26


Suasana jalanan yang tak begitu ramai membuat hawa di dalam mobil pun semakin mencekam. Baik Dara maupun Ken sama-sama hanya fokus pada jalanan. Hingga akhirnya Dara sedikit mengantuk. Ia pun memutuskan untuk menyandarkan kepalanya dan menghadap ke jendela sebelah kiri untuk menghindari kontak dengan Ken.

Perlahan mata Dara pun mulai menutup. Hingga sebuah suara misterius terdengar.

Kruuk~ Kruuk~ Kruuk~

Suara yang berasal dari perut Dara itupun langsung mengalihkan fokus Ken.

"Ra?"

Dara yang sudah malu setengah mati memilih untuk tak menyahut panggilan Ken.

Gue cuma perlu pura-pura tidur sampe rumah. Lo pasti bisa, Ra!!!

Ken yang tak mendapat jawaban dari Dara pun tak lagi bersuara.

Setelah beberapa saat, Dara merasakan mobilnya berhenti.

Kenapa, nih? Perasaan rumah gue masih jauh.

Ken mematikan mesin mobil lalu turun dari kursi kemudinya. Ia berjalan memutar lalu berhenti di depan pintu penumpang Dara.

Tok! Tok!

Duh, ngapain dia di situ? Dara semakin memejamkan matanya hingga terlihat mengkerut.

Dari luar Ken tersenyum tipis. Ia memutuskan untuk membuka pintunya. Saat pintu terbuka lebar, Dara malah membenarkan posisi duduknya lalu berbalik memunggungi Ken. Masih mempertahankan peran pura-pura tidurnya.

"Ra," panggil Ken. "Aku buka seatbelt-nya, ya."

Dan dalam hitungan detik Ken sudah membungkukkan tubuhnya, mencoba membuka sabuk pengaman yang masih terpakai dan dipegang erat oleh Dara.

Ya Tuhan, dia mau ngapain?! Aissh, bikin malu aja, sih.

Saat tangan Ken sudah hampir membuka seatbelt, tiba-tiba Dara memanuver tubuhnya bak sebuah pesawat yang sedang melakukan aerobatik. Posisi Dara yang awalnya miring ke kanan, kini ia sudah terlentang dan menghadap ke depan membuat posisi wajahnya begitu dekat dengan tubuh Ken hingga ia bisa mencium wangi tubuh Ken.

"Minggir!!!" Teriak Dara seketika.

Ken yang terkejut pun segera menyingkir dari hadapan Dara.

"Ayo!" Dara turun kemudian memimpin jalan.

"Kamu gak alergi seafood, kan?"

Tanya Ken sedikit khawatir dengan perubahan sikap Dara yang drastis.

"Nggak! Aku bener-bener SUKA sama seafood!"

Tak elak sikap menggemaskan Dara ini membuat Ken tersenyum lebar hingga hampir terkikik. Betapa beruntungnya Dara bisa membuat Ken tertawa di depannya dan betapa malangnya pula Dara karena tak menyadari hal itu.

🛫🛫🛫

Hari ini Dara sangat bersemangat lebih dari biasanya. Meskipun pagi tadi saat ia terbangun ia mendapati wajahnya sedikit membengkak karena makan terlalu banyak tadi malam dan langsung pergi tidur, namun entah kenapa, rasanya hal itu tak sedikitpun mengganggu mood baiknya.

Tak ada yang aneh sebenarnya jika dilihat dan diperhatikan sekilas, dari mulai gedung kantor dan beribu karyawannya yang memasukinya, hingga beberapa truk yang memasuki kawasan pabrik di belakang gedung kantornya. Namun bila diperhatikan lebih seksama apa yang diperbincangkan oleh orang-orang yang berlalu lalang itu, ternyata topiknya hampir sama. Mereka berkata 'oh, itu orangnya' setiap kali mereka berpapasan dengan Dara.

Ada apa, sih? Kok, pada ngeliatin guenya gitu banget.

Batin Dara saat merasakan tatapan-tatapan sinis dan sarkastis dari sekelilingnya.

