03

✈️

Ketegangan terasa sangat jelas di ruang keluarga Kenant sejak lima menit yang lalu. Semua anggota keluarga berkumpul, namun tidak untuk berbincang hangat melainkan meluruskan kesalahpahaman yang terjadi.

Dara hanya bisa duduk sambil tertunduk di dekat Arumi dengan mata yang sudah berkaca-kaca, sedangkan Viktor- ia duduk di kursi yang berhadapan dengan Kenant. Semua terdiam. Tak ada yang berani angkat bicara karena melihat raut kemarahan dalam wajah Kenant.

Perdebatan ini terjadi ketika kebiasaan lama Viktor muncul kembali. Kebiasaan lamanya yang selalu membuat seluruh keluarga heboh karenanya dan terkadang membuat orang tuanya sakit hati akan apa yang ia katakan.

Namun sepertinya kali ini lebih parah dari sebelumnya. Viktor memprotes akan perlakuan kedua orang tuanya terhadap Dara yang habis-habisan. Lebih tepatnya Viktor iri akan perhatian dan segala dukungan yang Dara dapatkan, meski Kenant dan Arumi selalu memenuhi keinginannya.

"Papah sudah memutuskan untuk mendukung apapun impian anak-anak Papah. Bukan hanya Dara, tapi kamu juga Viktor." Kenant kembali membuka pembicaraan.

"Tapi apa Papah tau resiko dari semua ini? Papah sama Mamah bakal kehilangan hal yang selama ini kalian jaga dengan baik. Rumah sakit, Pah!" Ucapan Viktor tak kalah tinggi dengan suara Kenant.

"Viktor!" Bentak Arumi pada Viktor yang terlihat sudah terpancing emosi.

"Papah akan melakukan hal yang sama jika kamu ada di posisi Dara. Apa kamu masih belum mengerti?" Ucapan Kenant kembali merendah walau masih dengan intonasi yang sarat akan meredam emosi.

"Apa iya, Papah bakal lakuin itu? Selama ini yang Papah sama Mamah pedulikan cuma Kak Dara, dan Viktor selalu membiarkan itu. Tapi kali ini udah terlalu berlebihan Mah, Pah ..." Viktor kali ini ikut memelankan suaranya.

Dara yang sedari tadi berusaha menahan tangisnya kini sudah tak kuat lagi. Tangisnya pecah dan tak terbendung. Emosinya bercampur, antara sedih, marah, merasa bersalah hingga rasanya ingin mati saja, tak menyangka kegagalannya akan membuat seisi rumah bersitegang.

"Cukup!" Dara membuat semua orang menatapnya terkejut.

"Da- ra, tau Dara salah," ucap Dara bergetar di sela isakan tangisnya.

"Dara yang buat masalah runyam dan keluarga jadi berantem kaya gini. Dara minta maaf Mah, Pah, Viktor. Dara udah ngecewain kalian. Dara ngebuat Mamah sama Papah berkorban banyak. Dan Viktor, Kakak sayang sama kamu, Kakak nggak pernah bermaksud mengambil semua perhatian Mamah sama Papah," ujar Dara sambil menyeka air matanya.

"Jadi mulai sekarang Dara mohon, Mamah sama Papah cukup dukung Dara seperlunya. Mamah sama Papah nggak perlu berkorban sebanyak itu. Mimpi aku memang penting, tapi bagi aku mimpi Mamah sama Papah lebih penting. Rumah sakit untuk bantu banyak orang, itu impian Mamah sama Papah, dan Dara nggak mau kalian kehilangan itu."

Semuanya mendengarkan kata-kata Dara.

Kenant, Arumi, dan bahkan Viktor tak ada yang mampu memotong ucapan Dara yang kali ini sangat mengiris hati mereka.

Keributan ini bermula dari pembicaraan mengenai Kenant yang akan menjual setengah sahamnya di rumah sakit setelah mendapat informasi Dara gagal dalam tes terakhir. Meskipun ini berarti akan membuatnya lengser dari jabatan direktur utama yang membawahi beberapa rumah sakit yang akhirnya menyebabkan pindahnya kepemilikan rumah sakit.

Bukan hal yang mudah bagi Kenant dan Arumi untuk mencapai titik ini. Jatuh bangun mereka rasakan saat hendak mewujudkan mimpi mereka seperti Dara saat ini. Pemindahan kepemilikan tentu akan menyulitkan mereka membantu banyak orang di luar sana. Tentunya ini membuat Dara tak akan tinggal diam dan membiarkan orang tuanya lagi-lagi berkorban demi dirinya yang bahkan mengecewakan dan cenderung menjadi beban keluarga.

