21
✈
Hari ini terasa begitu melelahkan bagi Dara. Baru hari pertama menjadi relawan di rumah sakit rasanya seperti sepuluh kali lipat terbang nonstop berpuluh-puluh jam.
Tapi bukannya beristirahat di kamarnya, Dara lebih memilih membaringkan tubuhnya di sofa ruang tv sambil menunggu kedatangan adiknya yang belum kunjung pulang. Ia cemas adiknya akan mengalami hal-hal seperti tadi siang.
Pikirannya pun kembali memutar kejadian di halaman kantor polisi.
Apa yang sebenarnya membuat Chelsea begitu membencinya?
Apa mungkin hanya karena Dara saingannya saat SMA?
Atau hanya karena Zero?
Jika iya, kenapa saat ini Chelsea sudah punya kekasih?
Sebenarnya apa yang diinginkan Chelsea darinya?
Apa yang membuat Chelsea tak bisa membiarkan Dara hidup dengan tenang, apalagi setelah bertahun-tahun tak pernah bertemu?
Pertanyaan-pertanyaan itu kini memenuhi otaknya yang juga dipaksa berpikir untuk mencari tahu jawabannya. Namun, bagaimanapun kerasnya Dara berpikir, jawabannya tak pernah ia temukan. Hanya satu yang bisa Dara yakini, sorot mata Chelsea selalu mengatakan bahwa ia sedang terluka.
"Assalamu'alaikum!"
Suara Viktor membuka pintu pun langsung membuat Dara beranjak dari posisi tidurnya.
"Wa'alaikumsalam," jawab Dara.
Viktor datang dengan membawa dua kresek hitam yang mengeluarkan aroma khas sate madura dan martabak manis.
"Nih," Viktor menaruh kedua kantong kresek itu di hadapan Dara.
"Buat Kakak?" Antusias Dara yang diangguki Viktor.
Tanpa berbasa-basi lagi Dara langsung membukanya dan tampaklah puluhan tusuk sate madura serta potongan-potongan martabak keju susu.
"Wuahh, mantap! Makasih, Viktor."
Viktor yang melihat kakaknya lahap memakan makanannya pun hanya dapat mengulum senyumnya. Hingga ia menyadari sesuatu dan mengerutkan keningnya.
Dara selalu memakan sesuatu dengan tangan kanannya, tapi karena kali ini tangan kanannya sedang terluka maka ia memilih menggunakan tangan kirinya. Dan Viktor menyadari hal itu.
"Tangan kanan Kakak kenapa?" Tanya Viktor menginterupsi gerakan makan Dara.
Dara melihat ke arah tangannya yang memang tadi sengaja ia sembunyikan dari Viktor.
"Oh, ini? Cuma jatuh doang tadi."
"Sini aku liat," Viktor menarik tangan Dara.
Telapak tangan Dara yang terbalut plester itupun kini sudah terbuka. Tampaklah luka Dara yang cukup dalam dan masih basah itu.
"Jatuh di mana?" Viktor menatap tajam Kakaknya sembari membalut kembali lukanya.
Dara menundukkan kepalanya. Ia tak bisa berbohong. Entah kenapa setiap kali ia berniat berbohong pada anggota keluarganya, ia pasti, dan akan selalu ketahuan. Buktinya saat tadi ia menyembunyikan luka itu, ujungnya ketahuan oleh Viktor.
"Kak, jawab!"
Dara terkesiap dengan suara Viktor yang meninggi.
"Di- di," Dara menarik napasnya panjang. "Depan kantor polisi," lanjutnya.
"Kok bisa? Jangan bilang ada hubungannya sama si Chelsea?" Tanya Viktor telak.
Dara hanya mengangguk.
"Kakak sengaja didorong atau dia pura-pura gak sengaja ngedorong Kakak?"
"Kayanya, dua-duanya," ujar Dara pelan.
Mendengar hal itu membuat Viktor seketika bangkit dengan raut wajah yang sudah merah meredam emosi.
"Viktor!" Dara menahan lengan Viktor.
