14



Dara memandangi sebuah memo kecil bertuliskan rangkaian nomor telepon di tangannya. Sejak beberapa saat lalu ia sampai di rumah tak henti-hentinya ia memikirkan kejadian tadi.

Beberapa saat yang lalu ...

"Ini." Ziko memberikan nomor teleponnya pada Dara.

"Buat apa?" Dara menaikkan sebelah alisnya.

"Siapa tau kangen," ujar Ziko santai.

"Jangan ngarep lo!"

"Telepon gue kalau udah ada duit cash." Ziko beranjak dari kursinya. "Gue cabut."

"Tunggu!" Dara menahan lengan Ziko, yang ditahan pun cukup terkejut dan memilih kembali duduk setelah melihat tatapan penasaran Dara.

Karena Dara tak kunjung bicara akhirnya Ziko memilih bertanya lebih dulu. "Ada apa?"

"Lo di sini ngapain?" Ucap Dara setelah berpikir beberapa saat.

"Makan lah, emang ngapain lagi?"

"Err, maksud gue lo lagi ada apa tinggal di Amerika?"

"Oh, itu." Ziko memicingkan matanya, menatap Dara curiga. "Kenapa? Lo penasaran? Suka lo sama gue?"

"Hell-o!" Sontak Dara berucap.

Dara tak menyangka kepercayaan diri lelaki di depannya ini begitu tinggi. Sedangkan Ziko hanya tersenyum jahil melihat ekspresi Dara. Entah kenapa melihat senyum Dara membuatnya sebahagia ini.

"Kalo gak mau jawab, gak usah." Ketus Dara karena Ziko tak kunjung menjawab pertanyaannya. "Gue mau bayar sekarang duit lo, ikut gue ke ATM!" Dara pun langsung beranjak.

Namun kini Ziko lah yang mencekal tangan Dara dan menarik Dara untuk kembali duduk.

Jujur saja Dara sebenarnya sudah penasaran sejak lama dengan saudara Zero ini. Jadi bagaimana bisa ia tidak bertanya saat ada orangnya. Namun yang Dara sesalkan adalah pertemuan mereka ini kurang baik untuk kesan pertama, dan lebih buruknya lagi adalah harga diri Dara jatuh begitu saja di depan Ziko. Sudah dia tak bisa bayar tunai makanannya dan kini Ziko malah sok misterius sehingga membuat Dara terkesan orang kepo yang suka ingin tahu privasi orang.

"Gue kuliah di sini, S2."

"Oh, oke." Dara merasa sudah cukup ia tahu saja kalau Ziko itu sedang kuliah.

"Gue disekolahin sama kantor," ujar Ziko kemudian.

"Jadi lo udah kerja?"

Ziko hanya tersenyum menanggapi Dara.

"Oh, My Lord," Dara tersentak dalam hati. "Bagaimana mungkin senyumnya semirip ini?"

Saat ini ...

Dara menepis-nepiskan tangannya di udara seolah itu bisa mengusir dan membersihkan pikirannya dari kejadian tadi.

"Aduhhhh, pake minta dibayarnya entaran lagi!" Kesal Dara sembari menangkupkan wajahnya ke bantal.

Karena Ziko tak ingin menerima piutang Dara hari ini menyebabkan Dara mau tak mau harus bertemu dengannya lagi.

"Daraa, ayo pergi!" Panggil Meri dari lantai bawah mengalihkan fokus Dara.

"Iya, Tan, sebentar." Dara menaruh kertas memonya di meja belajar kemudian segera mengambil tasnya.

Yup, ia lebih memilih untuk menemani Meri belanja dibanding harus memandangi nomor telepon orang asing selama berjam-jam seperti orang orang bodoh. Berharap saja semoga ini berhasil.

🛫🛫🛫

Sementara itu ...

Setelah mengemudikan mobilnya kurang lebih satu jam akhirnya ia sampai di depan sebuah rumah dua lantai yang super besar bercat putih. Ziko memasukkan mobilnya di pekarangan. Meskipun sudah terdapat beberapa mobil yang terparkir di sana, tapi mobil Jeep milik Ziko masih muat di sana saking luasnya halaman rumah ini.

Sekilas saja sudah dapat kita terka pasti yang memiliki rumah ini adalah seorang borjuis, mengingat ini bukan di Indonesia sehingga harga tanah sangatlah mahal dan jauh dari harga tanah di Indonesia walaupun itu ukuran sebuah perumahan real estate.

Melihat pintu terbuka lebar begitu saja Ziko langsung menuju ke arahnya. Ia pun langsung mendapati Ken sedang berbincang dengan seseorang yang tak ia kenal. Mungkin advokat, pikir Ziko.

"Eh bang, udah dateng, tunggu bentar, ya."

Ziko pun mengerti dan memilih untuk duduk di ruang keluarga rumah ini, dari gelagatnya sudah seperti pemilik rumah ini saja padahal ini pertama kalinya ia masuk rumah ini.

