42




Indonesia.

UGD yang ramai, antrean di berbagai poli klinik yang rapi, serta orang-orang berseragam yang lalu lalang di koridor menjadi pemandangan yang pertama kali menyambut Dara di rumah sakit. Meski akan terlihat ironis namun Dara senang bisa kembali melihat hiruk pikuk aktivitas manusia di rumah sakit ini. Wajah-wajah yang tak asing juga ikut menyapa dan menyambut kedatangan Dara. Semalam ia baru sampai di Tanah Air, namun bukannya lelah dan ingin beristirahat Dara justru sangat bersemangat dan ingin segera beraktivitas.

Kepulangan Dara disambut baik dan disyukuri oleh Arumi serta Viktor, hanya saja ia belum bertemu lagi dengan Kenant yang ternyata sedang lembur karena itulah sepagi ini Dara sudah berada di rumah sakit untuk menemui Papahnya.

Setelah turun dari lift, Dara segera menuju ke ruangan Kenant. Perlahan ia mengetuk pintunya.

Tok! Tok! Tok!

"Masuk,"

Suara Kenant yang tegas terdengar menyahut dari balik pintu. Dara pun menggeser pintunya dan menyembulkan kepalanya untuk melihat apa yang sedang dikerjakan Kenant.

"Pah," panggil Dara.

Mendengar suara yang tak asing, Kenant menoleh ke arah pintu. Ia membuka kacamatanya memastikan jika perempuan yang hanya terlihat setengah badannya itu benar adalah putrinya.

"Dara?" Kenant bangkit dari kursi kebesarannya.

Dara berlari masuk dan segera menghambur ke pelukan Papahnya.

"Papah sehat?" Dara masih enggan melepas pelukannya.

"Baik sayang, kamu pulang cepet?"

"Iya, Pah, ada tugas mendadak di sini."

"Tugas?"

Kenant mengajak Dara untuk duduk di sofa.

"Aku ditawarin kerja di PT. DI, Pah," ucap Dara senang.

"Serius?" Kenant menatap Dara tak percaya. "Selamat ya, sayang!"

Dara lega karena Kenant ternyata ikut senang dengan kepulangannya ke Indonesia. Namun kelegaannya ini belum sepenuhnya Dara rasakan karena ia masih harus mencari tahu kebenaran di balik operasi darurat ibu Chelsea lima tahun silam. Dan penyelidikannya akan ia lakukan mulai dari hari ini.

Semoga sangkaan Chelsea selama ini salah, Pah. Aku akan buktiin Papah gak salah.

🛫🛫🛫


Menunggu adalah hal yang membosankan hampir bagi semua orang. Tetapi kasus menunggu kali ini ternyata berbeda. Ken telah menunggu kedatangan Dara di tempat yang sebelumnya telah mereka sepakati, restoran pertama yang mereka kunjungi berdua setelah tur kecil ke museum pesawat, meski yang dinanti tak kunjung datang, namun dengan setia Ken menunggu Dara. Untuk kesekian kalinya Ken mengecek kotak pesannya, tetapi sama sekali tak ada pesan masuk.

Satu jam telah berlalu, ini pun gelas jus ketiga yang Ken habiskan. Tak ada niatan untuk menghubungi Dara dan memintanya segera datang, Ken hanya percaya Dara akan segera menemuinya.

Dan di waktu yang bersamaan...

"Ibu yakin dengan apa yang baru saja Ibu katakan?"

Dara mengkonfirmasi kebenaran ucapan Susi, asisten operasi Kenant yang kini telah pensiun. Dengan mensidekapkan tangannya, Dara menatap Susi serius.

"Saya yakin karena catatan yang asli masih saya pegang."

Ucapan Susi kali ini sukses membuat lengan Dara meluruh. Tangannya mengepal hingga kuku-kukunya meninggalkan bekas pada telapak tangannya. Sebisa mungkin penolakan dan keinginan untuk mendengar kebalikan dari ucapan Susi- Dara tahan, karena sejujurnya ia tak ingin mendengar bahwa ada catatan operasi lain selain dokumen yang ada di rumah sakit, sebab ini akan menuju pada sesuatu yang ilegal dan terkesan ditutup-tutupi.

