32




Dengan kecepatan tinggi, Dara melajukan mobilnya di jalur kanan jalan bebas hambatan. Lampu jauhnya berkali-kali ia nyala dan matikan untuk membuat mobil lain menyingkir dari lajurnya. Kini hampir satu jam Dara mengemudikan mobilnya menuju ke Bandung, dan gelapnya langit malam tak menyurutkan niatnya untuk pergi sejauh yang ia bisa dari rumahnya.

Lima belas menit selanjutnya Dara telah sampai di Kota Kembang, kota kelahirannya itu. Sedikit banyak yang berubah sejak terakhir Dara mengunjunginya. Meski hal pertama yang ia ingat ketika menginjakan kaki di Bandung lagi adalah nenek dan sanak saudaranya, namun saat ini ia tidak pada kondisi yang dapat bertemu dengan mereka.

Keluar dari gerbang tol, Dara menepikan mobilnya di sebuah minimarket. Ia belum mematikan mesinnya, hanya menunduk dan menyandarkan kepalanya di atas kemudi.

Dddrrrttt. Dddrrrttt.

Ponselnya menampilkan notifikasi pesan masuk. Namun Dara mengacuhkannya. Ia terus tertunduk hingga setetes demi setetes air matanya pun mengalir. Guyuran air hujan yang mengenai badan mobil pun seolah mengalunkan lagu sedih bagi Dara, menghanyutkan lebih dalam perasaan Dara yang kini tengah dilanda keraguan.

"Pah..." Dara masih terisak.

Cukup lama Dara menangis dengan posisi seperti ini. Namun akhirnya terhenti karena ponselnya berdering. Ia segera menyeka air matanya dan mengecek panggilan yang masuk yang ternyata dari Mamahnya.

"Ra, kamu di mana?" Sambar Arumi saat Dara baru saja menjawab teleponnya.

"Uhm, aku?" Dara melihat ke sekitar karena ia pun lupa sedang berada di mana.

"Iya, kamu di mana? Jam segini belum pulang?" Arumi terdengar sangat cemas.

"Aku di Bandung, Mah," jawab Dara pada akhirnya.

"Ngapain kamu? Sendiri atau ada tugas ke sana?"

"Hehe, sendiri, Mah."

"Ya Allah ya Rabb, kamu tuh, ya! Ngapain sendirian ke sana? Liat ini udah jam berapa? Kapan mau pulang? Nginep aja di hotel temennya Mamah, sekarang Mamah telpon, ya."

"Nggak usah, Mah.."

"Nggak ada bantahan! Mamah kirim alamatnya sekarang."

Tut. Tut. Tut.

Sambungan pun terputus. Dara menaruh kembali ponselnya dengan lemah. Ia menoleh ke arah cermin, matanya begitu sembab. Tak lama sebuah pesan kembali masuk. Alamat hotel pun sudah ia ketahui. Dengan setengah hati Dara kembali melajukan mobilnya menuju alamat yang dimaksud Mamahnya.

🛫🛫🛫


Di ruang keluarga, Arumi, Kenant, dan Viktor sedang berpikir keras. Mereka baru saja bisa bernapas lega setelah dapat menghubungi Dara dan mengetahui bahwa ia dalam keadaan baik-baik saja. Namun tak berselang lama, kabar yang kurang baik pun mereka dengar.

Lima menit yang lalu...

"Ken? Ada apa nelpon malem-malem gini?"

"Sebelumnya aku minta maaf karena udah ganggu Dokter malem-malem gini." Ken berdehem. "Dara ada di rumah, Dok?"

"Daranya lagi nggak di rumah, kenapa?"

"Kalo boleh tau kemana ya, Dok?"

"Lagi di Bandung."

"Oh.. ada acara?"

"Nggak, bukan ada acara. Dia lagi pengen sendirian aja kayanya."

"Baik, terima kasih, Dok."

"Iya, sama-sama, tapi kenapa kamu tiba-tiba nanyain Dara?"