"Udah, gak usah diperpanjang, Kakak udah males berhubungan sama dia, Vik."
"Tapi, Kak, dia udah keterlaluan!"
"Kakak tau. Tapi kalo kita nanggepin dan bales dia balik, berarti kita sama gilanya kaya dia."
Perkataan Dara ada benarnya. Kalau Viktor bermain licik sama seperti Chelsea, apa bedanya ia dengan Chelsea?
Viktor pun meluruh dan kembali terduduk di samping Dara. Ia menutup matanya cukup lama. Menghela napasnya panjang. Rambutnya berantakan karena ia jambak kasar.
"Maaf."
Dara menoleh, menatap adiknya yang kini masih menutup matanya.
Apa aku gak salah denger?
"Maafin Viktor, Kak."
Ini bukan halu, kan?
"Bukan halu Kak, aku bener-bener minta maaf." Kini Viktor menatap Kakaknya sebal.
Giliran ia serius malah Kakaknya yang melamun.
"Uh? I- iya, lakem aja. Bukan salah kamu, kok."
Viktor beranjak meninggalkan Dara dan hendak menaiki tangga, namun kemudian ia berbalik lagi.
"Abisin makanannya, Kak, kalo nggak, gak akan Viktor beliin lagi," tukas Viktor yang kembali meneruskan jalannya.
🛫🛫🛫
Tiga hari kemudian ...
Arumi sudah kembali semalam, namun ia langsung disibukkan lagi dengan kegiatan rutin mengecek pasiennya, dan kali ini Dara yang menjadi asistennya.
"Mah, Tante Saras itu sakit ginjal, ya?" Tanya Dara tiba-tiba.
Mereka sedang berjalan di jembatan lorong penghubung gedung rumah sakit. Mendengar pertanyaan anaknya, Arumi pun berhenti. Pandangannya lurus menatap langit yang hari ini terlihat begitu indah.
"Langit hari ini cerah, ya?" Ucap Arumi membuat Dara ikut melihat ke langit.
"Hmm."
"Kamu tahu kalau Tante Saras punya anak laki-laki?"
Dara mengangguk.
"Hubungan Thomas dengan anak laki-lakinya itu kurang baik," ucap Arumi. "Thomas ingin anaknya menjadi pewaris perusahaan, tapi anaknya malah nggak mau."
"Emang Ken kerja apaan, Mah? Aku kira dia kerja di perusahaan Papahnya."
Itu merupakan dugaan Dara karena Ziko mengatakan jika dia sudah bekerja saat mereka pertama kali bertemu. Berhubung Ziko dan Ken selalu terlihat bersama ia menyimpulkan lagi jika mereka punya pekerjaan yang sama dan pekerjaannya itu adalah di perusahaan milik Thomas.
Kerjaan apalagi coba yang mau nyekolahin karyawannya ke Amerika?
"Kok, kamu tau namanya Ken?" Arumi tersenyum jahil.
"Uh?" Dara gelagapan.
"Dia nggak kerja di perusahaan Papahnya, sayang, tapi dia itu tentara."
Ucapan Arumi sukses membuat Dara melotot tak percaya, ia benar-benar terkejut.
"SERIUSAN, MAH?!"
"Kamu tau namanya tapi nggak tau kerjaannya? Kalo nyari tau itu jangan setengah-setengah," cibir Arumi.
"Terus apa hubungannya dengan Tante Saras yang sakit? Kenapa juga hubungan Ken sama Papahnya jadi nggak baik?" Insting kepo Dara mulai aktif kembali.
"Segitu pengen taunya, ya, kamu?"
Dara yang terus mengangguk-angguk sudah terlihat seperti burung kutilang saja.
"Urusin dulu urusan kamu, wahai pengangguran."
Arumi kembali berjalan meninggalkan Dara yang kini tengah berdecak sebal.
🛫🛫🛫
Keheningan, itu yang dapat menggambarkan keadaan ruangan Tim Garda saat ini. Baik Sang Kapten ataupun anggotanya sama-sama disibukkan dengan kegiatan masing-masing. Setumpuk laporan harus mereka susun untuk diberikan pada atasan.