Dara tahu persis jika ingin meraih apa yang diimpikan maka kita harus berkorban. Namun pengorbanan itu bukan datang dari orang tua, keluarga, sahabat, teman, atau bahkan orang luar, melainkan pengorbanan diri kita sendirilah yang akan mengantarkan kita pada pencapaian, di mana sebuah impian dan cita-cita yang telah lama diidamkan akan terwujud. Inilah saatnya bagi Dara berkorban untuk dirinya sendiri.

"Sekarang, Dara mohon Mamah sama Papah biarin Dara pergi dulu sementara waktu. Dara mau memikirkan dengan baik apa yang akan Dara lakuin selanjutnya," pungkas Dara kemudian beranjak dari tempat duduknya.

Dara berlari ke kamarnya meninggalkan keheningan yang melanda ruang keluarga. Ia menutup pintunya rapat-rapat dan menguncinya. Tak ingin membiarkan siapapun masuk ke dalam dan melihatnya selemah ini, tak ingin membuatnya terlihat bodoh, menyedihkan, karena mimpinya yang setinggi langit.

Di kasur kesayangannya inilah Dara menangis. Ia menangkupkan wajahnya ke bantal berharap ini dapat meredam suara tangisan dan teriakannya.

"Aaaaaaahhhhhhhhhh!"

Dara berteriak berulang kali. Dadanya begitu sesak. Bahunya terasa berat seakan bebannya makin bertambah di tiap harinya.

Malu, ia malu pada keluarganya, usahanya yang menahun itu sia-sia. Kini mimpinya benar-benar hanya angan belaka, karena keinginan dan usaha seseorang tak akan mampu melawan takdir sampai kapan pun.

Hanya satu hal yang bisa Dara harapkan saat ini adalah waktu cepat berlalu, masalah cepat mereda, dan rasa sakit yang ia rasakan kini akan segera berganti kebahagiaan.

🛫🛫🛫


Pagi ini suasana rumah tak seramai biasanya. Kenant dan Arumi sudah pergi ke rumah sakit untuk bekerja seperti biasanya, sedangkan Viktor sudah berangkat ke sekolah. Hari ini mereka tak sarapan bersama, Dara sengaja tak keluar kamarnya terlalu pagi agar ia tak harus menjumpai keluarganya dalam kondisi yang masih canggung.

Saat Dara menuruni tangga ia melihat hanya ada Ani di dapurnya yang sedang memasak.

"Mbak, masak apa?" Tanya Dara saat mencium wangi semur ati sapi kesukaannya.

"Ini masak semur kesukaan teteh," ujar Ani sambil mengaduk masakannya.

Dara mendekat ke arah wajan dan begitu melihat isinya matanya langsung berbinar-binar.

"Waaahhh, mantap! Dipercepat, ya, mbak, udah laper, hehe." Dara segera mengambil piring, sendok, dan garpu kemudian duduk di kursinya menunggu makanannya siap.

Masakan sudah matang, Ani menyajikannya di meja makan. Namun saat melihat anak majikannya itu Ani mengerutkan alisnya dan mengamati Dara lebih dekat.

"Teteh nangis? Kenapa?" Ani yang terkejut pun segera duduk di kursi sisi Dara.

"Nggak apa-apa," ucap Dara sambil menyendok nasi dan lauknya.

"Tadi mbak liat ibu juga matanya bengkak. Sebenarnya ada apa, Teh?"

"Nggak ada apa-apa, kok. Serius, deh."

Ani menatap Dara tak percaya, bagi Ani- Dara sudah seperti adiknya sendiri. Sejak Dara usia delapan tahun Ani sudah bekerja untuk keluarga Kenant sehingga membuatnya sudah seperti bagian dari keluarga ini.

"Enak, Mbak, semurnya," puji Dara berniat mengalihkan topik.

"Teteh mau rahasia-rahasiaan aja, nih?" Tanya Ani.

"Nggak ada rahasia," ucap Dara sambil mengunyah makanannya.

"Telen dulu makanannya!" Ucap Ani langsung karena melihat Dara takkan bersedia bicara, meski ia bujuk.

Ani beranjak dan meneruskan pekerjaannya membiarkan Dara sibuk dengan sarapannya.

Setelah makanan di piringnya habis, Dara langsung menaruh piring itu di wastafel sambil mengeluarkan sebuah surat di depan Ani.

"Surat apa ini?"

"Itu buat Mamah," ujar Dara sambil mencuci tangannya. "Pastiin sampe ke Mamah, ya," titahnya.