"Bukan apa-apa, Dok, tenang aja. Terima kasih, Dok, sekali lagi."

Saat ini...

Merasa aneh dengan Ken yang tiba-tiba menanyakan Dara di mana membuat Arumi semakin khawatir. Bukan hanya Arumi, tapi juga Kenant dan Viktor. Setelah insiden gas beracun seluruh keluarga jadi selalu khawatir akan keselamatan Dara. Hingga Dara sempat protes dengan bodyguard yang membuntutinya ke mana-mana.

"Mamah mau nyusul Dara ke Bandung." Putus Arumi membuat Viktor dan Kenant terkejut.

"Mah, ini udah tengah malem!" Sergah Viktor.

"Tapi Mamah khawatir."

"Kita juga khawatir," ucap Viktor sama kerasnya.

"Kamu gak denger tadi suara Ken kaya gimana, Vik, perasaan Mamah gak bisa dibohongin. Pasti ada sesuatu, apalagi setelah insiden di Surabaya, Mamah semakin nggak tenang."

"Pah, cegah Mamah, dong!"

"Bener kata Viktor, ini udah malem. Besok Mamah ada jadwal operasi, Viktor juga harus kuliah. Biar Papah yang nyusul Dara."

🛫🛫🛫


Sesampainya di hotel Dara langsung mandi dan menyegarkan tubuhnya. Rasanya jauh lebih baik mandi setelah menangis, meskipun di dalam kamar mandi ia dengsn tergesa membersihkan tubuhnya. Masih dengan handuk kimononya, ia segera menuju ke balkon kamar karena terasa sesak di dalam kamar.

Dan ketika Dara membuka pintu balkon, kilauan berbagai macam lampu yang menyinari kota terlihat indah dari ketinggian. Semilir angin sejuk pun menghampiri wajah dan leher Dara yang memang tak terbalut apapun. Dengan angin itu pula segala keresahan Dara perlahan terangkat seiring dengan angin yang juga semakin lama semakin menghilang.

Setelah beberapa saat menikmati panorama kota, Dara kembali masuk ke kamar dan segera mengunci pintunya. Meskipun ia terlihat baik-baik saja saat ini, namun tak dapat dipungkiri masih ada rasa takut yang Dara rasakan saat masuk ke kamar hotel. Bayangan akan gumpalan gas beracun yang membuatnya lemah masih terlihat jelas dalam ingatan Dara.

Sementara itu...

Dengan kecepatan tinggi Ken mengemudikan mobilnya. Setelah mengetahui Dara ada di Bandung, detik itu juga ia segera pergi untuk menyusul Dara. Ia tak dapat menunda rencananya.

Keluar gerbang tol, Ken menepikan mobilnya terlebih dulu. Ia membuka daftar nomor kontak di ponselnya, hingga munculah nama Dara yang ada diurutan paling atas pada daftar kontaknya. Hanya tinggal dengan satu ketukan pada ponselnya ia akan segera tersambung dengan Dara. Namun jempolnya terlalu kaku, hingga ia terdiam untuk beberapa saat.

Ken memejamkan matanya, tangannya terkulai lemah dan ponselnya terjatuh. Ia sudah melangkah terlalu jauh. Seharusnya Ken berhenti setelah mengenal Dara, seharusnya ia segera akhiri perasaannya yang tak berbalas, dan meski berbalas pun ia tetap tak akan bisa bersama dengan Dara. Sudah menjadi kewajiban seorang anak dari Thomas Alexander yang alur hidupnya telah dirancang orang tua dan perusahaannya, hingga tak memungkinkan baginya untuk dapat bersanding dengan Dara.

Dengan perasaan yang sangat sulit dijabarkan, akhirnya Ken meraih kembali ponselnya. Dengan segala kekuatan hatinya, ia mencoba menjadi sosok yang tak tahu malu dengan menelepon Dara.