Tatapan dan seringaian itu semakin menjadi saat Dara memasuki elevator. Tentu situasi dan kondisi ini membuat Dara merasa tak nyaman. Ingin rasanya ia tiba-tiba menghilang dari kotak kastrol ini dengan sekejap mata. Yup, keluar dari penderitaan ini.

Lagi, ada hal yang mengusik pikiran Dara.

Gosip apa yang sudah menyebar ke seantero kantor ini?

🛫🛫🛫

Jam makan siang akhirnya tiba. Dara dengan segera menyambar dompet dan ponselnya. Ia ingin segera menaiki elevator sebelum banyak orang yang memakainya.

Ketika melewati ruangan Kei yang memang tak jauh dari ruangannya, ia melihat Rani sedang bebenah mejanya.

"Mbak, mau makan?" Dara bertanya segera.

"Iya, Ra. Kenapa?"

"Mau bareng nggak?"

"Ayo! Bentar, ya," ucap Rani setuju.

Setelah memasukkan berkas ke dalam laci dan loker, Rani segera menghampiri Dara yang sudah tak enak hati sejak tadi.

"Yuk!"

Akhirnya ... Dara menghela napas lega.

Sebenarnya Dara bukanlah tipe orang yang memedulikan pendapat orang lain tentang dirinya. Terbukti saat SMA dulu ia selalu cuek dengan orang-orang yang meremehkannya. Namun, lain halnya ternyata jika hal itu terjadi di dunia kerja dan bukan hanya satu dua orang melainkan hampir satu kantornya membicarakan dirinya.

Setelah menaiki elevator hanya ada seorang pria yang sedang berada di dalamnya. Tentunya ini begitu melegakan bagi Dara.

"Hufftt ..."

"Kenapa, Ra? Capek?" Tanya Rani sedikit cemas.

"Nggak, kok, Mbak. Aku cuma-"

Perkataan Dara terpotong saat pintu lift kembali terbuka. Bukan, Dara berhenti bicara bukan karena pintu lift yang terbuka, tetapi karena segerombolan karyawati yang merumpi sambil cekikikan. Mereka tertawa pastinya karena ada hal yang begitu lucu dan menyenangkan untuk mereka tertawakan. Tapi ternyata topik yang lucu dan menyenangkan itu adalah DARA.

"Katanya ortunya kaya, makanya dia bisa jadi pilot," ujar seorang wanita berkacamata.

"Gimana kalo uji terbang pesawat komersil perdana kita gagal? Bisa-bisa kita di-PHK," timpal wanita dengan kucir kudanya.

"Ya, terima nasib aja. Gara-gara pilot gadungan kita dipecat," ujar wanita yang satunya lagi.

Lain halnya dengan ketiga wanita yang terus bicara walau lift sudah kembali melaju turun, dua wanita yang sadar akan keberadaan Dara hanya diam dan tersenyum kaku menatap Dara.

Apa Dara membalas senyumnya? Tentu saja tidak, Dara bukan seorang berhati mulia bak malaikat yang tak akan kesal meski dicaci dan difitnah mati-matian. Ia malah membalas senyum kikuk dua wanita itu dengan delikan mata yang begitu tajam, menyebabkan mereka sedikit tersentak saat melihatnya.

Rani yang mendengar hal itu pun sama kesalnya dengan Dara.

"Ra, gak usah didengerin!" Ujar Rani cukup keras. "Mak-mak rempong emang kerjaannya cuma bisa ngiri liat orang sukses," lanjutnya menyindir.

"Wah, siapa nih, yang ber-" wanita berkacamata itu tiba-tiba berhenti mengoceh.

"Ber- apa, ya, Bu?" Dara bertanya dengan senyuman termanisnya.

"Ng ... nggak ada ber- apa-apa," ujarnya pelan.

"Kalau ada yang mau Ibu-Ibu sampaikan, baik kritik dan saran untuk saya, langsung saja bicara sama saya. Rasanya akan lebih beretika dan beradab seperti itu dibanding harus bicara di belakang saya," ujar Dara dengan sangat lancar. "Oh, ya, lebih tepatnya saya yang di belakang Ibu-Ibu."

