24
✈
Setelah memanggil Ken, Derren langsung mengajak Ken untuk ikut ke ruangannya. Dan, di sinilah Ken saat ini, di ruangan yang dipenuhi banyak bahan kimia yang terlihat sangat bersih dan steril. Banyak sekali cairan dalam berbagai warna di dalam tabung yang ukurannya bervariasi itu. Bahkan ada beberapa cairan yang mengeluarkan asap membuat Ken lebih ekstra hati-hati saat melangkah. Saat melihatnya Ken langsung teringat film-film sains fiksi garapan hollywood.
Ternyata ada juga di kehidupan nyata.
"Lama kita tidak bertemu," ucap Derren sambil memberikan secangkir kopi pada Ken.
"Apa yang sebenarnya kamu kerjakan di sini?" Ken menatap pria bertubuh tinggi kurus itu.
"Aku? Hanya bermain dengan berbagai eksperimenku," ujar Derren santai.
Ken menyesap kopi yang masih mengepulkan asap itu. Ia mengedarkan pandangannya untuk mencari sebuah petunjuk. Setidaknya ia harus tahu apa yang sedang Derren lakukan.
Beruntungnya, Ken masih mengenakan kacamata berkameranya sehingga ia bisa merekam seluruh ruangan ini.
Namun saat ia masih mengedarkan pandangannya untuk mengarahkan kamera, tiba-tiba Derren berdiri di hadapannya dan menatap Ken tajam. Ken tetap rileks, lalu menaruh cangkir kopinya di meja, meskipun tatapan Derren masih tetap fokus padanya.
"Kali ini aku akan biarkan kamu lolos, berhubung kita teman lama. Tapi sebagai gantinya, jangan pernah datang kembali ke sini jika kamu masih ingin hidup."
Kemudian Derren membungkuk mensejajarkan wajahnya dengan wajah Ken yang sedang duduk. Derren bicara tepat di depan kacamata Ken.
"Sampaikan salamku pada pemimpinmu. Katakan jika mereka ingin melindungi rakyatmu, maka akuilah kami." Derren kembali berdiri tegak.
Ken balik menatap Derren dan tak kalah tajamnya. Namun, sedetik kemudian ia menerbitkan senyumannya yang juga mematikan.
"Baik, akan aku sampaikan, demi teman lamaku," ucap Ken santai lalu bangkit dari duduknya. "Terima kasih atas kopinya."
Ken kemudian berjalan menuju pintu, hingga ia teringat sesuatu lalu berbalik.
"Oh ya, ingat satu hal. Negaraku tidak selemah yang kamu pikir." Ken kembali melihat sekeliling. "Tapi tidak apa, teruslah berpikir seperti itu," tukas Ken sembari menunjukkan smirk ter-evil-nya.
Ayu, tolong cari tau apa yg ada di foto yang sy kirim.
Sent.
Setelah mengirim pesan, Ken mencabut baterainya dan mengambil sim card-nya, setelah menemukan tong sampah ia membuangnya. Dengan gerakan yang cepat nan apik, Ken membuka korek api lalu menuangkan sedikit bensinnya kemudian membakarnya. Sehingga sesaat setelah langkahnya sedikit menjauh, terdengar sebuah ledakan yang cukup keras dari tong sampah itu.
Let's play the game.
🛫🛫🛫
Dara berlari memasuki sebuah restoran Korea. Napasnya memburu karena ia berlari cukup jauh dari parkir basement. Saat memasuki restoran ia mengedarkan pandangannya mencari sosok yang sepertinya kini sudah tak ada lagi di sini.
Namun perkiraan Dara salah, ternyata lelaki itu masih di sini, duduk menunggu Dara dengan setia, hanya ditemani dengan segelas air putih di mejanya.
"Huft. Mas Arga? Masih di sini?" Dara mencoba menormalkan kembali ritme napasnya.
"Duduk, Ra." Arga tersenyum simpul.
"Ya ampun, Mas. Aku tadi bener-bener lupa buat ngabarin kalo aku hari ini ada uji coba pesawat." Dara merasa bersalah.
Benar-benar merasa bersalah. Apalagi dengan sikap Arga yang seperti ini membuat Dara semakin tak nyaman menampakkan wajahnya di hadapan Arga.
"Iya, nggak apa-apa kok, Ra." Arga masih dengan senyum manisnya.
"Mas," Dara menatap Arga intens. "Marahin aku aja, please ..."
"Kenapa Mas harus marahin kamu?" Tanya Arga balik menatap Dara intens.
