18
✈
"Happy birthday!!!" Ucap mereka berenam.
Ya, mereka adalah Dara, Kei, Ziko, Ayunda, Bobi, dan Raka.
Ken yang baru saja datang dan melihat teman-temannya ada di sini cukup terkejut. Namun reaksinya hanyalah tersenyum. Ekspresi yang menurut Dara, "nggak banget" untuk orang yang diberi kejutan ulang tahun. Ya, Ken hanya tersenyum.
Bilang wah, kek, apa gitu. Ini senyum doang?
Gerutu Dara dalam hati.
"Sini, tiup lilinnya!" Perintah Kei yang kemudian dilakukan Ken.
"Thanks. Tapi gue bukan anak kecil lagi," ujar Ken halus.
Ya iyalah, udah umur 21 masa we anak-anak.
Dara yang sedari tadi memfokuskan matanya pada wajah tampan Ken hanya dapat menahan napasnya saat melihat Ken mengecup puncak kepala Kei.
Duhh, cobaan macam apa ini, Tuhan? Udah cakep, sayang keluarga pula.
Acara tiup lilin dan potong kue sudah selesai. Dara juga mendapat sepotong kue yang kini tinggal tersisa sedikit di piringnya.
"Ken, ini kado dari kita." Ziko memberikan sebuah kotak kado berukuran 10x40 cm.
"Apaan, nih?"
"Kalo penasaran, buka aja!" Ziko menyarankan.
Namun saat hendak membuka kotaknya, Ken tiba-tiba berhenti dan menatap rekannya curiga.
"Cengengesan mulu dari tadi."
Ken menyelidik satu persatu temannya kemudian mengurungkan niatnya membuka kado itu sekarang.
"Kenapa nggak dibuka, Bang?" Ayunda bertanya dengan tatapan jahil.
"Nggak usah. Gue buka di rumah aja." Ken menaruh kadonya kembali.
"Cepet pesen makanannya," titah Ken. "Hari ini gue yang traktir."
"Asik!!!" Sorak Ayunda, Bobi, dan Raka bersamaan dan langsung memanggil pelayan untuk memesan makanan.
Setelah mereka diributkan dengan menu apa yang akan mereka pesan, kini tinggal Dara yang belum memesan apapun. Dara masih membulak-balik buku menunya, bingung harus memesan apa.
"Dara mau pesen apa?" Kei akhirnya bertanya.
"Emm, apa ya, Kak?" Dara malah kembali bertanya. "Samain aja, deh." Putus Dara.
"Mau sandwich?" Suara Ken mengalihkan pandangan semua orang.
Dara mengerjapkan matanya beberapa saat.
"Suka sandwich, kan? Di sini roti isinya enak, Ra, pake tuna."
Ucapan Ken membuat suasana semakin hening. Begitu pun dengan Ziko yang tak menyangka Ken akan mengucapkan kalimat sejenis barusan.
"Ra, ditanya, tuh." Kei menyenggol lengan Dara pelan.
"Uh?" Dara menatap Kei lalu beralih pada Ken. "I- iya, sandwich."
"Oke, tambah satu sandwich tuna, Mbak."
Sang pelayan pun segera menulis pesanan yang dikatakan Ken barusan.
Kok, dia tau gue suka sandwich, sih?
Dara masih terpaku menatap Ken yang kini sedang menatap layar ponselnya.
Apa bener dugaan gue selama ini dia udah kenal gue?
Merasa ditatap, Ken mengulas senyumnya. Alhasil membuat Dara tertunduk malu. Pipinya serasa terbakar, kalau saja ada cermin di depannya mungkin ia bisa lihat betapa merahnya pipi Dara saat ini.
Untuk menetralkan suhu di wajahnya Dara mengambil gelas berisi air mineral di depannya. Gelas yang berisi 400 ml air itu langsung ia tenggak habis.
"Haus, Ra?" Heran Kei melihat Dara.
"Iya, sedikit." Dara menutup pipinya dengan kedua tangannya.
Selama makan siang ini berjalan, Dara tak hentinya memerhatikan orang-orang yang berada di meja yang sama dengannya ini. Bagaimana bisa ia berakhir di sini bersama dengan mereka, terutama Ken dan Ziko. Dua lelaki misterius yang tiba-tiba menghampiri kehidupannya.