Dara menutup matanya sejenak, menarik napas dalam dan perlahan, lalu berusaha menormalkan emosinya kembali.

"Bisa saya buat salinannya?"

Susi mengangguk.

Tanpa pikir panjang, Dara langsung ikut ke rumah Susi untuk membuat salinan catatan operasinya hingga ia melupakan janjinya dengan Ken.

Saat yang satu sibuk dengan masalahnya hingga lupa akan janjinya, dan yang lainnya sibuk menunggu dengan penuh kepercayaan, sebenarnya, lagi, mereka kembali mengukir jarak pada hubungan mereka. Bukan berarti fokus menyelesaikan masalah itu tak baik, dan bukan berarti sabar menunggu juga tak mesti dilakukan, tapi, seharusnya jangan pernah melupakan prioritas dalam hidup serta janji, dan menunggu yang tak pasti juga takkan berarti. Memberi kabar adalah hal sepele, bertanya akan kedatangan seseorang juga bukan perkara besar, namun justru karena ini sesuatu yang dianggap remeh dan tak berarti, banyak di antara berjuta pasangan manusia di dunia ini pada akhirnya berlabuh pada kata perpisahan. Dan dengan tanpa disadari, Ken dan Dara juga melakukannya.

🛫🛫🛫

Rumah mewah yang ditinggali keluarga Kenant ini begitu sepi. Yang terlihat eksis hanyalah beberapa pelayan rumah tangga. Para anggota keluarga sibuk dengan kegiatannya masing-masing, Kenant dan Arumi yang berkutat dengan pasien dan ruang operasi, Viktor yang dibuat pusing dengan berbagai macam tugas kuliah, serta Dara yang kini baru saja datang ke rumah dengan wajah semerawutnya.

Tas selempang yang tersampir di lengan kanannya terjatuh saat hendak membuka pintu, kemudian tak ada niatan untuk membenarkan posisi tasnya karena tangan yang satunya lagi memegang sebuah map plastik, ia hanya terus menyeretnya hingga sampai di lantai dua, di depan pintu kamarnya.

"Teh..." panggil Ani dari lantai dasar.

"Hmm," sahut Dara bergumam.

"Mau mandi? Mbak siapin air, ya."

"Sepuluh menit lagi ya, Mbak."

Setelahnya Dara segera masuk ke kamar, melempar sembarang tasnya, dan menghempaskan tubuhnya ke kasur dengan map yang masih ia pegang.

Lelah dan kecewa. Dua kata yang paling pas untuk mendeskripsikan apa yang sedang dirasakan Dara setelah berkeliling seharian memuaskan rasa penasarannya setelah sekian lama, dan pada akhirnya mengetahui bahwa memang Papahnya pernah melakukan kesalahan.

"Saat akan dilakukan operasi, tim kami memang belum sempat melakukan medical check up menyeluruh terhadap pasien Regina. Entah kenapa saat itu dokter Kenant juga tak setegas biasanya."

Ya, Papah selalu teliti dan hati-hati. Batin Dara membenarkan.

"Hingga saat dokter membedah pasien untuk segera mengatasi pendarahan pada organ hati, tiba-tiba darah dan nanah menyembur dan dokter baru menyadari ternyata pasien menderita abses hati. Dan saat itu juga operasi langsung berubah menjadi operasi pembersihan hati. Tapi usaha kami tidak membuahkan hasil, pasien collapse dan akhirnya..."

Kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh ketiga orang asisten operasi Regina terus terngiang dalam pikiran Dara. Entah berapa kali harus Dara pikirkan, namun ada sesuatu yang janggal.

Kenapa Papah harus nyembunyiin catatan operasi yang asli? Dara masih tak dapat memahaminya, hingga ia mengingat lagi percakapannya dengan Susi.