Semua terdiam. Entah takut, makin kesal karena dipanggil 'ibu-ibu', atau karena memang mereka sadar kesalahan mereka.

Ting!

Untunglah mereka sudah sampai di lantai satu sehingga pembicaraan ini bisa berakhir di sini.

"Saya duluan, ya, Ibu-Ibu. Permisi." Dara bersikap sopan dengan menunjukkan senyumnya sembari melewati kelima perempuan itu.

Diikuti oleh Rani yang melotot tajam pada kelima wanita yang kini terdiam kaku.

⏩⏩⏩

"Ra, serius, Mbak nggak nyangka kamu berani ngomong kaya tadi," ucap Rani masih antusias.

"Kan, aku nggak salah. Nggak seperti yang mereka bicarakan. Jadi, kenapa harus takut?"

Mereka pun duduk di kursi kantin yang dekat dengan jendela. Belum banyak orang yang datang ke kantin sehingga membuat mereka berdua leluasa memilih meja.

"Tapi emang sekali-kali harus digituin, Ra. Soalnya emang di sini, tuh, yang namanya gosip gampang banget nyebar."

"Mending kalo bener, kalo salah, kan fitnah."

"Iya, tuh, fitnah!"

Ucap seseorang yang menghampiri meja Dara dan Rani lalu langsung ikut terjun dalam pembicaraan mereka.

"Ziko?!"

"Apa kabar, Ra? Nggak kangen lo sama gue?" Ziko membuka kacamata hitamnya.

"Nggak!" Timpal Dara tanpa pikir panjang.

"Yeh, suka jaim gitu, ah," goda Ziko yang tak ditanggapi. "Hai Mbak Rani, apa kabar?"

"Akhirnya gue keliatan juga."

"Hehe, sorry. Kalo udah ketemu Dara bawaannya serasa dunia milik berdua," ujar Ziko santai.

Seketika itu pula Dara tersedak mendengar penuturan Ziko.

"Uhuk-uhuk!"

"Kenapa sih, Ra, tiap ketemu gue pasti lo kebesekan?" Ziko memberikan Dara minum.

"Gak usah! Gue bisa sendiri." Tolak Dara cepat.

"Kapan lo balik, Ko?" Tanya Rani mengalihkan perhatian Ziko.

"Kemaren, Mbak."

"Bisa pulang cepet?"

"Hmm,"

"Kali ini ke mana? Luar tlTanah Air?"

"Ya, bisa dibilang."

"Ngapain aja di sana?"

"Mancing."

"Ish!" Decak Rani sebal. "Iya, deh, bapak pasukan khusus yang penuh rahasia."

Dara yang memerhatikan mereka berdua bicara pun akhirnya mengerti. Ternyata Ken bukanlah tentara biasa.

Oh, pasukan khusus, toh. Keren juga.

Decak kagum Dara dalam hati.

🛫🛫🛫

Ruang meeting senantiasa dipenuhi oleh para direktur beserta investor yang bekerja sama dengan AeroWings dalam proyek pesawat komersil pertama AeroWings 454. Dara pun berada pada deretan orang-orang yang terlibat itu. Ia duduk berdampingan dengan Rendi yang notabene adalah co-pilot, yang kini ia ketahui bahwa ternyata Rendi lebih tua dua tahun darinya. Dara cukup terkejut saat mendengarnya dari Rani. Ia pun merasa lebih canggung saat ini, setelah mengetahui bahwa dia belum menjadi captain pilot meskipun Rendi merupakan seniornya.

"Pak, jadi uji terbang kedua dilakukan minggu depan?" Dara berbisik pada Rendi.

"Iya, kita harus siap-siap."

"Siap!"

Akhirnya rapat itupun diakhiri. Dara menggeliatkan tubuhnya yang terasa kaku setelah duduk cukup lama tanpa bisa bergerak bebas.