Hidup itu emang penuh misteri.
Dan akhirnya sandwich ukuran besar di piringnya kini telah habis. Ken yang melihat Dara begitu lahap memakannya pun tersenyum. Sedangkan di sampingnya, Ziko terus menatap heran sahabatnya.
🛫🛫🛫
Alunan musik yang berasal dari radio menjadi satu-satunya suara yang memenuhi mobil Ken. Sejak tadi Kei sibuk dengan ponselnya di kursi samping pengemudi membuat Ken dan Dara tak ada topik pembicaraan lain sehingga mereka lebih memilih menikmati alunan musik yang diputar.
"Duhh, canggung banget, sih." Suara Kei kini terdengar lagi. "Cuman Kakak tinggal sebentar buat SMS aja langsung pada diem," lanjutnya.
Dara yang duduk di belakang hanya saling melirik dengan Ken melalui kaca spion.
"Anyway, maaf ya, Ra, kalo kakak jadi bikin kamu repot. Habis mau gimana lagi, beberapa tahun ini pas Ken ulang tahun, dia lagi nggak di rumah," ujar Kei yang membuat Dara bertanya-tanya.
Emang dia di mana? Bukannya di Amerika? Kan, bareng Kak Kei?
"Makanya ulang tahun dia kali ini kakak pengen banget bikin kejutan kaya tadi."
"Heem, cause you're childish," sahut Ken dari balik kemudinya.
"Yehhh, tapi seneng, kan, dikasih kejutan kaya tadi? Coba kalo nggak ada yang inget ulang tahun kamu, pasti kamu sakit hati, kan? Iya, kan?" Pembelaan Kei.
"Nggak juga, tuh," ujar Ken santai.
Tak dapat ditahan, Dara pun tertawa melihat kedua kakak beradik ini. Rasanya ingin sekali ia bisa melakukan hal yang sama pada adiknya.
"Tuhkan, jadi diketawain Dara. Malu tau, Ken!" Rajuk Kei dengan wajah cemberut.
Dengan cepat Dara menghentikan tawanya.
"Kalian lucu banget, sih. Jadi pengen," ucap Dara jujur sambil memegangi perut yang sedikit sakit karena menahan tawa.
"Hehe. Bukannya kamu punya adik juga ya, Ra?" Kei berbalik menghadap Dara.
"Iya, punya, Kak."
"Cewek, cowok?"
"Cowok."
"Dia gimana? Nyebelin kaya Ken nggak?"
"Haha, yaa, bisa dibilang," Dara tertawa hambar.
"Bingo! Ternyata emang yang namanya adik itu nyebelin, ya." Kei melirik Ken yang melotot ke arahnya. "Tapi ngangenin."
Setelah menempuh perjalanan sekitar tiga puluh menit karena macet, akhirnya mereka sampai di depan rumah Dara.
"Mau mampir dulu, Kak?" Tawar Dara sebelum keluar dari mobil.
"Nggak usah, Ra, makasih. Mungkin lain kali."
"Kalo gitu aku pamit. Makasih Kak Kei, Ken." Dara pun turun dari mobil tipe SUV milik Ken.
Ken membunyikan klakson mobilnya lalu kembali melaju. Dara masih terus memandang mobil itu hingga berbelok menuju keluar area perumahan. Setelah tak terlihat lagi barulah Dara masuk ke rumah.
"Assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikumsalam," sahut Mbak Ani yang berjalan dari arah dapur.
"Mamah belum pulang?" Tanya Dara sembari mengambil gelas kemudian mengambil air dari dispenser.
"Iya, belum. Ini Teh, ada surat." Mbak Ani menyerahkan sebuah amplop berlogo sebuah maskapai penerbangan.
"Uhuk-uhuk!" Dara tersedak saat melihatnya.
"Pelan-pelan minumnya!" Mbak Ani menepuk punggung Dara pelan.
"Nggak apa-apa kok, Mbak." Ia segera menaruh gelasnya lalu mengambil amplop tersebut. "Makasih Mbak, aku ke atas dulu."
Dara langsung berlari ke lantai dua, di mana kamarnya berada. Setelah sampai ia langsung mengunci pintu kamarnya memastikan agar tak ada orang yang masuk. Ia melempar sembarang tas selempangnya kemudian langsung menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Amplopnya ia pandangi.