"Pertama, aku nggak tau Mas pulang ke Indonesia. Kedua, aku nggak langsung nemuin Mas. Yang ketiga, di saat aku udah janji ketemu malah telat kaya gini," jelas Dara detail. "Ngeliat Mas yang santai nanggepin aku kaya gini malah bikin aku semakin merasa bersalah."
"Hahaha, Dara ... Dara ..." Arga malah tertawa dengan lepas.
Dara menatap Arga nanar.
"Nyantai aja kali, Ra, tadi Mas di sini juga nggak sendiri, kok. Jadi jangan ngerasa bersalah kaya gitu."
Kalimat ini sukses membuat Dara ternganga. Sungguh ia tak menyangka ternyata Arga ditemani seseorang.
Ya Allah, pantesan aja dia betah nunggu di sini. Orang dia ditemenin! Bodo banget gue, dasar. Geer banget lo, Ra!
Rutuk Dara dalam hati sedikit menunduk.
"Oh, sama siapa Mas?" Dara mencoba bersikap normal.
"Jadi gini, sebenernya Mas mau kenalin kamu sama rekan Mas, namanya Caterine. Dia pengen banget ketemu sama kamu setelah mas cerita soal kamu."
"Caterine?" Dara mengernyitkan dahinya merasa tak asing dengan nama tersebut.
"Iya, dia bilang dia satu akademi sama kamu."
Perkataan Arga sukses membuat Dara terpaku di tempat.
Oh, tidak. Mimpi buruk apalagi ini setelah kemunculan kembali Chelsea ke permukaan hidupnya.
"Tunggu, tunggu. Dia satu akademi sama aku? Apa namanya Caterine Emilia?" Dara mulai tak percaya.
"Iya. Nah, itu kamu tau," ucap Arga.
OH.MY.GOD! Pertanda apa ini? Perasaanku bener-bener nggak enak.
"Gimana Mas Arga bisa kenal sama si kuc-, eh, maksudnya Caterine?" Hampir saja lidahnya terpeleset.
"Dia kerja di penerbangan kita, Ra, dan yang bikin kita cepet akrab, karena dia bisa bahasa Indonesia," jelas Arga yang kembali sukses membuat Dara melebarkan matanya.
Akrab? What the hell-,
Bukannya Dara pendendam atau bagaimana, tapi satu hal yang pasti adalah Dara tidak menyukai Caterine sama sekali. Semua rasa kagum Dara terhadap Caterine yang begitu cantik dan cerdas pada saat pendidikan di akademi, lenyap seketika setelah mengetahui sifat dan perilaku aslinya yang sangat-sangat jauh dari kata cantik. Ya, Dara pernah kagum pada Caterine.
Selain lidahnya yang tajam dan blak-blakan, Cate juga sering sekali memutar balikan fakta. Misalnya saja pada saat ujian tulis pertama, di kelas terdapat kertas contekan yang ditemukan pengawas yang ternyata adalah milik Cate, tetapi hal itu ia tutupi dengan menyalahkan Shawn yang pada saat itu tak mengetahui apapun hingga akhirnya Shawn lah yang terkena hukuman. Semenjak itulah Dara benar-benar muak dengan segala tingkah si "kucing gila" itu.
"Trus sekarang dia di mana?" Dara melihat sekeliling.
"Tadi dia terima telepon terus langsung pamit pergi," terang Arga.
"Oh ..."
Syukur, deh. Males banget ketemu dia. Gak sudi gue!
Dara bersorak dalam hati.
🛫🛫🛫
Weekend, kata dan waktu yang sangat Dara tunggu-tunggu. Ini adalah waktu di mana ia sekeluarga dapat berkumpul di satu meja yang sama. Ia ingin sekali memiliki aktivitas bersama dengan keluarganya, seperti jalan-jalan meski masih dalam kota, makan siang di luar, atau bahkan hanya sekadar bercocok tanam di taman rumahnya.
Namun ekspektasi Dara lenyaplah sudah. Setelah Dara rela bangun pagi demi keluarganya, ternyata malah berujung pada kesepian. Semuanya masih berada di kamar masing-masing. Hanya Dara lah yang sekarang ada di ruang makan.
Bosan, ia pun membuka lemari es mencari sesuatu yang sekiranya bisa ia makan. Betapa tak beruntungnya Dara ternyata semua yang ada di kulkas adalah bahan-bahan mentah. Alhasil ia pun memutuskan untuk memasak.