"Gini nih, kalo kita terlibat sama masalah-masalah krusial, nulis terus udah kaya penulis profesional," keluh Ziko.
"Suutt!" Ingat Ayunda sambil melirik ke arah Ken.
"Apa?" Bisik Ziko yang tak paham maksud Ayunda.
Ayunda mendecak sebal. Ia segera menulis sesuatu di kertas memo kemudian melemparnya ke arah Ziko. Hampir saja lemparannya mengenai mata Ziko kalau saja tak segera menghindar. Alhasil Ayunda kena pelototan Ziko.
Kapten lagi analisis strategi. Mohon jangan berisik, Lettu Brian Ziko!!!!!'
Ziko tersenyum melihat tulisan Ayunda ini.
"Ohhhhh, iya," ucap Ziko nyaring. "Dia emang lagi nyari strategi. Strategi buat ngalahin gue," lanjutnya.
Ayunda makin melotot mendengar perkataan Ziko. Begitupun dengan Bobi dan Raka yang kini ikut teralihkan perhatiannya.
Yang dibicarakan pun saat ini sudah menatap tajam rekannya.
"Ikut gue!" Ucap Ken sambil beranjak dari singgasananya.
"Siap, Kapten!"
Sementara Ziko tersenyum lebar, rekannya yang lain malah menatapnya horor, seolah senyuman Ziko itu adalah senyum pengantar maut.
Setelah keluar dari ruangan, Ken terus berjalan menuju balkon utama lantai dua kantornya ini.
"Ada apa, Capt?" Tanya Ziko setelah sampai di balkon.
"Dara belum kerja lagi, kan?"
Pertanyaan Ken sontak membuat Ziko tertawa terbahak.
"Hahaha. Jadi lo bawa gue ke sini cuma mau tanya itu?" Ziko kembali tertawa hingga matanya berair.
"Bang, gue tanya serius!"
"Oke, oke," Ziko berusaha menghentikan tawanya. "Iya, belum."
Ken tak menanggapi jawaban Ziko. Sekarang ia malah fokus memandang jalanan yang seakan tak pernah istirahat dari kebisingan kendaraan.
Melihat Ken yang tak lagi bersuara Ziko pun memilih diam.
"Apa kita bantu dia aja?"
"Kita?" Ziko menautkan alisnya.
"Gue sih lebih tepatnya, karena gue gak yakin lo bakalan nolong dia, Bang."
"Hahaha. Jangan gitu dong, sekalinya gue suka, pasti gue bantu," ujar Ziko yang terlihat bercanda namun serius.
"Kalo ngomong doang mati lu, Bang."
Ziko hanya mengangguk, paham maksud Ken. Ia juga masih merasa bersalah akan Dara, jadi tidak ada alasan baginya menghindar dari kemarahan Ken. Ziko menganggap jika Dara tahu yang sebenarnya maka ia akan marah seperti halnya Ken saat ini.
🛫🛫🛫
Anak-anak dengan seragam rumah sakit itu terlihat begitu ceria. Dara memandangi mereka satu per satu. Mereka tersenyum dan tertawa tanpa beban, tak terlihat jika nyatanya mereka sedang sakit. Hingga seorang anak mendekat untuk mengambil bola yang menggelinding ke arah Dara.
"Permisi, Kak," anak itu mengambil bolanya.
Dara hanya tersenyum. Miris melihatnya.
Mereka aja bisa seceria itu, kenapa aku nggak? Batinnya menertawakan diri sendiri.
Dddrrrttt. Dddrrrttt.
Ponselnya yang bergetar di dalam tas selempangnya mengalihkan fokus Dara.
Ternyata nama Keandra yang tampak pada layar ponselnya.
"Halo," sapa Dara.
"Hai, Dara. Kamu lagi di mana?" Sahut Kei dari seberang.
"Aku lagi di rumah sakit. Ada apa, Kak?"
"Kebetulan, dong, Kakak mau ngobrol sama kamu. Kamu di mananya rumah sakit?"
"Ini di taman samping Kak, Kakak mau ke sini?"