Suara sambungan telepon akhirnya terdengar di telinga Ken. Hingga suara seseorang menyahut dari seberang sana.

"Halo?"

Suara parau dan serak Dara yang telah menangis terdengar sangat jelas hingga menohok hati Ken.

Ada apa dengan dia?

"Halo?" Ulang Dara ketika tak ada sahutan dari sang penelepon.

"Halo-"

Brak!

Suara sesuatu yang jatuh terdengar begitu Ken menyapa Dara.

"Ra, ini aku, Ken."

"Uhm, i-iya Ken, ada apa nelpon?"

"Kamu di mana?"

"Di Bandung."

"Bisa kirim posisi kamu sekarang?"

"Hah?! Mau ngapain?" Dara sontak terkejut. 

"Aku mau minta tolong. Aku tunggu, ya, kiriman alamatnya."

Ken segera memutus sambungan teleponnya. Jujur saja, hanya berbicara lewat telepon dengan Dara sudah membuatnya gugup. Bagaimana bisa ia nanti bertemu dan minta tolong secara langsung pada Dara?

⏭⏭⏭

Semenjak ia mengirimkan pesan singkat pada Ken, tak hentinya Dara memukul bantal yang dipeluknya. Kesal setengah mati karena dengan mudahnya ia menganggap tak terjadi apapun di antara mereka setelah Ken tak mengacuhkannya di acara ulang tahun pernikahan Saras dan Thomas, ah, bukan, lebih tepatnya pesta pertunangan Ken dan Nayla.

"Bodoh banget sih gue!"

Dara menggerutu sambil mengusap bokongnya yang masih sakit karena terjatuh dari kasur sesaat setelah mendengar suara Ken. Meski masih kesakitan namun Dara segera mengganti pakaiannya.

🛫🛫🛫

1 am

Hotel di Bandung.

"Papah? Ngapain ke sini?" Dara terkejut melihat Papahnya yang kini berada di depan pintu kamar.

"Boleh Papah masuk?"

"Uh, boleh." Dara sedikit menyingkir dari jalan dan membiarkan Kenant masuk terlebih dulu.

"Kamu kenapa gak pulang?" Kenant langsung bertanya setelah duduk di kursi dekat jendela.

"Gak apa-apa," jawab Dara dingin.

"Ada apa, Kak? Mamah sama Papah khawatir, Viktor juga." Kenant menatap anaknya yang kini terlihat kusut.

Dara terdiam mendengar perkataan Papahnya. Ia juga tak ingin seperti ini, tapi apa yang Chelsea katakan padanya benar-benar membuatnya telak.

Tapi, kan, aku udah mutusin buat percaya sama Papah. Batin Dara tengah dilema.

"Hmm, Pah."

"Kenapa?"

"Papah pernah operasi ibunya temen Dara, gak?" Dara mencoba untuk tak langsung pada poinnya.

"Siapa? Papah ketemu banyak pasien jadi suka lupa," ujar Kenant yang kini mulai penasaran dengan yang Dara bicarakan.

Dara termenung. Seketika pikirannya kembali berubah.

"Nggak jadi, Pah. Kayanya salah orang."

"Kapan Kakak mau pulang? Besok?" Tanya Kenant memastikan.

"Mungkin,"

"Ya udah, Papah ada di kamar sebelah. Besok pagi kita pulang, ya."

Kenant pun berlalu meninggalkan Dara yang kini kembali merenungkan apa yang harus ia lakukan. Hingga akhirnya sebuah ide muncul dalam benaknya.

"Ah, Ken."

🛫🛫🛫

Dengan sabar Dara menunggu Ken di tengah angin dingin yang berhembus. Ia tak ingin Papahnya mengetahui ia bertemu dengan Ken, karena itu ia memilih segera turun saat Ken membalas pesannya.

Tak terasa lima menit berlalu dan sebuah mobil yang familiar bagi Dara pun berhenti di depannya. Dara tersenyum saat melihat Ken turun.