"Tapi sebelum dokter Kenant menitipkan catatan ini ke saya, ada teman saya yang melihat dokter bertemu dengan suami pasien, namanya..."

"Bima?"

"Iya, Bima. Teman saya bilang mereka bicara serius, tapi dia gak bisa dengar jelas apa yang dibicarakan."

"Bisa saya ketemu teman Ibu?"

"Teman saya," Susi menarik napas dalam. "Sudah nggak ada lagi."

Mengerti jika membahas topik ini lebih lanjut akan menyakiti Susi, Dara memilih untuk tak bertanya lagi. Ia paham betul perasaan Susi, karena ia juga merasakan hal yang sama ketika mengingat kembali tentang Dean.

Lagi, Dara hanya menghela napasnya panjang. Sepertinya memang tak ada jalan lain selain bertanya pada Kenant. Tetapi sebelum itu, Dara tiba-tiba bangkit dan menepuk jidatnya.

"Ya, ampun! Ken!"

Dengan gerakan secepat kilat Dara menyambar tas yang ia lempar dan juga kunci mobilnya. Seperti orang yang kerasukan arwah juara pelari, Dara berlari menuju ke garasi. Hingga suara teriakan Ani menginterupsinya.

"Teh, mau ke mana?"

"Aku keluar dulu sebentar, mandinya dipending dulu."

Tanpa basa basi lagi Dara segera melajukan mobilnya dengan kencang, meski ia tak yakin Ken masih menunggunya di sana.

⏭️⏭️⏭️

Jarum jam tengah menuju ke angka sebelas tepat, dan restoran pun sudah gelap. Tak terlihat ada aktivitas lagi di dalamnya, baik pelanggan maupun pegawai. Hingga tak hentinya Dara merutuki dirinya sendiri.

Bodoh, bodoh, bodoh banget, umpat Dara.

Dengan langkah gontai Dara berbalik, wajahnya tertutupi rambut panjangnya yang tergerai acak-acakan, dan untuk kesekian kalinya, tas selempang berlogokan huruf G itu menjadi korban kekerasan Dara.

"Ah, tau ah!"

Dara mengangkat kepalanya hendak berjalan dengan benar menuju kembali ke mobilnya. Tetapi langkahnya terhenti. Kakinya kembali terpaku pada bumi. Tubuhnya begitu kaku bak tersengat listrik bertegangan tinggi. Pandangannya pun mengabur karena pelupuk matanya telah digenangi air mata. Hingga pada akhirnya Dara berlari melepaskan tasnya, mengangkat tinggi tangannya agar dapat ia kalungkan di leher jenjang lelaki di depannya, ia berjinjit menyeimbangkan tinggi tubuhnya meski nyatanya lelaki itupun ikut sedikit membungkukkan badannya. Kini pinggang Dara tertahan lengan kekar itu, keseimbangan yang hampir hilang pun kini kembali lagi berkat pertolongan lelaki yang ternyata masih setia menunggunya.

"Maaf," ujar Dara di sela isakan tangisnya.

"Cengeng."

"Biarin!" Sewot Dara masih di balik dekapan Ken.

"Uh... Tayang, tayang," ledek Ken sembari menepuk-nepuk punggung Dara.

"Jijik!"

Ken langsung dihempaskan oleh Dara. Yang meledek pun hanya dapat terkekeh, ngakak sendiri melihat kekasihnya ini.

"Kamu nunggu aku? Dari tadi siang?"

"Kalo iya, aku dapet hadiah apa?"

Dara berpikir keras. Ia ragu jika Ken benar-benar menunggunya. Tapi jika benar Ken dengan sabar menunggunya, apa yang harus dilakukannya? Dan perang batin ala Dara pun dimulai.

"Bercanda atuh," Ken mencubit hidung mancrit Dara. "Tadi aku balik lagi ke kantor, terus pulangnya langsung ke rumah kamu. Tapi pas sampe aku liat kamu buru-buru keluar bawa mobil, akhirnya aku ikutin kamu."