"Capt, langsung pulang?" Tanya Rendi pada Dara.

"Iya, sudah selesai, kan?"

"Sudah. Tapi, janji capt belum selesai."

"Janji?" Dara mengernyit. "Oh, iya! Ya ampun, sampe lupa 'kan."

"Mau pakai mobil saya?"

"Nggak, gini aja. Takutnya malah merepotkan, saya bawa mobil kok. Jadi kita naik mobil masing-masing ke restonya." Ujar Dara.

"Oh, oke kalau gitu."

Ya, hari ini Dara akan menraktir Rendi sesuai janjinya. Dara pun berjalan menuju ruangannya. Ketika sampai di depan ruang Kei, ternyata Ziko masih berada di sana.

"Ra, mau pulang 'kan? Yuk!" Ajak Ziko menggamit tangan Dara.

"Ih, ini lepas!" Dara melepaskan tangannya. "Gue emang mau pulang. Tapi nggak bareng lo."

Dara mendelik tajam. Kesal dengan sikap Ziko apalagi ini di kantornya, di depan Rendi pula.

"Cieee, ehem-ehem!" Kei yang baru keluar dari ruangannya pun menghampiri.

Dara menunduk malu.

"Kasian lho Ziko udah nunggu dari tadi. Sana gih pulang bareng!" Ucap Kei mengedipkan sebelah matanya pada Ziko.

"Maaf, tapi aku udah ada janji." Tolak Dara halus.

"Janji sama siapa?" Ziko bertanya heboh.

"Sama pak Rendi," Dara menunjuk Rendi yang berdiri di belakang Kei.

"Oh, ada pak Rendi." Kei baru menyadarinya.

"Kalo begitu, saya permisi." Dara pun memberi kode pada Rendi untuk segera mengikutinya.

Kei dan Ziko pun tak dapat mencegah Dara.

"Ziko, ayo dong lebih keras lagi usahanya! Fighting!"

Ziko hanya dapat tersenyum kaku. Jujur saja awalnya memang ia hanya bersandiwara, pura-pura berjuang mendapat perhatian Dara. Namun kini peran itu kian ia dalami hingga terbawa perasaan.

Ya, ternyata yang diketahui Kei selama ini, Dara adalah gadis yang disukai Ziko. Dan semua ini berawal dari cerita yang entah bagaimana dapat terucap dengan mudahnya dari mulut Ken.

Flashback On.

Juni 2007

Pagi ini Ken baru kembali ke Amerika setelah menikmati liburannya di Indonesia bersama Ziko. Kini ia harus kembali lagi ke rutinitas hariannya, kuliah dan menjalankan misi. Sesampainya di rumah bukannya Ken langsung istirahat ia malah sibuk dengan laptopnya, berseluncur di akun sosial medianya untuk mencari petunjuk tentang perempuan yang sudah selama setahun ini menyita perhatiannya.

"Ken, gimana ketemu sama Nayla?" Kei masuk ke kamar Ken.

"Hah?"

"Gimana ketemu sama Nayla?" Kei mengulang pertanyaannya.

Namun tak ada jawaban. Karena Kei penasaran akhirnya ia merebut laptop yang sedang berada di pangkuan Ken.

"Kak!" Ken segera merebutnya kembali.

Untung saja Kei tidak melihat lebih jelas apa yang sedang Ken lihat. Bisa gawat kalau kakaknya tahu.

"Gimana Nayla? Cantik 'kan?" Tanya Kei penasaran.

"Hmm."

"Lancar pertemuannya?"

"Hmm."

"Terus papah gimana?"

"Nggak gimana-gimana," ujar Ken acuh.

"Serius nggak gimana-gimana?"

"Hmm."

"Siapa sih Megandara tu?"

"Hah?" Ken langsung tersentak kala mendengar nama Dara disebut oleh Kei.

"Denger namanya aja sampe kaget gitu. Siapa dia yang bisa bikin kamu cuekin kakak?" Kei mensidekapkan lengannya.