"Ra, kamu ngapain nunggu di sini?" Tanya Ken dengan nada yang sarat kecemasan, terlebih dugaannya benar ternyata mata Dara bengkak ia yakin Dara tadi menangis.

"Nggak apa-apa, kok. Oh ya, kamu mau minta tolong apa?" Ucap Dara sambil terus mengusap lengannya yang kedinginan.

"Masuk dulu, kita ngomong di mobil aja."

Ken membuka pintu penumpang dan mempersilakan Dara masuk. Setelah Dara duduk dengan nyaman, segera Ken menutup pintu dan berjalan masuk ke mobilnya.

Dara masih terus mengusap lengannya meskipun sudah berada di dalam mobil. Ken yang menyadarinya sejak tadi langsung mematikan AC mobilnya, dan mengambil sesuatu dari jok belakang.

"Nih pake," Ken memberikan jaket bercorak loreng miliknya.

"Nggak usah makasih," tolak Dara.

Penolakan Dara sama sekali tak Ken hiraukan, tanpa basa basi Ken membentangkan jaketnya kemudian memakaikannya pada Dara. Lagi-lagi Dara hanya bisa membeku melihat Ken memperlakukannya seperti ini. Ritme detak jantungnya tak beraturan. Bahkan sebisa mungkin ia menahan nafasnya agar tak mengganggu Ken.

Entah Dara memang bodoh ataukah terlalu terbawa perasaan, yang jelas jika sudah berhadapan dengan Ken, Dara tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Ya, seperti saat ini.

"Nah, anget, kan?" Ken tersenyum setelah selesai memakaikan jaketnya.

"Hmm," Dara belum dapat menggerakan tubuhnya, ia masih memandang lurus ke depan.

Begitu juga dengan Ken, kini ia hanya bisa terdiam menatap Dara yang terlihat berantakan dengan rambut yang dibiarkan tergerai hingga kusut karena angin, dan juga wajah habis menangisnya.

"Ra,"

Suara Ken membawa Dara dari pengelanaannya. Sadar posisi duduknya terlihat sangat tak nyaman Dara segera berdehem dan membenarkannya.

"Jadi, kenapa?"

"Kamu yang kenapa, Ra?" Kini Ken mengalihkan pandangannya dari Dara.

"Aku? Kenapa?"

"Habis nangis?"

Dara menggelengkan kepalanya.

"Aku nggak apa-apa. Balik ke topik pembicaraan kita, kamu mau minta tolong apa?" Dara menatap Ken. "Kalo aku tolongin kamu, mau gak tolongin aku juga?"

Sejujurnya Ken tak ingin melibatkan Dara dengan urusannya yang berbahaya ini. Tetapi karena Kei yakin semua akan baik-baik saja dan juga melihat kondisi Saras, dengan berat hati Ken menyusul Dara ke sini akibat Dara yang sulit dihubungi.

"Bisa antar aku?" Tanya Ken setelah perang batin.

"Ke mana?"

"Achernar."

Deg.

Sebuah nama cukup membuat ketakutannya kembali mencuat.

"A- achernar?" Dara tergagap.

"Tapi kalo kamu gak bisa, gak usah, Ra. Aku juga sebenernya nggak mau kamu antar aku ke sana."

"Nggak!" Tegas Dara sedetik kemudian. "Aku mau,"

"Ra.."

Dara masih mencoba mengatur napasnya yang tersendat karena cukup terkejut. Namun bukan Dara jika ia tak bisa mengendalikan ketakutannya di saat ia harus memutuskan.

"Tapi kamu harus tolong aku." Ucap Dara saat lebih tenang. "Aku butuh informasi keluarga Jenderal Nesar."

"Jenderal Bima maksud kamu?" Ken terkejut.

"Iya," Dara mengangguk pasti. "Apa kamu bisa?"




🔜🔜🔜🔜🔜





Cieeee udah puasa hari kedua.
Semangat teman-teman!!!

Lavv,
Nun
18/05/2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top