"Jadi," Dara mensidekapkan tangannya. "Kamu gak bener-bener nunggu aku?"

Picingan mata Dara sebenarnya bermakna rasa malu. GR yang ia rasakan. Ia mengira Ken benar-benar menunggunya seperti salah satu adegan drama saat Gu Jun Pyo menunggu Gem Jan Di di Namsan Tower hingga kedinginan.

"Aku nunggu kamu, kok," bela Ken. "Tapi cuma dua jam."

Cuma? Dara terkejut sendiri.

Mana bisa dirinya menunggu orang selama itu tanpa kepastian seperti Ken, dan kini rasa bersalah pun menyelimuti hati Dara.

"Ya, udah," ucap Dara.

Ken menaikkan sebelah alisnya.

"Ya, udah, kan?" Dara mengulangnya.

"Ya, udah apa?" Ken masih tak paham.

"Tadi, kan..."

Ken menatap Dara seksama, menunggu kelanjutan kalimat Dara.

Namun yang ditatap justru malah tersipu, blushing, menyebabkan Dara menunduk malu. Dara hanya menggerak-gerakan tangannya seperti memeluk dirinya sendiri dalam sekejap, tetapi tak berlangsung lama karena ujungnya Dara malu sendiri dan pergi meninggalkan Ken.

"Apa itu, teh?" Tanya Ken menggoda Dara. "Kebiasaan, deh. Tunggu!"

Mereka pun memutuskan untuk berjalan menikmati udara malam ini.

Seminggu rasa setahun. Biasanya kiasan ini menggambarkan kerinduan sepasang kekasih yang dilanda kerinduan. Jarak yang memisahkan tak lantas membuat mereka melupakan senyuman satu sama lain. Kesibukan juga bukan perkara yang bisa seenaknya dijadikan alasan untuk tak saling memerhatikan. Meski seringkali pendapat yang berlainan menyebabkan mereka bertengkar dan merasa ingin marah semarah-marahnya, namun saat tatapan mata saling bertemu dan hanya cinta yang terlukis di sana, tak ada lagi tembok dan alasan bagi mereka untuk tidak saling memahami.

Yes,
I just, do love you.

🛫🛫🛫

Ketegangan antara Viktor dan Nayla membuat teman sekelompoknya ikut menegang. Meski mereka telah mencoba melerai kedua orang yang beradu argumen sejak tadi, tetapi ternyata sama sekali tak mempan.

"Kakak lo tuh yang rese!"

"Berhenti bawa-bawa kakak gue."

"Liat aja nanti kalo sampe dia rebut Kak Ken dari gue, gue bakal-"

"Bakalan apa?" Tantang Viktor.

Semenjak Viktor tahu bahwa Nayla benar-benar terobsesi pada Ken yang kini berstatus sebagai tunangannya, Viktor jadi antipati sendiri terhadap Nayla. Bukan karena ia benci dan tak lagi menyukai Nayla, mustahil ia langsung bisa menghilangkan perasaannya, tetapi karena ia sudah muak dengan kelakuan Nayla yang makin hari semakin menjadi. Terus-terusan bergaul dengan dunia malam, kuliah semaunya, dan seenaknya terhadap Viktor sebab ia rasa Viktor akan selalu ada di sampingnya. Padahal nyatanya tidak seperti itu. Untuk apa pula Viktor mencintai dan melindungi perempuan yang ternyata tak pantas untuk itu. Terlebih Nayla lah yang kini membuat kakaknya patah hati. Mana bisa ia mencintai wanita yang ternyata menyakiti seseorang yang lebih berharga dari dirinya sendiri.

"Asal lo tau, Nay, Ken gak cinta sama lo. Dan juga sebaliknya, karena lo gak cinta sama dia, lo cuma terobsesi."

"Sok tau banget lo! Tau dari mana lo, Kak Ken gak cinta gue? Gue yang paling tau dia," bantah Nayla dengan suara cemprengnya.

"Gue kasian banget sama lo. Gue harap lo bisa bahagia meskipun keadaan lo begini."