"Uh, itu kak." Ken berpikir. "Itu gebetannya Ziko." Ucapnya spontan setelah tiga detik berpikir.

"Wah? Seriusan?" Kei langsung antusias. "Kakak kira gebetan kamu."

Ken mengacuhkan kalimat Kei kali ini. Ia lebih memilih diam.

"Siapa dia? Anak mana?"

"Dara, dia lagi di Amerika juga kak." Ucap Ken serius menatap Kei.

"Wah, mantap dong si Ziko, ada yang nggak jomblo lagi dong sekarang."

"Kakak bisa bantu Ziko nggak?"

Akhirnya meluncurlah segenap cerita mengenai dirinya yang ia rubah menjadi cerita milik Ziko. Ia dengan terpaksa mengorbankan nama Ziko agar Kei mau membantu Dara.

Setelah sekitar lima menit penjelasan dari Ken pun selesai. Kei mengerti apa maksud adiknya. Awalnya Kei sedikit curiga, tapi melihat ketulusan dan kejujuran dari alur cerita Ken yang memang tak berbohong kecuali bagian namanya, akhirnya Kei menyetujui permintaan Ken.

"Tapi sebagai gantinya, kamu harus pastikan perjodohan kamu dengan Nayla lancar. Jangan sampai buat hubungan kamu sama papah semakin buruk, oke?"

"Oke."

Dengan terpaksa akhirnya Ken pun menyepakatinya. Setidaknya ia dapat melihat perempuan itu bahagia meraih cita-citanya.

☆☆☆

Seminggu setelah sepakat dengan Kei...

Kegiatan perkuliahan untuk hari ini telah selesai. Ken dan Ziko seperti biasa akan membeli sandwich di cafe cepat saji dekat kampus mereka. Dan kebetulan sekali takdir membawa mereka bertemu dengan Dara.

"Bang! Kesini!" Ken menarik Ziko untuk tak memasuki cafe terlebih dulu.

"Kenapa? Laper nih."

"Ada Dara," ujar Ken melihat ke dalam.

Ziko hanya bisa melongo melihat keberadaan Dara di dalam cafe.

"Dia ada di sini?" Ziko tak percaya dengan apa yang ia lihat.

"Iyah," Ken masih memerhatikan gerak Dara.

"Seriusan lo ternyata," Ziko akhirnya melihat keberadaan Dara.

"Bang, gue harus ngomong serius sama lo." Ken menarik Ziko menjauh dari cafe.

》》》

"Jadi maksud lo, gue harus pura-pura ngegebet Dara?!"

Ziko tak dapat menahan keterkejutannya setelah mendengar penuturan Ken. Ia pun menenggak habis minumannya karena tiba-tiba mulutnya terasa sangat kering.

"Iyah," Ken memainkan kakinya.

"Wuah, gila lo Ken! Lo mau gue berakhir kena amuk Kei?"

Ken terdiam. Ia memandang lurus taman yang dipenuhi mahasiswa teman satu almamaternya. Bukan ia tak memikirkan apa yang baru saja dikatakan Ziko, tapi mau bagaimana lagi ia sangat ingin membantu Dara walaupun Dara tak tahu apa yang sedang ia lakukan untuk Dara.

"Lagian lo gak kenal dia Ken, dia juga nggak tau lo bantu dia. Jadi buat apa lo pertaruhin kepercayaan kakak lo buat dia?"

"Karena kalau dia tahu, dia gak akan mungkin terima bantuan dari gue."

"Dan seandainya kak Kei tau dia nggak bakal mau bantu lo lagi." Ziko menambahkan.

"Nggak masalah buat gue."

"Dan gimana kalo akhirnya Dara tau ternyata lo bantu dia?" Ziko masih berusaha menjauh dari kesepakatan itu.

"Dan apa lo juga nggak merasa bersalah udah jadiin dia bahan taruhan sama Zero?"

"Lo tau?"

★★★★★


Akhirnya sudah "K" ehehehe. Terimakasih para pembaca dan voters. I lav yu somayy!

Lavv,
Nun
14/03/2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top