04
✈️
Dengan susah payah Dara menurunkan barang bawaannya dari taksi. Kali ini ia benar-benar tak berniat pulang cepat, ia belum sanggup menampakkan wajahnya di depan orang tuanya.
"Bi?"
Tok! Tok! Tok!
"Bentar kali, ah. Gak sabaran banget." Setelah itu Bianca pun membuka pintu rumahnya.
Melihat bawaan Dara, Bianca terkejut bukan main. Saking banyaknya Bianca hanya bisa melongo hingga lupa menutup mulutnya yang terbuka lebar.
"LO?! Mau pindahan?!" Teriak Bianca di depan wajah Dara.
Dara hanya bisa menampakkan deretan gigi putih nan rapihnya. "Permisi," tanpa basa basi lagi Dara pun menerobos masuk rumah Bianca tanpa dipersilakan.
Bianca membawakan air putih untuk Dara yang sudah duduk manis di kasurnya seolah ini adalah kamarnya sendiri.
"Gue turut berduka, ya, atas kegagalan lo," ujar Bianca sambil tersenyum jahil.
"Lo," geram Dara lalu melempar bantal ke arah Bianca. "Bukannya ngehibur malah ngeledek, Adek sebel, Bang!"
"Abang nggak mau Adek sedih terus, makanya Abang ledek," Bianca mengelus rambut Dara pelan.
Sumpah, siapapun yang melihat ini dijamin merasa mual. Ini nih, efek dua jomlo akut temenan lama, gilanya pakai kuadrat.
"Eh, tapi lo beneran mau nginep di tempat gue?" Tanya Bianca setelah beberapa lama hening menerpa.
"Hmm, kenapa? Tenang, gue bisa beli makanan sendiri jadi di sini gue mau ikut tidur sama mandi aja. Boleh, kan?"
"Uh ..." Bianca menjawab ragu.
"Kenapa, Bi? Gue ngerepotin, ya?"
"Nggak, bukan gitu." Bianca menghela napasnya. "Rumah gue, kan, nggak segede dan senyaman rumah lo, Ra. Emang nggak apa-apa?"
"Justru, kalo lo bilang gitu gue jadinya apa-apa. Emang kenapa rumah lo? Gue nyaman-nyaman aja, tuh. Lagian lo tau sendiri gue, kan, tumor (tuman molor = tukang tidur), hehe."
Bianca hanya menatap Dara tanpa eksperesi membuat suasana jadi hening kembali.
"Please ... jangan suruh gue pulang. Gue belum punya muka buat balik sekarang, Bi," jurus puppy eyes Dara pun keluar.
Bianca mengembangkan senyumnya.
"Iya, deh. Boleh."
Ini salah satu alasan kenapa Bianca betah berteman dengan Dara yang berlatar belakang seratus delapan puluh derajat berbeda dengannya. Meski Dara anak orang kaya yang rumah sakitnya di mana-mana, tapi Dara tak pernah memilah teman berdasarkan kekayaan mereka dan ini yang membuat Dara berbeda dari temannya yang lain terutama Chelsea.
"Kenapa lagi, Bi?" Dara menyadarkan Bianca yang sedang melamun. "Udah, gak usah dipikirin, mau nyiapin makan apa, gue yang beli," ujar Dara menepuk dadanya sombong.
"Geer, lo! Nggak akan gue kasih makan juga, kali. Lo nginep di sini juga nggak gratisan." Mata Bianca berubah seketika menjadi tatapan licik.
"Apa? Emang apa, hah?" Dara membalas Bianca dengan percaya diri.
"Bantu gue isi TPA, lo tau sendiri, kan, tes tentara perempuan bentar lagi," ujar Bianca sendu saat menyinggung soal tes masuk tentaranya yang tinggal menghitung hari.
"Siap, Kapten!" Semangat Dara sembari melakukan gerakan hormatnya.
🛫🛫🛫
Hari ini, Minggu pagi di awal bulan Juni. Dara memilih mengisi waktunya untuk berlari pagi ke sebuah stadion di dekat rumah Bianca untuk terus melatih fisiknya agar tidak kaku.
"Bi, tunggu!" Dara masih mencoba mengatur ritme napasnya yang memburu.
Mereka sudah berlari sekitar tiga puluh menit, dan alhasil Dara sudah ngos-ngosan tak karuan, berbeda dengan Bianca yang memang memiliki kekuatan fisik yang bisa dikatakan cocok sebagai calon seorang tentara.
