15 A



05 Agustus 2010

Markas pusat pasukan khusus...

"Ken, udah selesai?" Ziko bertanya sembari menguap dan meregangkan badannya.

"Udah, Bang."

Ken melemaskan jarinya yang kaku setelah mengetik laporan selama lima jam nonstop.

"Gue paling males, nih, mending gue perang gerilya dibanding nulis laporan begini," ujar Ziko.

"Asli Bang, lebih milih megang senapan berjam-jam daripada ngetik begini. Ngantuk gue."

"Ya udah, balik, yuk!"

Mereka pun menutup laptop mereka dan bergegas keluar dari ruangan mereka, ruang Tim Garda dari Unit Pasukan Khusus. Ruang yang menjadi saksi aksi-aksi kelima anggota Tim Garda. Lima orang dengan keahlian yang berbeda bersatu untuk berada di lini depan pertahanan negara. Menjadi yang pertama tahu dan mengatasi ancaman negara, menjadi yang pertama yang siap merelakan jiwa dan raganya demi NKRI. Mereka adalah Keano Alexander Sang Kapten, Lettu Brian Ziko, Letda Bobby Handika, Letda Ayunda Azani, dan terakhir Sersan Mayor Raka Natanio.

Setelah kepulangan Ken dan Ziko dari Amerika mereka kembali disibukkan dengan berbagai tugas. Namun saat ini tugas yang lebih banyak untuk mereka adalah tugas kantor bukan tugas lapangan sehingga selama seminggu ini Ken dan Ziko lebih banyak mengeluh, bosan katanya.

Ken dan Ziko telah kembali dari perjalanan studi dan misi mereka. Benar, di Amerika mereka tidak hanya sekadar mengambil pendidikan intelligent and total war strategy, akan tetapi, mereka menjalankan misi rahasia menginvestigasi sebuah negara kecil penghasil nuklir terbesar yang belum mendapatkan pengakuan secara de jure oleh negara-negara di seluruh dunia.

Selama setahun terakhir mereka menyelidiki di mana tepatnya negara itu, apa sebenarnya motif dan tujuan mereka, serta bagaimana mereka bisa masuk black market senjata dan bom dunia. Namun ternyata mereka tak dapat menganggap remeh negara tersebut karena hingga saat ini masih sedikit informasi mengenai mereka. Tak salah jika julukan negara itu adalah Ghost, karena memang faktanya mereka seperti hantu, eksis namun tak kasat mata.

Dddrrrttt. Dddrrrttt.

Saat hendak memasuki mobil, ponsel Ken bergetar dan menampakkan sebuah nama yang sudah selama seminggu kepulangannya ini selalu mengganggunya.

"Ken! Kenapa gak diangkat-angkat sih? Sesibuk itukah kamu sampe nggak sempet jawab telepon?!" Sambar Kei sesaat setelah Ken menekan tombol hijau. "Kamu tuh, tega ya, ninggalin Kakak sendirian. Tanggung jawab!!" Kemudian terdengar isakan tangis di sebrang telepon.

"Ya, ampun Kak, emang aku ngapain Kakak sih, pake ada tanggung jawab segala?" Kekeh Ken di akhir kalimatnya.

"Ken, Kakak mau pulang, ah!" Tuntut Kei pada adiknya itu.

Memang ini salahnya Ken, pulang ke Indonesia tanpa berpamitan dengan Kei. Namun mau bagaimana lagi tuntutan pekerjaanlah yang mengharuskannya seperti itu. Ada perintah langsung laksanakan.

Sejujurnya Ken merasa sangat bersalah pada Kei karena ia meninggalkan Kakak satu-satunya itu sendirian di negeri orang. Tapi itu pun bukan tanpa persiapan, Ken sudah memasang berbagai sistem keamanan dan menempatkan beberapa bodyguard di sekitar Kei, tanpa Kei ketahui. Bisa-bisa diamuk nanti kalau Kakaknya tahu sedang diawasi.

"Perlu aku pesenin tiket?" Ken menghela napasnya kasar.

"Nggak usah! Nanti Kakak pulang sendiri! Awas aja kalo nanti kita ketemu, habis kamu!!"

Tut. Tut. Tut. Tut.

Sambungan teleponnya langsung Kei putus. Lagi-lagi Ken hanya bisa mengela napasnya.

"Kak Kei?" Tanya Ziko yang sedari tadi hanya memerhatikan ekspresi Ken.

"Hmm."

"Udah suruh pulang aja. Bonyok lo juga di sini kenapa mesti dia di sana?"

"Ambisi dia Bang, pengen kerja sama, sama perusahaan asing. Tapi ujungnya malah jadi guru les pilot," jelas Ken tersenyum tipis.

"Lo sih, kenapa malah jadi tentara padahal lo pewaris perusahaan?" Ziko menaikkan sebelah alisnya. "Jangan bilang karena alasan klise cinta negara?"

Ken menatap Ziko tanpa ekspresi.

"Karena gue harus ngelindungin apa yang harus gue lindungi."

