Bab 16

Yakin … enggak … yakin ….

Ananta mengaduk adonan dengan pikiran melayang ke arah pria yang ia larang untuk menghubunginya selama beberapa hari. Meski terlihat jelas bahwa Rizky keberatan dengan permintaannya, tapi pria itu mengangguk menyetujui meski terdapat beberapa syarat.

“Mas janji enggak akan menghubungi kamu, tapi ada beberapa hal yang Mas minta. Boleh?”

Meski ragu, ia tetap mengangguk mengabulkan permintaan pria yang terlihat berusaha menahan diri. Satu hal yang membuatnya merasa aman dan nyaman setiap kali berdekatan dengannya.

“Pertama. Mas ingin kamu memikirkan. Benar-benar memikirkan lamaran Mas. Bukan hanya sekedar memikirkan, tapi juga mempertimbangkan. Bisa?” ia mengangguk menjawab permintaan nomer satu.

“Kenali diri sendiri. Selama kamu memikirkan lamaran Mas, kenali dirimu sendiri. Tanyakan pada-Nya, apakah kehadiran Mas membantumu untuk menjadi pribadi yang lebih baik? Libatkan Allah di setiap pertimbanganmu. Bisa?” Ananta kembali mengangguk, dan kali ini ia bisa merasakan kekehan air mata di pipinya.

“Ketiga. Mas enggak meminta kamu untuk selalu check in dimanapun kamu berada, tapi bisakah meski hanya sekali dalam sehari, memberi kabar. Mas hanya ingin dengar kabarmu. Keberatan?”

“Enggak, Mas,” jawabnya dengan suara serak.

“Yang terakhir, please say yes.” Katanya dengan sorot geli di matanya, pria yang usianya terpaut tujuh tahun darinya itu tersenyum memperlihatkan giginya.

“Kamu ngaduk apa, Na?” pertanyaan Yaya membuyarkan lamunannya. Seketika ia mempercepat gerakan tangannya mengaduk adonan yang telah tercampur santan untuk kue bolu.

“Adonan, lah! Santannya udah masuk, kan?” jawabnya tanpa memandang Yaya yang berdiri di samping kananya sambil bersedekap di depan dada.

“Yakin?” tanya Yaya lagi dengan nada yang membuatnya jengkel. Ia merasa sahabatnya itu meragukan kemampuannya dalam membuat kue bolu yang entah sudah berapa puluh kali mereka buat selama sebulan belakangan.

“Yak—” jawabannya terhenti ketika melihat mangkuk adonan di tangannya, yang entah sudah berapa lama ia aduk-aduk. Keningnya mengernyit ketika yang ia lihat hanya tepung tanpa terlihat basah oleh santan. Pikirannya semakin bingung ketika melihat gelas ukur yang berisi santan berada tak jauh darinya masih dalam keadaan penuh.

Yaya menarik tangannya, memintanya untuk meletakkan whisker. Perempuan yang selalu menyepol rambut di atas kepala itu menarik tangannya hingga keduanya memasuki kamar Ananta yang terletak di lantai dua. “Duduk!” perintah Yaya terdengar tidak mau di bantah. “Sekarang dengerin aku baik-baik!”

Ananta membuka mulut bersiap untuk membantah, ketika Yaya mengacungkan jari telunjuk ke arahnya. “Aku nyuruh kamu untuk dengerin, bukan untuk ngejawab. Sekarang diam dan dengerin aku, enggak pake bantah!”

Ia mengangguk untuk menjawab perintah Yaya. “Udah dua hari kamu gerak kayak robot yang kehilangan tujuan. Meski pekerjaan semuanya lancar, tapi kamu kehilangan fokus. Aku enggak tahu apa yang ada dipikiran—”

“Mas Eky ngelamar aku dua hari yang lalu.”

Hening. Itulah yang terjadi ketika ia membuka mulut dan mengatakan apa yang menjadi isi kepalanya selama dua hari ini. Ananta melihat Yaya terdiam dengan mata yang berkedip berkali-kali, wajahnya pucat seolah baru saja melihat hantu. Beberapa kali perempuan yang seumuran dengannya itu membuka dan menutup mulut, seakan tak tahu akan berkata apa. Meski di antara mereka berdua, Yaya tak pernah kehabisan kata-kata, kecuali saat ini.

“Ya, ngomong, dong!” detik berikutnya Ananta melonjak kaget ketika bukan jawaban yang keluar dari bibir Yaya, tapi jeritan yang ia dapatkan.

“Ya ampun, Na. Kenapa enggak ngomong, sih! Selamat ya sayangku, kamu berhak bahagia setelah kemarin itu.” Badannya terdorong ke depan dan masuk ke dalam pelukan Yaya yang selalu berarom segar, berbeda dengannya yang lebih memilih aroma citrus. “Kapan rencana nikahnya?” tanya Yaya setelah ia mengendurkan pelukannya.