"Uh?" Ani masih bingung, jika itu untuk Arumi seharusnya Dara memberikannya sendiri.

"Mbak ke pasar jam berapa?"
Pertanyaan Dara lagi-lagi sengaja untuk mengalihkan topik karena ia tahu Ani merasakan ada yang tidak beres dengannya.

"Bentar lagi, mau titip makanan?" Ucap Ani sambil menaruh surat di atas meja makan.

"Beli pare sama tempe, ya, Mbak. Ntar masaknya dioseng."

"Itu, kan, menu kesukaan Ibu?"

"Kok pinter sih, Mbak? Ya, udah. Thank you, cantik."

Setelah mengucapkan terima kasih Dara kembali naik ke lantai dua menuju kamarnya meninggalkan banyak tanda tanya bagi Ani yang jelas-jelas merasakan Dara tak bersikap seperti biasanya.

🛫🛫🛫


Mah, jangan marah, ya. Maaf Dara pergi tanpa pamitan secara langsung. Dara pergi bukan untuk selamanya kok, Mah, cuma sementara. Dara butuh waktu merenungkan apa yang terbaik bagi Dara, dan apa yang sebaiknya Dara lakukan setelah ini. Menerima kenyataan Dara gagal mencapai impian dan membuat orang tua Dara kecewa adalah hal yang paling sulit dijalani seumur hidup Dara. Jadi izinkan Dara liburan sejenak, Mah. Secepatnya Dara akan pulang. Jangan khawatir, oke?! Dara bisa jaga diri, kok. Dan kalau soal uang, Dara ada simpenan dari sisa uang bulanan Dara selama ini, Mah. Jadi, don't worry be happy! :) oh, ya, tolong bilang ke Papah nggak usah cari Dara ya, Mah. Dara janji kok pasti pulang.

Titip salam dan ketjup sayang juga buat adek tercinta, Viktor :D.

Anak sulung Mamah dan Papah,
Megandara Vlaretta


Tes.

Tes.

Tes.

Setetes demi setetes air mata Arumi membasahi sepucuk surat perpisahan dari Sang Anak. Makanan yang tersaji di depannya yang ia buat tadi bersama Ani khusus untuk Dara, kini tak lagi menggugah seleranya seperti beberapa waktu lalu saat mencoba menghubungi Dara, sesaat sebelum ia membaca surat di tangannya ini.

"Mah, kenapa?" Kenant langsung bertanya ketika memasuki ruang makan.

"Mamah nangis?" Kenant bertanya lagi.

Arumi yang baru menyadari suaminya sudah pulang pun segera menyeka air matanya.

"Udah pulang, Pah? Kok mamah nggak dengar?"

"Ya, iya, gimana mau dengar, Mamah lagi fokus baca kertas itu. Coba Papah lihat."

Dengan lemah Arumi menyerahkan surat tersebut kepada Kenant. Raut wajah Kenant pun seketika berubah, tak perlu waktu lama ia memahami isi dari surat ini ia langsung mengerti apa yang sedang terjadi.

Ekspresi Kenant semu, antara marah, kesal, sedih, dan cemas bercampur jadi satu. Diremasnya surat itu dengan bergetar menahan amarah yang mulai mendominasi emosinya. Matanya pun berkaca-kaca siap meluncurkan bulir-bulir bening yang sangat deras.

Arumi mengerti saat ini suaminya sama khawatirnya dengannya. Bahkan mungkin lebih khawatir darinya karena tanggung jawabnya sebagai ayah lebih berat dibandingkan seorang ibu dalam menjaga anak gadis mereka. Arumi pun mengelus tangan Kenant yang masih meremas kuat suratnya dengan perlahan, dan bersyukurlah Arumi karena tak perlu waktu lama untuk meredakan emosi suaminya karena kini tangannya sudah kembali melemas.

Ditatapnya lekat-lekat Kenant yang kini tak dapat menahan desakan air matanya.

"Pah ..." ucap Arumi pelan dan hanya dibalas tatapan bertanya Kenant.

"Sebaiknya kita biarkan Dara untuk saat ini." Arumi menghela napasnya berat. "Mamah yakin Dara akan baik-baik saja."

"Gimana bisa dia baik-baik saja di luar sana dalam keadaan yang sedang hancur, Arum?" Suara parau Kenant sangat sarat akan kekhawatiran.

"Kita sangat tahu Dara seperti apa. Karena itu Mamah yakin Dara baik-baik saja."

Kenant berpikir sejenak sembari memandangi surat dari Dara. Dan pada akhirnya, "Papah akan tetap cari Dara."



🔜🔜🔜🔜🔜



Lavv,
Nun
9/10/2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top