Sesaat kemudian Viktor telah meninggalkan Nayla yang tengah dilanda emosi berkepanjangan. Nayla tak habis pikir Viktor tega mengatakan itu padanya. Kini hanya kata-kata dan ucapan Viktor yang mengerumuni pikirannya. Dan mungkin saja jika Viktor terus lakukan ini, Nayla akan menyadari dengan sendirinya jika yang ia rasakan hanyalah obsesi tanpa ketulusan. Keinginan memiliki tanpa didasari rasa siap merelakan. Karena cinta memang tak selamanya harus memiliki, dan merelakan terkadang menjadi aksi terbaik saat mencintai meski tak dicintai.

🛫🛫🛫

Masih ditemani cahaya rembulan dan bintang yang berkelip menghias langit malam yang semakin larut. Meski waktu terus berjalan menuju tengah malam, tetapi baik Dara maupun Ken tak ada yang beranjak sedikit pun dari posisi duduk mereka. Jarak yang kini memisahkan mereka hanyalah dua cup kopi panas dan beberapa camilan yang berada di tengah mereka.

"Ken," panggil Dara memecah keheningan.

"Hmm?"

"Buka baju kamu."

Mendengar ucapan Dara- Ken langsung menyilangkan tangannya di depan tubuhnya. Sambil memicingkan mata menatap Dara yang masih sibuk memandangi langit dengan riuk wajah yang tak berubah.

"Mau ngapain?" Tanya Ken curiga. "Kita, kan, belum halal."

"WHAT?!" Mata Dara benar-benar seperti hendak copot dari rongganya.

"Ngapain juga kamu minta aku buka baju?"

"Cuma mau mastiin luka kamu udah kering atau belum. Gak usah omes ya mas otaknya. Ngeres amat." Dara memutar bola matanya. "Lagian aku juga cuma disuruh Sarah buat mastiin kamu baik-baik aja," ujar Dara berbohong.

Sebenarnya Dara memang benar ingin memastikan sendiri keadaan Ken saat ini. Pengalamannya sebagai seorang relawan di rumah sakit membuat Dara setidaknya bisa menilai keadaan Ken.

"Sarah?" Ken mengerutkan alisnya.

"Gak usah pura-pura gak kenal. Aku udah tau semuanya. Kamu kena tembak sehari sebelum kepulangan kamu dari Amerika. Dan karena itu kamu gak mau aku anter ke bandara." Dara membenarkan posisi duduknya menghadap Ken. "Pertanyaan aku bukan soal penembakannya, karena aku udah tau resiko pekerjaan kamu saat kamu bilang kamu tentara pasukan khusus, dan aku gak akan tanya kenapa kamu bisa ketembak. Percuma, aku tanya pun kamu gak akan jawab, kan?"

Ken terpaku menatap Dara.

"Yang aku ingin pertanyakan adalah, di saat kamu butuh seseorang, kenapa kamu gak mau kasih tau dan minta bantuan sama aku? Apa aku gak bisa kamu percaya? Aku ingin penjelasan," imbuh Dara.

Untuk pertama kalinya Ken melihat sisi kedewasaan Dara secara langsung yang jarang diperlihatkannya. Dan entah untuk kesekian kalinya Ken amat bersyukur pada Tuhan karena wanita inilah yang kini dan seterusnya akan selalu mengisi hatinya.

"Aku bakal jelasin, tapi nggak sekarang karena pertemuan seperti ini akan jadi rutinitas kita mulai saat ini."

Jika punya indera keenam mungkin bisa terlihat, kini perut Dara tengah dipenuhi kupu-kupu terbang yang menggelitik membuat Dara tak dapat menahan rona merah yang muncul di pipinya. Bila ada orang yang bertanya, siapa yang paling bahagia hari ini maka jawabnya adalah mereka berdua.













🔜🔜🔜🔜🔜




Halohaaaa
Apdet pd dini hari nihh hehe


Lavv,
Nun
14/07/2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top