Bab 14

Pacar Eky, ya?

Perempuan yang sudah terlihat segar tersebut sudah tidak sabar untuk kembali pulang ke rumah. Semenjak pagi, sudah beberapa kali Rizky menjawab dengan sabar keinginan ibunya untuk segera pulang. “Mas Ibu kapan bisa pulang, to? Udah ndak kenapa-napa ini.”

Rizky yang memangku laptop di samping ranjang ibunya hanya menjawab, “Nanti tunggu dokternya datang.”

Tak lama setelah ia menjawab permintaan sang ibu, beberapa kulit jeruk terlempar ke arahnya. Ia menerima lemparan itu dengan kekehan yang semakin membuat sang ibu meradang karena bosan harus berada di atas ranjang seharian. “Kowe iki lho, ket mau jawabane kok ndak kreatif!”

“Lha Ibu juga enggak—“

Assalamu’alaikum.” Terdengar salam dari arah pintu, meski ia tahu siapa yang datang menengok ibunya, tapi ia tetap pura-pura sibuk. Tak lama kemudian hidungnya menangkap aroma parfum yang sudah dihafalnya. “Sore, Tante,” sapa perempuan berambut coklat yang terlihat menenteng dua kotak besar kue. Rizky dengan sigap berdiri dan mengambil kotak kue untuk di letakkan di meja tamu.

Tanpa mengatakan apa-apa, ia menggenggam tangan Ananta dan mengajaknya mendekat kepada sang ibu yang memandangnya dengan senyum terkulum. “Ibu, ini Ananta Gemintang.”

“Oalah ini to yang namanya Ananta. Tara udah cerita banyak waktu kalian pulang dari Yogya kemarin itu. Pacarnya Mas Eky, ya?”

Sudah tiga orang menanyakan hal yang sama pada perempuan di sebelahnya, ia yakin saat ini Ananta kehabisan cara untuk menjawab pertanyaan ibunya. Karena itu ia sengaja membuka kotak kue yang ada di atas meja, dan matanya benar-benar terbelalak memandang kue yang terlihat menggoda di dalamnya. “Na, Ibu diabetes, lho! Aman makan ini?” tanya Rizky ragu ke arah Ananta yang dengan sigap menghampirinya dan membuka kotak kue bersiap untuk memotong.

“Tenang, ini kue diabetes friendly. Memakai bahan-bahan yang aman untuk Tante, InsyaAllah gula darah Tante aman,” kata perempuan itu ke arah sang ibu. Seketika Rizky bisa melihat binar bahagia yang segera terbit di mata yang beberapa sat lalu terlihat susah karena ingin segera pulang. “Tante, mau?”

Setelah mendapat anggukan ibunya, Rizky membiarkan Ananta memotong dan membawa mendekat ke arah sang ibu. Di dalam hati, ia tak ingin merusak momen indah yang ada di depannya. Di atas tas Ananta yang terbuka, ia bisa melihat kamera yang selalu dibawa ketika mereka berjalan-jalan bertiga keliling Yogya.

Setelah menimbang-nimbang, ia membatalkan untuk mengambil kamera tersebut dan mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan mengarahkan tepat ke arah dua perempuan beda generasi yang terlihat bertukar cerita. Entah apa yang terjadi, karena tiba-tiba keduanya memalingkan wajah ke arahnya. Kepalang basah, ia meminta keduanya untuk tesenyum. “Cantik,” katanya pelan.

“Halah, gombal, Mas,” kata Ananta ke arahnya sebelum kembali memalingkan wajah ke arah Ndari yang mesih memandangnya dengan senyum.

“Maksud Mas, yang cantik itu Ibu.”

“Mas, sini. Cobain kue buatan pacarmu ini, enak banget. Ibu suka.”

Rizky melirik Ananta yang menunduk menghindari pandangannya, entah karena pujian ibunya atau karena kata pacar yang semenjak semalam selalu disematkan padanya. Pria yang menerima suapan dari tangan ibunya terlihat takjum dengan ledakan rasa di mulutnya. Ia tak pernah menyangka bahwa kue yang dikhususkan untuk penderita diabetes bisa terasa nikmat di mulut, “Ini enak banget, Na.”

“Kamu pinter cari pacar, Mas. Ibu suka,” kata ibunya dengan mata yang tak lepas dari gerak gerik Ananta yang terlihat kikuk. “Kapan-kapan ajari Ibu bikinnya ya. Dulu ibu sering bikin kue, tapi semenjak sakit ada yang melarang ibu untuk masak atau bikin kue.” Rizky tertawa mendengar sindiran ibunya.

Setelah itu dua perempuan itu terlihat pembicaraan serius tentang masakan dan kue yang tidak ia mengerti. Namun melihat keduanya terlihat akrab tak berjarak membuatnya membayangkan sesuatu yang tak pernah melintas di pikirannya selama ini. Melihat sang ibu terlihat tertawa lepas, ia meminta izin untuk pergi ke masjid. Selain karena harus salat, tiba-tiba ia memerlukan jarak untuk berpikir.