"Yah, payah! Gimana mau jadi pilot lo?" Ledek Bianca melihat Dara sudah tepar di atas aspal jogging track mereka.
Dara pun sedikit tertegun saat Bianca menyebut kata 'pilot'.
"Ya, kan, lo, mah, calon, tentara," ucap Dara pada akhirnya.
"Ya udah, gue beli minum dulu, ya." Sedetik kemudian Bianca sudah menghilang dari hadapan Dara.
Sekitar lima menit berlalu setelah Dara ditinggal sendiri, seseorang menghampiri Dara dan menyerahkan sebotol air mineral.
"Lama banget, Bi," ujar Dara langsung mengambil botolnya dan meneguk airnya cepat hingga sisa sedikit.
Namun saat Dara mendongakkan kepalanya mendadak air yang ia minum malah masuk ke dalam saluran napasnya membuat ia tersedak dan batuk-batuk hingga wajah dan matanya memerah.
"Zero?! (Uhuk-uhuk)"
"Minum dulu pelan-pelan," ujar Zero kemudian duduk di samping Dara.
Dara pun memilih kembali minum karena ia sudah tak bisa menahan haus.
"Lari sama siapa, Ra?" Tanya Zero setelah air minum Dara habis.
"Bianca, cuman ngilang nggak tau kemana," ucap Dara sembari mengedarkan pandangannya mencari Bianca.
Awas aja, ya, tuh, anak. Belum kena pukulan hook gue kali, ya.
Umpat Dara yang tentunya dalam hati.
"Oh, Bianca? Tadi dia lagi ngobrol sama sodara gue, Ra."
"Sodara lo? Emang Bi kenal?" Dara menautkan alisnya.
Kalo udah ketemu Bianca ngapa nanya gue lari sama siapa, sapri!
"Sepupu gue, tadi ikut lari terus ketemu Bianca, ngobrol, deh," jelas Zero.
"Cowok?"
Zero pun mengangguk.
Dara tertawa yang terkesan dipaksakan. "Haha- haha aduh dasar, ya, gak kuat liat cowok cakep dikit," Dara menggertakkan giginya.
Enak-enakan ngecengin cowok, gue ditinggal sama mantan calon pacar di sini. Mau ditaro di mana muka gue, ya, Tuhan.
"Kenapa, Ra?" Tanya Zero khawatir dengan perubahan ekspresi Dara.
"Ng- nggak, kok."
Awas aja, tuh, si Bianca. Abis lo sama gue! Aduh, siapapun tolong gue, nggak kuat lama-lama deket Zero. Masa udah gue tolak masih aja bikin gue dag dig dug, sadar Dara, sadar!
"Oh, ya, gue denger hasil tes pilot udah keluar, lo gimana? Lolos, kan?"
Akhirnya, pertanyaan yang dua hari ini benar-benar Dara hindari pun muncul kembali, dan betapa tak beruntungnya lagi Dara ditanya oleh Zero- lelaki yang ia tolak mentah-mentah bahkan sebelum Zero menyatakan perasaannya.
"Uhm, gue ... gue," Dara menutup matanya menarik napas dalam. "Gue nggak lolos," lanjutnya tak bersemangat.
🛫🛫🛫
"Jadi, dia gak lolos?" Ziko melipat kedua tangannya.
Zero hanya terdiam.
"Lo payah, Ro!"
"Maksud lo?" Zero menaikkan sebelah alisnya.
"Harusnya jadi kesempatan buat lo deketin dia lagi. Masa naklukin cewek kaya dia aja gak bisa?" Ziko menantang Zero.
Awalnya Zero memang memiliki perasaan suka terhadap Dara. Namun semenjak ia dijauhi Dara, perasaannya perlahan memudar, meskipun sebenarnya tak berubah jadi benci.
Tapi mendengar sepupunya terus meledeknya habis-habisan membuat egonya sebagai lelaki terluka. Ia butuh pembuktian.
"Lo yang nantang, ya. Dan lo juga harus buktiin kalo lo lebih jago dibanding gue."
Mereka pun sepakat.
Meski bagi mereka ini hanyalah sebuah permainan dan tak bermaksud menyakiti siapapun. Namun orang lain belum tentu menerimanya dengan pemikiran yang sama.
Dan kini salah seorang yang tidak sepaham dengan Ziko dan Zero tengah memerhatikan mereka dengan tangan yang mengepal.
🔜🔜🔜🔜🔜
Lavv,
Nun
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top