05
✈️
Setelah perutnya terisi kenyang oleh semangkuk soto ayam dan sebuah bacang yang Dara beli di dekat rumah Bianca tadi, kini ia siap untuk menjelajahi sebuah mesin pencari terbesar di dunia. Hari ini ia berniat mencari segala informasi mengenai sekolah pilot yang mengutamakan hasil tes akademik dibandingkan tinggi badannya. Dara masih sebal dengan segala aturan di negeri ini yang mempermasalahkan tinggi badannya yang kurang dua senti dari kualifikasi minimal. Namun ia yakin sebenarnya itu tak berpengaruh begitu besar jika memang poin yang ia kumpulkan sejak tes-tes awal sudah cukup mumpuni untuk menjadi seorang calon pilot.
"Lagi ngapain, Ra?"
Bianca menaruh secangkir susu cokelat di sisi Dara.
"Mau cari info," jawab Dara singkat tanpa mengalihkan pandangannya.
"Jadi intinya lo masih mau merjuangin?"
"Hmm,"
Tak ada jawaban dari Bianca, ia hanya menatap Dara dengan sebuah senyuman.
"Barusan nyokap lo telepon."
Dara tak bergeming.
"Gue bilang lo nggak ada di sini," ujar Bianca.
"Menurut lo gue egois nggak, sih?" Dara membalikkan badannya untuk melihat Bianca yang duduk di ujung tempat tidur.
"Masih ada kemungkinan dan kesempatan?" Bianca malah menjawabnya dengan pertanyaan.
"Awalnya gue kira nggak ada, tapi setelah gue liat ini," Dara menunjuk layar laptopnya. "Gue yakin kesempatan gue masih besar, Bi," lanjut Dara yakin.
Bianca melirik ke arah yang ditunjuk Dara.
"Selama masih ada kesempatan dan masih ada kemauan keras, gue yakin lo bakal sukses, Ra."
"Aamiin!" Sahut Dara bersemangat.
Bianca hanya menatap Dara sendu. Terkadang ia menganggap Dara jauh lebih beruntung daripada dirinya, secara gitu, Dara lahir dari keluarga kaya dengan latar belakang pendidikan mereka yang tinggi. Selain itu, Dara juga seorang perempuan yang cantik dan ramah membuat pesona Dara semakin bertambah hingga Bianca akui terkadang ia merasa iri.
Namun di balik itu Bianca rasa tak sepenuhnya anggapannya adalah benar. Ia terkadang merasa kasihan terhadap Dara yang begitu bekerja keras demi mencapai impiannya tak peduli dengan segala halangan dan rintangan yang menerpanya. Bukan sekadar impiannya lah yang ia perjuangkan melainkan impian orang tuanya juga yang ingin anaknya menjadi orang yang meraih impiannya.
Meski dicaci di sana sini, meski pernah merasa ingin menyerah saja, namun itu tak pernah mengalahkan keyakinannya. Sungguh sebenarnya Bianca lebih beruntung dibanding Dara.
🛫🛫🛫
"Ini ijazah kamu," Andi menyerahkan ijazah Dara yang sudah dicap tiga jari.
"Terima kasih banyak, pak. Saya permisi."
"Kamu masih kukuh pengen jadi pilot, Ra?" Tanya Andi tiba-tiba membuat Dara menghentikan gerakannya
"Saya masih mau memperjuangkan," ujar Dara.
"Apa kamu nggak kasihan sama orang tua kamu yang habis-habisan membiayai kamu?"
Dara mengepalkan tangannya, menusukkan kuku-kuku jarinya hingga meninggalkan bekas yang cukup dalam di telapak tangannya. Ia menatap Andi- wali kelas Dara dengan sorot yang menusuk.
"Karena itu, saya akan pastikan orang tua saya tidak akan rugi menanam investasinya pada saya. Permisi, Pak," tukas Dara dan segera beranjak dari duduknya.
Ia tak bisa lagi menahan emosinya di depan gurunya yang satu itu. Yang entah kesekian kalinya berkata pedas padanya. Bukannya bangga akan Dara yang bisa lolos hingga tahap akhir di ujian akademi pilot, bahkan mengalahkan rekannya yang berasal dari jurusan IPA, tapi justru Andi terus memojokkan dan merendahkan usaha Dara.
Katakanlah Dara murid yang durhaka, tapi siapa pula yang akan tahan dengan kata-katanya selama setahun terakhir?
Dara tahu jika Andi berusaha untuk memberinya saran, namun tidak dengan cara mengungkapkannya dengan kata-kata yang sensitif dan bisa membuatnya sakit hati. Bukankah seorang guru dibekali dengan psikologi pendidikan? Seharusnya ia tahu pilihan kata dan intonasi yang tepat saat memberikan saran ataupun kritik pada anak didiknya.
"Dara, gimana udah beres?" Bianca langsung menghampiri saat melihat Dara baru saja keluar dari ruang guru.