Ananta menggeleng dengan cengiran lebar di bibirnya, “Aku belum menerima lamaran Mas Eky, Ya. Aku takut. Ntar seperti kemarin, bilang sayang, cinta, bla bla bla … endingnya bilang kalau aku enggak cukup baik untuk membuatnya bahagia. Sia-sia banget, kan!”

“Stop! Belum tentu Mas Rizky seperti pacar kamu kemarin. Lagian, ya … ini hasil terawanganku, Mas Rizky itu beneran serius. Buktinya dia ajak kamu nikah, bukan pacaran, kan?”

Ia sudah pernah menghabiskan waktu, tenaga dan pikiran hnaya untuk satu pria yang ternyata hanya membuatnya sakit hati. Membuatnya merasa tidak berharga, hanya karena dia berkata, Ananta tidak cukup baik baginya. Sayangnya, kalimat itu terjebak di kepalanya. Menjadikan Ananta perempuan yang tidak percaya diri untuk mencintai seseorang.

Risky datang dengan niat menjalin hubungan serius dengannya, membuatnya meragukan niat pria itu dan dirinya. Ia bertanya, apakah ia cukup baik untuk pria jangkung itu.

“Aku takut, Ya!” kata Ananta pelan. “Bohong banget kalau aku bilang enggak tertarik sama dia, karena itu aku takut. Gimana kalau aku enggak baik untuknya? Gimana kalau aku enggak bisa membuatnya bahagia?”

Yaya kembali menariknya dalam pelukan, menggoyang-goyangkan badan hingga Keduanya seperti Teletubbies yang berpelukan dengan perut gendutnya. Tawa tak bisa Ananta tahan ketika mendengar bisikan perempuan keturunan Bali tersebut, “Aku belum terlalu kenal Mas Rizky, tapi aku tahu pria itu jauh lebih hot dibanding mantan pacar dodol-mu itu.”

Keduanya telentang di atas ranjang Ananta, mengatur nafas setelah gelak tawa mereka mengisi kamarnya. Yaya tak melepas pandangan darinya, membuatnya merasa bersyukur kehadiran perempuan itu menjadi penguatnya saat ia membutuhkan. Sahabat yang selalu menjadi penghibur saat dia sedih.

“Gimana kalau memikirkan diri sendiri dulu. Kalau Mas Rizky bisa membuatmu bahagia, go for it. Jangan ditahan, rindu itu berat. Ceritakan padanya. Jika memang dia sebaik apa yang kamu ceritakan, aku yakin Mas Rizky enggak akan mempermasalahkan masa lalu kamu itu. Percaya aku, Na. Ini waktumu untuk bahagia, jangan biarkan kesempatan ini berlalu begitu saja.”

Setelah merapikan diri dan berjanji akan fokus dalam bekerja, ia menyusul Yaya yang turun meninggalkannya beberapa menit yang lalu. Ia tahu semua ketakutan dan pertimbangan yang ada di kepalanya hanya brputar di satu titik. Ketakutan yang menggerogoti hatinya.

Ia belum siap untuk bertemu dengan Rizky, tapi Ananta berjanji pada Yaya, ia akan mempertimbangkan untuk bertemu pria itu dalam waktu dekat. Ananta ingin menyelesaikan satu persatu, diawali dengan pesanan kue bolu yang harus selesai sore nanti. Dan persiapan bazar di salah satu sekolah swasta di daerah Surabaya Selatan yang akan dilaksanakan besok pagi. Ananta berjanji setelah itu, ia akan menemui Rizky dan menyelesaikan semuanya meski tujuh hari yang dimintanya belum sampai selesai.

Malam itu Ananta telentang memandang langit kaamarnya sambil mengingat kembali kalimat Yaya. “Kamu berhak bahagia. Apa yang sudah dilakukan pria itu padamu tidak mendifinisikan siapa dirimu. Ananta Gemintang harus bahagia, dan jika Mas Rizky tidak bisa menerima semua masa lalumu, berarti dia bukan untukmu. Lagian, sudah waktunya kamu keluarkan di dodol itu keluar dari otak kamu!”

Ananta meraba kancing piama warna merah marun yang dipakainya malam ini. “Yakin … enggak … yakin … enggak … yakin … enggak ….” Ananta menengakkan punggung ketika jarinya sampai di kancing terakhir bersamaan dengan bibirnya berkata tidak,  “Yah! Kok enggak, sih! Harusnya kan yakin!”

Happy reading
Thank you guys
😘😘😘
Shofie

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top