Ia mengeluarkan tiga butir telur, bawang daun, tiga cabai merah, susu, dan air kaldu daging yang selalu Ani siapkan dalam kulkas.
Kemudian ia mencampurkan semua bahan dengan tak lupa memasukkan garam, lalu memanggangnya di atas frying pan.
Awalnya semua berjalan lancar sebelum Dara menggulung telurnya. Tetapi saat Dara akan menggulungnya ia baru tersadar, apinya terlalu besar. Dan saat itulah ia melihat, bagian bawah telurnya sudah menghitam karena gosong.
"Ah! Nyebelin banget sih, teplonnya!" Dara mengumpat sembari menyajikan telurnya di atas piring.
Namun ia tak kehabisan akal, Dara menggulung telurnya dengan bagian yang gosong di dalam. Sehingga ia tak dapat melihat warna hitamnya. Dan saat hendak memakannya ditemani segelas susu coklat, tiba-tiba seseorang menghampirinya.
"Wah, anak Mamah bisa masak juga ternyata."
Ternyata Arumi memerhatikan Dara sedari tadi. Entah kalimat yang diucapkan Arumi itu pujian atau ledekan, yang jelas ia terlihat senang melihat anak gadisnya ini.
"Mamah? Dari tadi merhatiin aku?"
"Ya, terus mau merhatiin siapa lagi coba?"
"Ish, bukannya bantuin anaknya."
"Kan Mamah pengen liat, kamu bisa masak apa nggak. Ternyata bisa tuh, walaupun rada gosong." Arumi terkekeh. "Padahalbmakanan yang tinggal diangetin ada di sini." Arumi membuka bagian sisi kanan kitchen set-nya.
Dara menatapnya tak percaya.
"Wahh, kok bisa mumpet di situ?"
"Dan di sini ada sereal." Arumi beralih ke lemari yang berada di sebelahnya.
Ternyata ada banyak makanan di sana. Betapa kurangnya pengetahuan Dara tentang tata letak penyimpanan makanan di rumahnya sendiri.
"Woke!" Dara membentuk tanda oke dengan jari telunjuk dan jempolnya.
"Assalamu'alaikum."
Ani baru kembali dari pasar dengan dua keranjang besar belanjaan.
"Wa'alaikumsalam," jawab Dara dan Arumi serentak.
"Mbak, liat nih, dia." Arumi menunjuk telur yang ternyata gosongnya masih terlihat itu.
"Teteh masak?"
"Ih, Mbak! Nanyanya jangan kek gitu dong. Nggak percaya banget Dara masak." Dara memanyunkan bibirnya.
"Yeh, bukan gitu maksudnya, Teh." Ani merasa tak enak.
"Ya udah, abisin telor dadarnya. Mamah ke kamar dulu ya, mau istirahat. Nanti sore ada operasi lagi." Arumi pun berlalu.
Ani kembali pada kegiatannya sendiri, membereskan belanjannya. Sedangkan Dara mencoba menikmati sarapannya.
"Enak ada gosongnya ternyata!" Sorak Dara senang.
Ani hanya geleng-geleng melihat kelakuan anak majikannya itu. Saat hendak membuka kulkas ia melihat kotak biru kecil itu masih ada di sana. Dia mengambilnya dari atas kulkas, lalu berbalik menatap Dara.
"Teh, ini punya Teteh bukan? Kok nggak diambil?" Ani menyerahkan kotaknya.
Bruk.
Dara menaruh sendok dan garpunya dengan keras di meja.
"Mbak! Nemu ini di mana?" Dara langsung mengambilnya.
"Di kamar Viktor, udah seminggu Mbak taruh di atas kulkas, kirain Teteh bakal liat," jelas Ani.
Dara baru ingat sepertinya ia menjatuhkannya saat melihat Viktor terluka di kamarnya.
"Makasih Mbak, mmuuaaahh!"
Setelah melahap semua telurnya Dara lalu dengan cepat berlari ke kamarnya.
Kini ia sudah duduk di sofa yang ada di dekat jendela kamarnya, menatap kotak biru kecil yang terkunci rapat.
Kira-kira apa isinya, ya?
Flashback On.
Dara sedang memakan nasi kari yang ia pesan dengan lahap. Namun aktivitasnya itu tiba-tiba terhenti, dan kini malah menatap wajah Ken dengan mata yang sangat jelas terlihat penasaran.
"Kenapa?" Tanya Ken tanpa menoleh.
"Kamu beneran tentara?"