"Udah," sahut Dara singkat, padat, dan jelas.
Dara sudah tak mood berlama-lama di sekolah, kini yang ada bukanlah rasa rindu masa-masa SMA namun rasa muak akibat selalu direndahkan. Jika bukan karena ijazah yang benar-benar ia butuhkan untuk pemberkasan, Dara tak mau sebenarnya kembali ke sekolah sebelum mendapat seragam akademi pilot.
"Ra! Jalannya barengan, dong! Kebiasaan, deh, ninggalin gue," omel Bianca yang kini mencoba menyusul Dara yang sudah berjalan cukup jauh.
Meski Dara masih mendengar teriakan Bianca namun ia sama sekali tak ingin menggubrisnya dan justru terus berjalan lebih cepat dan lebih cepat hingga akhirnya,
BRUK!
Dara menabrak seseorang hingga menjatuhkan map ijazahnya.
"Sorry, gue lagi buru-buru," ujar lelaki yang kini membantu Dara memasukkan ijazah Dara kembali ke dalam map.
"Gak, papa."
"Megandara?" Lafal lelaki itu setelah melihat nama Dara yang tertera.
"Permisi," tukas Dara tanpa sedikit pun menolehkan wajahnya untuk melihat orang yang ditabraknya.
Lelaki itu pun hanya memandang punggung Dara yang semakin menjauh dengan sudut bibirnya yang terangkat sebelum seseorang akhirnya mengalihkan pandangannya.
"Kak Ken!"
🛫🛫🛫
Sudah sekitar sejam yang lalu Viktor menunjukkan batang hidungnya di depan rumah Bianca yang terlihat sepi.
Tadi siang ia melihat Dara dan Bianca datang ke sekolah untuk pengambilan ijazah, dan karena itulah Viktor yakin kalau Dara beberapa hari ini selalu bersama Bianca.
"Ya, gue cukup nunggu aja," gumam Viktor sambil mengetuk-ngetukan kunci mobilnya dengan gelisah.
Hingga yang ditunggu-tunggu pun akhirnya datang.
"Kak," sapa Viktor saat melihat Dara dan Bianca baru saja turun dari taksi.
"Viktor?!"
Bianca lah yang terlonjak kaget saat melihat adik sahabatnya ini sudah nongki di depan rumahnya. Berbeda dengan Bianca, Dara hanya melemparkan senyumnya pada Viktor.
"Lo masuk duluan aja, Bi."
⏭️⏭️⏭️
Seperti biasanya Dara dan Viktor sulit berkomunikasi. Inilah kenapa hening selalu menyelimuti pembicaraan mereka berdua. Rasanya sangat sulit bagi mereka untuk memulai obrolan apalagi untuk meminta maaf atau berterima kasih satu sama lain.
"Dek," ucap Dara akhirnya memecah kesunyian. "Kabar kamu baik?"
"Seperti yang dilihat," ucapnya mencoba acuh.
"Mamah sama Papah gimana?" Tanya Dara lagi sambil menatap adik lelaki satu-satunya ini.
"Mereka gila,"
Dara menautkan alisnya.
"Mereka cari kakak ke mana-mana."
"Aku nggak mau Mamah sama Papah jadi gila karena Kakak," ujar Viktor sembari menghela napasnya. "Aku pergi, karena Kakak baik-baik aja." Viktor beranjak dari bangku taman.
"Kamu khawatirin Kakak?"
Tak ada jawaban.
Dara tersenyum tipis, ia tahu jika Viktor memang sedang mencemaskannya. Jauh di lubuk hatinya Dara merasa sesuatu yang hangat telah menyelimuti hatinya.
"Titip salam buat Mamah sama Papah," ucap Dara ikut beranjak.
Tanpa mengatakan apapun lagi Viktor berlalu meninggalkan Dara yang kini sedang tersenyum lega seolah energi baru kini mengisi hatinya.
Ya, mungkin bagi orang lain perhatian yang diberikan seorang adik adalah hal yang biasa tetapi bagi Dara kedatangan Viktor ini bukanlah hal yang biasa mengingat kejadian apa yang terakhir kali menimpa mereka.
Mereka berdua juga bukanlah tipe adik-kakak yang sering bertengkar lalu lima menit kemudian berbaikan lagi. Perseteruan di antara mereka juga bukanlah sekadar tentang perebutan makanan atau rebutan channel saat nonton tv, melainkan tentang perhatian dan masa depan. Begitulah mereka.
Tapi justru karena itulah, karena mereka tipe adik-kakak yang berbeda dari biasanya, hal kecil seperti ini di mata mereka sangatlah berharga dan begitu membahagiakan.
Biarlah sedikit alay yang penting adek gue sayang gue.
🔜🔜🔜🔜🔜
Trynna introducing the main caracter :D
Yukk vomment mabeloved readerss!
Lavv,
Nun
06/11/2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top