa atau enggak, gitu? Padahal itu weekend lho, Mas. Kali aja Bapak enggak kasih ijin karena pengen pergi bertiga.”
“Ra, bapakmu pasti seneng kamu balik ke Yogya. Dia merdeka bisa marathon sama ibumu,” jawab Rizky.
Happy reading
Love, ya!
😘😘😘
Shofie
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top