Ya Allah, bismillah ...
Perlahan ia membuka perekatnya. Seperempat terbuka, setengahnya, tiga perempatnya, dan ... berhenti. Dara menghentikan gerakannya. Entah kenapa perasaannya saat ini sama persis ketika ia membuka pengumuman lulus tidaknya masuk akademi penerbangaan dulu.
Dara menutup matanya sejenak, menghirup udara sebanyak-banyaknya agar apapun hasilnya, paru-parunya takkan kehabisan oksigen. Saat ia sudah mendapat ketenangannya lagi, tiba-tiba suara ponselnya menginterupsi.
"Siapa, nih?" Dara mengernyit saat melihat nomor telepon yang tak ia kenal.
Untuk beberapa saat Dara bimbang akan menjawab atau tidak karena biasanya ia paling malas jika ada nomor ponsel yang tak dikenal. Tetapi mengingat kini ia bukan lagi siswa SMA yang sering kena teror nomor privat, Dara pun memilih untuk menjawab.
"Halo?"
"Hai, Ra, akhirnya diangkat juga."
"Ini siapa, ya?" Dara sedikit deg-degan saat mendengar suara seorang pria.
"Kamu gitu, ya, beberapa bulan nggak ketemu langsung lupa gitu aja?"
"Uh?" Dara menautkan kedua alisnya.
Emang ini suara siapa? Batin Dara sambil mencoba mengenali suara penelepon.
"Ini aku, Arga."
"What?! Mas Arga?!" Dara yang tadinya berbaring sekarang langsung duduk tegak.
"Iya, ini aku, Arga."
"Kok bisa, sih? Ini, kan, nomor Indo?" Dara terkejut bukan main.
"Ceritanya panjang, Ra, bisa kita ketemu?"
"Uh? Oh, oke. Tapi nggak hari ini ya, Mas," ujar Dara.
"Oke, kabarin aja pas kamu ada waktu luang ya, Ra. See you."
"See you."
Dara kembali menghempaskan tubuhnya. Mencoba merilekskan kembali detak jantungnya kemudian segera melanjutkan kegiatan membuka amplopnya yang tadi terganggu.
"Lah, meni harésé teuinglah rék muka amplop gé, Dara, manéh mah!" Umpat Dara sendiri.
Srett ...
Dan akhirnya kertas putusan itu terbuka. Namanya tertera, namun ...
TIDAK LULUS.
Tangannya lemas, kertasnya terjatuh ke lantai. Ini kedua kalinya Dara ditolak oleh maskapai penerbangan di Indonesia.
"Ihhhh, kenapa, sih?!"
Belum lagi ia harus bertemu dengan Arga. Oh, tidak! Dia malu, sangat malu. Dara kira mendapat pekerjaan di sini akan mudah setelah ia punya pengalaman yang cukup sebelumnya. Tapi ternyata faktanya adalah tidak.
Tok! Tok! Tok!
"Kak."
Terdengar suara Viktor dari balik pintu.
Dara cepat bangun dan berlari ke arah pintu. Jarang-jarang Viktor mau berkunjung ke kamarnya.
"Iya, kenapa?" Dara langsung bertanya setelah pintu terbuka lebar.
"Nih," Viktor menyerahkan sebuah amplop.
"Dari siapa?"
Viktor menggedikkan bahunya kemudian berlalu pergi ke kamarnya. Dara hanya tersenyum tipis dan segera menutup pintu. Hari ini ia banyak mendapat surat. Dara berasa hidup di era 80-an. Saat membuka suratnya, Dara langsung melihat nama Shawn yang tertera.
"Masih inget aja, nih, anak sama gue, hehehe." Dara terkikik.
Lembar demi lembar Dara membaca berbagai lowongan pekerjaan, namun semuanya tak ada yang berlokasi di Asia. Hampir semua di Eropa dan Amerika.
"Hufft, pasrah deh, saya." Dara berbaring. "Malu mah, bisa diatur nanti."
Kemudian tak lama ia pun sudah memasuki alam mimpinya dengan tangan yang masih memegang kertas formulir.
🔜🔜🔜🔜🔜
Vomment please... 🤗
Dan rekomendasiin cerita ini ke wattpaders yang lain yaa!!! Danke schön!
Lavv,
Nun
02/03/2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top