Ini adalah hari pertama Ken pindah ke rumah ini. Yang awalnya ia tinggal di kawasan Fort Dupont Terrace kini ia tinggal di kawasan yang lebih jauh dari kota. Ya, ternyata selama setahun ini ia satu lingkungan dengan Dara. Dan tanpa diketahui siapapun selama setahun ini pula Ken sering melihat Dara, memerhatikan aktivitas Dara, kebiasaan Dara, hingga sering kali menunggu kepulangan Dara di akhir minggu. Kebiasaan Ken adalah menunggu Dara di minimarket dekat gerbang perumahan dan kemudian mengikuti Dara hingga rumah seperti ingin memastikan Dara selamat sampai di rumah. Dan beberapa kali ia pun sempat berpapasan dengan Dara, namun sayang Ken tak pernah terlihat di mata Dara.

"Seperti biasa, rumah lo selalu nyaman Ken," ujar Ziko melihat Ken menghampiri dirinya.

Ken yang terlihat lelah pun langsung merebahkan tubuhnya di sofa. "Kak Kei yang milih, gue cuma tau jadi."

"As always."

Ziko tak heran jika yang memilih rumah ini adalah Kei- kakaknya Ken. Kei selalu memilih rumah yang besar dengan alasan lebih enak untuk kumpul-kumpul. Sebenarnya itu hanya alasan klise, yang pasti adalah Kei bingung harus buang duit ke mana, secara pewaris perusahaan pembuat pesawat.

"Padahal rumah lo yang kemaren lebih enak," ucap Ziko tiba-tiba.

Nada bicara Ziko yang sarat akan maksud tertentu membuat Ken menatap Ziko intens.

"What?" Ziko menggedikkan bahunya.

"Maksud lo enak, gimana?"

Ziko enggan menjawab.

"Enak karena deket Dara?" Ujar Ken datar lalu mengubah posisinya menjadi duduk tegap.

Ziko yang mengerti arah pembicaraan Ken pun semakin enggan menanggapi, bisa-bisa ujungnya jadi debat kusir yang tak berujung seperti sebelumnya. Entah sejak kapan pula mereka selalu berakhir begini jika menyangkut Dara.

Selain itu Ziko juga mencoba pengertian dengan Ken yang umurnya lebih muda dua tahun darinya itu. Setidaknya dia tidak boleh sama kekanakannya dengan Ken, itu pikir Ziko.

"Eh, ada Ziko."

Kei- Keandra, yang datang entah dari mana akhirnya memecahkan atmosfer horor yang terjadi antara Ken dan Ziko.

"Hai Kak, apa kabar?" Ziko beranjak kemudian memeluk Kei singkat.

"Kabar baik, kenapa pada diem? Mending makan sana, kakak udah masak." Titah Kei pada dua adiknya.

Ziko memang sudah dianggap seperti keluarga mereka sendiri meskipun baru sekitar lima tahun lalu mereka saling kenal. Namun entah kenapa akhir-akhir ini Ken dan Ziko sering berbeda pendapat. Sehingga membuat kecanggungan yang sangat kentara di antara mereka seperti sekarang, bahkan Kei pun bisa merasakan kecanggungan itu saat ini.

Ken berjalan ke arah dapur tanpa basa basi lagi pada Ziko. Kei yang benar-benar heran dengan sikap Ken pun melirik Ziko meminta penjelasan, tapi Ziko hanya menggedikkan bahunya tak acuh.

Masalah apalagi kali ini?

🛫🛫🛫

Dua bulan kemudian ...

Tok tok tok!

"Masuk."

Suara berat seorang lelaki paruh baya itu begitu terdengar karismatik.

Ken dan Ziko pun langsung memasuki ruangan VIP di sebuah convention center di Washington itu dengan langkah yang tegap.

"Lapor! Kapten Keano Alexander siap menghadap.m," ucap Ken lugas sambil menghormat.

"Lapor! Letnan Satu Brian Ziko siap menghadap."

Setelah hormat mereka diterima, keduanya pun langsung menurunkan tangan mereka dan mengubah sikap istirahat.

"Kemarin kerja bagus," ujar pria yang kini masih memandangi sebuah dokumen di atas mejanya. "Dan misi kali ini pun saya harap bisa kalian lakukan sebaik misi sebelumnya," lanjutnya.

Tak ada yang dapat dibantah, perintah adalah keharusan. Mau tak mau sudah menjadi tanggung jawab. Kewajiban melindungi negara telah mereka emban. Sehingga tak sembarang orang dapat mereka bagi kisah mereka, siapa mereka sebenarnya, dan apa yang mereka kerjakan. Karena memang seperti itulah seorang prajurit khusus.






🔜🔜🔜🔜🔜





Hollaaaa!
Susah tidur yasudah apdet aja. HUEHEHEHEH

Gimana seru ga? Ini sebenernya fantasi aku aja yang begitu kagum dengan tentara, semoga kalian sukaa :)



Lavv,
Nun
13/02/2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top