Pertanyaan Dara sukses membuat Ken memfokuskan perhatiannya pada Dara.
"Aku kira kamu bukan tentara. Tapi ternyata apa yang Mamah bilang itu bener." Dara melihat seragam yang dipakai Ken.
"Dara,"
"Hmm?"
"Apa pendapat kamu tentang pekerjaanku?" Ken bertanya serius.
"Maksudnya, tentara?" Dara masih berusaha mengonfirmasi ketidakyakinannya.
"Iya."
"Menurut aku, seorang tentara itu keren." Dara membenarkan posisi duduknya.
"Itu aja?" Ken menaikkan sebelah alisnya.
"Tunggu dulu makanya, aku belum selesai. Dulu waktu kecil, setiap HUT TNI aku selalu datang ke kodim atau markas tentara yang paling deket dari rumah, cuma buat liat atraksi dari tentara secara langsung."
Dara mencoba mengingat sesuatu.
"Dulu pas SMP kalo gak salah, aku sempet pengen banget punya suami tentara karena menurutku, demi negara aja mereka rela berkorban apalagi demi keluarganya."
"Kalau sekarang?" Ken mulai penasaran.
"Aku takut."
"Sama tentara?"
"Bukan sama tentaranya. Tapi sama hubungannya, yang mungkin aja terjadi antara seorang pilot dan tentara."
Ken terdiam, memerhatikan apa yang akan Dara katakan dengan seksama.
"Aku pilot, jadwal kerjaku sangat-sangat menyita waktu sampai jarang pulang. Mungkin sekarang aku kerja di sini, di AeroWings, bisa pulang setiap hari. Tapi, kan, sebelumnya pas waktu di maskapai penerbangan, aku cuma bisa pulang seminggu sekali. Dan sekarang tentara, aku yakin tentara kaya kamu pasti akan punya tugas keluar kota bahkan keluar negeri. Dan, itu dalam jangka waktu yang panjang. Kayanya sulit untuk menjaga hubungan di antara mereka. Ya, kan?"
Melihat Ken hanya diam saja, Dara pun berhenti. Ia takut perkataannya telah menyinggung perasaan Ken. Bukan berarti Dara pede habis Ken menyukainya atau apa, tapi takut saja jika perkataannya akan membuat Ken berkecil hati.
"Ken?"
"Iya, Ra. Aku ngerti," ucapnya singkat setelah penjelasan panjang dari Dara.
"Kamu gak apa-apa, kan?" Tanya Dara cemas.
"Nggak, kok. Habisin, Ra, makanannya."
Duh, gue salah ngomong kali, ya?
Hingga mereka selesai makan tak ada lagi percakapan yang tercipta.
"Ra,"
"Kenapa, Ken?"
Ken seperti ingin mengatakan sesuatu sedari tadi Dara perhatikan, namun entah kenapa sepertinya sulit sekali.
"Ini." Ken menyodorkan kotak biru kecil yang terkunci dengan password.
"Apa ini?"
"Bisa tolong simpan ini sampai kita ketemu lagi?"
Dara yang tak mengerti dengan apa yang sedang dilakukan Ken pun hanya bisa menatap Ken dengan berjuta pertanyaan yang tak dapat ia katakan. Ken terus menatap Dara, menunggu jawaban.
"Uhm, gimana, ya?" Dara sempat ragu. "Ya udah, deh. Tapi ini bukan bom atau penyadap, kan?"
"Hahaha. Ya, bukanlah," Ken tertawa.
Dara tertegun. Ken yang tertawa lepas untuk pertama kalinya di depan Dara ini, membuatnya terlihat semakin tampan dari biasanya. Wajah seriusnya yang selama ini Ken perlihatkan saja sudah begitu tampan, ditambah dengan tawanya kali ini, menjadikan Ken seratus kali lipat lebih tampan.
"Ra?"
"Uh? Iya?"
"Ayo pulang!"
Flashback Off.
"Aaaahhhh!" Mengingat hal itu membuat Dara kesal sendiri.
Bagaimana tidak, ia yang biasanya selalu fokus dan jarang melamun di depan orang lain, kini di hadapan Ken ia sering sekali begitu, hilang fokus, dan itu membuat Dara sangat-sangat kesal.
Semoga pas nanti ketemu gue bisa kendaliin pikiran gue.
Pada akhirnya secercah harapan mulai tumbuh di dalam hatinya.
🔜🔜🔜🔜🔜
It's Saturday night guys! Hehehehe
Lavv,
Nun
24/03/2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top