"Oke, Kakak ke sana. Tunggu, ya!"
Sedetik kemudian Kei sudah menutup sambungan teleponnya.
Dara kembali memerhatikan anak-anak yang sedang bermain itu. Dan tak sampai lima menit Kei sudah berada di hadapannya.
"Duduk, Kak," Dara menepuk bangku di sisinya.
"Lagi ngapain, Ra?"
"Healing," ucap Dara singkat.
"Ohh." Kei menyandarkan punggungnya pada sandaran bangku paham maksud Dara.
"Kamu mau kerja, nggak?"
Dara tak menjawab ia masih butuh proses untuk mencerna pertanyaan Kei tersebut.
"Kalo kamu bersedia, kamu bisa kerja di perusahaan kita. Kebetulan test pilot kita kemarin udah pensiun jadi kita butuh penggantinya," jelas Kei yang melihat Dara kebingungan.
"Ng- nggak ah, Kak. Aku gak mau kerja karena koneksi," tolak Dara tanpa pikir panjang.
"Nggak, kok. Kamu Kakak tawarin bukan karena kamu kenalan Kakak. Tenang, aja!" Kei membantah ucapan Dara.
"Kakak udah liat resume kamu, dan Kakak liat kamu udah dapat ATPL dan udah punya type rating. Yang belum tinggal instrument rating untuk jet aja, kan?"
Dara mengangguk pelan.
"Ya, udah. Berarti kamu memenuhi syarat untuk jadi test pilot di perusahaan kita."
"Tapi, Kak-,"
"Berhubung kamu nolak, nih, Kakak jadi makin yakin untuk ngerekrut kamu." Ucap Kei mantap.
Melihat Kei yang malah tersenyum puas mendengar penolakannya membuat Dara semakin bingung.
"Lusa Kakak tunggu di kantor. Alamatnya nanti Kakak kirim." Kei pun berlalu, menyisakan Dara yang masih terpaku.
🛫🛫🛫
"Bianca!!!!"
Dara berteriak kencang pada ponselnya.
"Dara! Gila lo, ya, sakit tau telinga gue!" Protes Bianca.
"Gue bingung, gimana dong?"
"Ya, bingung sih bingung. Tapi jangan bikin gue pergi ke dokter THT juga kali, Ra."
"Huhuhu. Menurut lo gue ambil atau nggak, ya, tawaran Kak Kei?"
"Kalo menurut gue sih, daripada lo jadi pengangguran gak jelas. Udah mending ambil aja. Emang lo gak kangen nerbangin pesawat apa?"
"Gue ... gue kangen sih, tapi,"
"Tapi apa lagi sih, Beb?"
"Nanti gue sering ketemu adeknya, dong!!"
"Yaelah, dikira apaan."
Terdengar Bianca menghela napasnya akibat ulah sahabatnya ini yang sudah sekitar satu jam meracau lewat sambungan telepon.
"Gue malu ntar kalo ketemu Ken."
"Bukannya lo bilang tadi dia tuh tentara?"
"Iya."
"Ya, udah. Apa masalahnya? Gue jamin lo bakalan susah buat ketemu dia. Lo aja susah, kan, mau ketemu gue," ujar Bianca diakhiri dengan nada yang sedih.
"Iya, juga sih,"
"Clear, kan, masalahnya? Jangan gengsi, jangan malu, udah, ambil aja tawarannya. Dan udah dulu, oke? Ada atasan mau sidak. Bye!"
Tut. Tut. Tut.
Dara menghela napas kasar. Ia berdecak kesal, lalu menangkupkan wajahnya pada bantal. Belum juga ia bercerita tentang dari mana Kei mendapat resumenya tapi Bianca sudah menutup teleponnya. Tapi memang salah Dara pula, hampir satu jam mereka bicara namun poin pentingnya malah lupa tak ia bicarakan. Ya, tapi, begitulah mereka, terlalu asik satu sama lain hingga lupa apa yang ingin mereka bicarakan.
🔜🔜🔜🔜🔜
Lavv,
눈
12/03/2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top