Ziko menatap Ken tak percaya.

"Bukannya perusahaan lo juga harus dilindungi, ya?"

🛫🛫🛫


Sementara itu ...

Rumah Sakit Pusat Angkatan Udara, AS.

Dara sedang sibuk mondar-mandir di koridor rumah sakit. Ia harus menjalani medical check up rutinnya sebagai seorang co-pilot. Apalagi kenyataan bahwa kini Dara sudah melampaui 1.500 jam terbang setelah 15 bulan bekerja membuatnya ingin segera mendapat Airline Transport Pilot License (ATPL), setelah sebelumnya ia berhasil mendapat Instrumen Rating untuk dapat menerbangkan pesawat di ketinggian di atas rata-rata pesawat biasa, seperti beberapa jet (jet tempur/jet dengan instrumen khusus tidak termasuk).

Rencananya hari ini ia akan mendapat pembaharuan 1st class medical certi-nya kemudian segera meluncur ke bandara untuk penerbangannya yang terakhir sebagai co-pilot. Sebuah prestasi yang patut diacungi jempol tentunya karena di usia yang baru menginjak dua puluh tahun Dara sudah bisa mendapat ATPL yang tentunya butuh kerja keras yang luar biasa.

Namun yang lebih penting bagi Dara adalah ia ingin segera kembali ke Tanah Air. Ia ingin memberikan keahliannya untuk masyarakat Indonesia. Sudah sejak lama ia bercita-cita bisa membawa ratusan penumpang pesawat Indonesia dengan aman selamat, karena ia begitu miris dan sedih setelah sempat melihat beberapa kecelakaan pesawat yang disebabkan oleh kelalaian pilot. Karena itulah, hari ini ia sangat-sangat bersemangat.

Dara baru saja keluar dari ruangan dokter. Wajahnya sumringah sambil memegang sebuah map besar warna putih berlogo rumah sakit, sepertinya hasil x-ray dan CT scan. Lalu ia berjalan menuju ke ruangan administrasi untuk segera mendapat hardcopy sertifikat medisnya.

Setelah menyerahkan hasil pemeriksaannya Dara menunggu di sebuah bangku panjang di depan ruang administasi. Ia melirik arloji cantiknya, masih sekitar enam jam lagi menuju ke penerbangannya.

"Masih ada waktu," batinnya.

Saat memeriksa ponselnya langsung muncul notifikasi panggilan tak terjawab sebanyak 20 panggilan dan 37 pesan masuk. Dara terkikik sendiri melihat notifikasi itu. Mungkin orang akan berpikir jika saat ini ia melihat notifikasi dari kekasihnya. Namun kenyataannya itu bukan dari seseorang yang disebut "pacar" melainkan dari seseorang yang ia panggil "Bi" selama bertahun-tahun.

"Bianca, bianca," gumam Dara.

Bianca.

Daraaraaaaaaaa!! DAR! der dor :D

Angkat telepon lo!

Angkat ngapa?

Gue sakau, nihh!

"Astagfirullah ni bocah," Dara terkekeh, ngakak sendiri.

Gue kangen lo!

Cepetan balik!

Tiga taun gak balik emang gak sakit tuh perut makan roti sama susu mulu?

Udah berasa bule, lo?

Laga lo padahal pas sma kmaren lo masih suka sakit perut pagi2 gegara minum susu.

Balik lo cepetan, kita foto studio pke seragam. Kan gaya pilot sama tentara, ntar gue bisa pamer sama anak2 laen.

Masih banyak deretan pesan yang Bianca kirimkan dan kesemuanya itu selalu membuat Dara terkekeh.

"Megandara Vlaretta," panggil suster dari balik kaca ruang administrasi.

"Yes, I'm here," Dara langsung beranjak.

"This is your 1st class medical certi, this is the document, results of the test, and please sign here."

Dara menandatangani selembar kertas yang ditunjuk oleh suster cantik tersebut, yang Dara lihat, namanya adalah Sarah.

Namanya ... penulisan orang Indonesia.

Namun Dara tak terlalu penasaran.

"Thank you," ucap Dara disertai senyum manisnya lalu memasukkan berkas-berkasnya ke dalam tas.

Ia langsung memanggil Shawn.

"Halo, Shawn kamu di kantor, kan?"

"Yup. Gimana udah selesai?" Tanya Shawn antusias.

"Udah, Direktur ada?" Tanya Dara sambil berjalan keluar gedung rumah sakit.

"Ada kok, cepet datang nanti keburu dianya pergi."

"Oke. Setengah jam lagi gue sampe kantor."

Dara menyetop taksi yang lewat dan segera menaikinya. Ia sudah tak sabar ingin segera pulang ke rumah.

"Home! I'm coming."




🔜🔜🔜🔜🔜





Happy reading! And give me your stars, please....
Sekali lagi aku mau mohon maaf kalau ada kesalahan dalam pengetikan atau tata bahasa inggrisnya, karena masih dalam tahap belajar hehehehe :) Thank you!


Lavv,
Nun
16/02/2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top