Sepanjang jalan menuju masjid, pikirannya penuh dengan berbagai macam yang membuatnya tak bisa berpikir lurus. Rizky mempercepat langkahnya menuju masjid dan segera melaksanakan salat. Saat ini ia duduk di tangga masjid menunggu makanan yang dipesannya lewat aplikasi untuk Ananta, ingatannya kembali saat menemani mendiang Bapaknya beberapa tahun yang lalu setelah menjalani operasi jantung. Malam itu ia menemani pria yang semakin terlihat sepuh itu ngobrol macam-macam termasuk tentang jodoh.

"Kamu kok belum pernah kenalin calon ke Bapak Ibu, Mas?" Pertanyaan yang sudah bisa  ia duga meski mendengarnya tetap membuatnya kaget. Pasalnya, tadi sore Mala datang bersama pacarnya untuk menjenguk sang bapak.

Ia bersyukur memiliki orang tua yang tidak suka mendesak anaknya masalah pernikahan, karena mereka tahu jodoh itu rahasia Allah Sang Pemilik Segalanya. Jadi bagi mereka, kapanpun jodoh anak mereka datang, baik cepat ataupun lambat itu adalah waktu yang terbaik menurut Allah. Rizky meyakini itu.

"Pak,” panggil Rizky.

“Hmm," jawab bapaknya sambil membenarkan letak kacamatanya dan memusatkan seluruh perhatiannya pada anak laki satu-satunya yang terlihat menyimpan banyak pikiran.

"Gimana caranya Bapak tahu waktu itu kalau Ibu adalah jodoh Bapak?" tanyanya serius. Rizky bukan pria suci yang tidak pernah mengenal cinta, beberapa kali ia pernah memiliki seorang kekasih, tetapi tidak ada satu orangpun yang membuatnya berpikir tentang berumah tangga.

Pria yang masih dalam masa penyembuhan tersebut memandnag Rizky dengan sorot mata yang berbeda. "Mas, kamu akan tahu jawabannya kalau kamu melibatkan Allah di dalamnya. Selama ini Bapak tahu kalau sebenarnya kamu punya pacar, kenapa nggak pernah ajak kerumah?"

"Karena aku nggak yakin mereka itu pilihan yang terbaik untukku. Mereka baik, ngerti kerjaanku seperti apa. Tetapi saat aku penat masalah pekerjaan atau tentang apapun, nggak pernah sekalipun aku merasakan dorongan untuk berbagi dengan mereka. Masuk akal nggak sih, Pak?"

Bapak meletakkan kacamata di meja samping ranjang, "kamu tahu. Saat ada masalah kita diminta untuk selalu mengingat Allah. Bapak selalu melakukan itu, dan Ibu selalu ada disana. Menggenggam tangan Bapak, menemani setiap langkah Bapak dalam menyelesaikan masalah apapun itu."

"Jadi kalau Mas tanya, gimana Bapak tahu Ibu adalah jodoh Bapak? Allah yang memilihkan untuk Bapak. Seperti Bapak bilang tadi, saat kau melibatkan Allah di setiap langkahmu. Percayalah. Apapun keputusanmu, baik masalah pekerjaan ataupun jodoh ada sangkut paut Allah di sana jadi bukan hasil emosi atau hawa nafsu."

Rizky membuka pintu dan menemukan kedua saudara perempuan dan pasangannya masing-masing. Rayyan suami Mala semenjak tahun kemarin pun terlihat akrab dengan Ananta yang tak beranjak dari sisi ibunya. Sedangkan Adhi suami Mita terlihat pembicaraan serius bersama Mala. Pria yang bekerja di salah satu pabrik obat pasti sedang membicarakan pekerjaan. Terkadang ia heran melihat keduanya, karena mereka berdua selalu membahas pekerjaan ketika bertemu.

Rizky melirik Mita yang terlihat santai bersandar di lengan suaminya sambil mengamati semua orang dengan mulut sibuk mengunyah kue buatan Ananta. Ia mencibir ketika ia melihat tangan kanan Adhi mengusap lembut lengan istrinya tanpa mengalihkan pandangan dari Mala.

“Iri, bilang, Boss!” seketika lamunannya buyar ketika mendengar ejekan Mita yang diarahkan padanya. Entah berapa lama ia berdiri di ambang pintu mengamati semua orang. “Sini!” perintah kakak perempuannya menepuk sofa sebelah kanannya.

“Kue bikinan pacarmu enak, Ky. Kapan-kapan bisa dipesan, nih,” kata Mita berbisik di telinganya.

“Iya, pinter dia,” jawab Rizky tanpa mengalihkan pandangan dari Ananta yang saat ini juga memandangnya dengan senyum terkulum. Melihat itu, keraguan yang sempat terlintas pun menghilang dengan sendirinya, berganti dengan keyakinan tentang apa yang ia rasakan.

Untuk mengawali hari teman-teman semua.
Love, ya!
😘😘😘
Shofie

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top