02


✈️

Kegaduhan yang berasal dari pemandu sorak untuk menyemangati para pemain yang sedang bertanding, begitu mendominasi suara di ruangan ini.

Mereka sangat berenergi dan terlihat luar biasa menarik perhatian para penonton, terlebih kaum adam. Tak terkecuali Dara yang saat ini menjadi penonton yang tengah memerhatikan mereka. Hingga matanya menangkap seseorang yang sangat ia benci, siapa lagi kalau bukan Chelsea, sang kapten pemandu sorak.

Namun sebelum mood-nya memburuk Dara langsung mengalihkan perhatiannya pada Zero dan teman-temannya yang saat ini sedang bersiap di sisi lapangan.

Begitupun sebaliknya, Zero mengedarkan pandangannya mencari keberadaan seseorang yang sangat ia harapkan akan hadir hari ini, hingga akhirnya Zero menemukan Dara yang sedang duduk di tribun paling depan bersama dengan Bianca.

Senyuman manis yang Dara tampilkan membuat Zero tampak lebih semangat, seolah senyum Dara adalah charge dan support yang paling kuat bagi Zero.
Tak lama, Dara melihat dua orang lelaki berjalan mendekat, menghampiri Zero.

⏭️⏭️⏭️

"Hey, Ro! Ngapain lo senyum-senyum sendiri?" Tanya Ziko saat melihat adik sepupunya itu tersenyum ke arah penonton.

"Eh, nggak kok, bang," ujar Zero lalu mencoba menutupi kesalahtingkahannya.

"Bareng siapa, bang?"

"Ini gue bawa curut, satu doang." Ziko menunjuk ke arah seseorang yang sedang memerhatikan sekeliling lapangan.

Merasa dirinya diperkenalkan ia pun segera mengulurkan tangannya pada Zero.

"Gue Keano, panggil Ken, aja," sapa Ken pada Zero yang disambut hangat.

"Zero," ucap Zero saat menjabat tangan Ken.

"Ini adek tingkat yang gue certain ke lo itu. Baru tahun pertama tapi udah mau nyusul gue."

"Kan, lo emang payah dari lahir, bang," timpal Zero sambil tertawa.

"Wah, parah. Bela abang lo sekali ini aja napa?"

Zero tak menanggapi perkataan Ziko sehingga membuat Ziko dan Ken mengikuti arah pandang Zero.

"Lo senyum ke siapa sih, Ro? Kok gue curiga, ya. Jangan-jangan yang duduk di situ cewe lo?" Ziko memicingkan matanya ke arah seorang perempuan yang tengah duduk di bangku tribun paling depan.

"Lebih tepatnya calon cewe gue, bang," ucap Zero serius.

"Cantik juga. Ya, kan, Ken?" Tanya Ziko meminta persetujuan Ken.

"Hmm, manis," sahut Ken sambil memerhatikan perempuan yang dimaksud.

"Wah, bahaya, nih. Saingan gue banyak," ujar Zero terdengar sedikit menyedihkan.

"Dari nada bicara lo, gue kayanya bisa tebak kalo dia susah didapetin, kan?" Ejek Ziko pada adik sepupunya itu.

"Kok tau, bang? Tapi seriusan, emang bawaannya Dara, tuh, bikin kita segen, bang. Tiap kali gue mau ngomong rasanya susah." Zero akhirnya curhat colongan, meluapkan isi hatinya.

"Ah, itu mah, lo nya aja yang cemen."

Sementara Zero dan Ziko melanjutkan perbincangannya, Ken lebih memilih mengamati sekelilingnya. Dan ketika ia berkeliling matanya tertuju lagi pada perempuan yang sedang dibicarakan Zero dan Ziko- yaitu Dara, dan kebetulan Dara juga sedang memerhatikan tiga lelaki yang berada di pinggir lapangan ini hingga tak sengaja mereka bertemu pandang. Namun itu tak berlangsung lama, karena sedetik kemudian Dara mengalihkan pandangannya.

"Dara?" Gumam Ken. "Gue setuju sama Zero, dia susah ditaklukin," lanjut Ken tiba-tiba di sela perbincangan Zero dan Ziko membuat keduanya tercengang.

🛫🛫🛫


Kini pertandingan basket pun telah usai. Dara dan Bianca memutuskan untuk segera meninggalkan gor yang sesak dan pengap ini.

"Sumpah, ya, kalo lima menit lebih lama kita di dalem, kayanya gue bakalan pingsan, deh. Engap banget asli," keluh Bianca sesaat setelah keluar dari dalam gedung.

"Gue juga, Bi. Kita cari minum, yuk! Haus." Dara mencari-cari keberadaan pedagang yang menjual air mineral.

"Sebelah sini, Ra." Tunjuk Bianca ke arah sebelah kiri.

Belum sempat mereka mendekat ke lapak pedagang minuman, tiba-tiba Zero mencekal tangan Dara. Dara yang tak biasa mendapat perlakuan seperti itu pun segera melepaskan tangannya dari genggaman Zero.

"Ada apa, Ro?" Tanya Dara yang masih mencoba mengendalikan detak jantungnya yang berdetak tak karuan.

"Permainan lo bagus tadi, gue suka." Bianca berbicara tanpa ada yang mengundang.

"Thanks, Bi. Dan maaf, Ra. Gue refleks barusan," sesal Zero.

"It's, okay." Dara memaksakan senyumannya.

"Gue mau ngajak lo jalan abis ini, bisa?" Tanya Zero to the point.

Mendengar ajakan jalan dari Zero untuk pertama kalinya membuat Dara merasakan hal semacam heart attack. Ya, bisa dibilang begitulah. Siapa pula yang tak akan terkejut diajak oleh seseorang yang dikagumi. Begitupun dengan Dara yang saat ini terkejut bagai disengat listrik.

Namun ternyata itu tak bertahan lama, setelah Dara merasa baper tingkat dewa kini yang ia rasakan adalah cemas dan tak yakin. Cemas akan bagaimana nanti hubungannya dengan Zero dan tak yakin dengan perasaannya sendiri.

Pertama, Dara tahu jika dirinya tak akan mungkin menjadi kekasih Zero. Ini karena Dara sudah berkomitmen pada orang tuanya ia takkan berpacaran sebelum menyelesaikan sekolahnya, dan lagi Chelsea pasti semakin menjadi-jadi. Chelsea yang tergila-gila dengan Zero tak mungkin diam dan menyerah begitu saja melihat Dara terus dekat dengan Zero.

Yang kedua adalah yang paling penting. Dara sebenarnya tak yakin dengan perasaannya sendiri. Memang benar Dara kagum pada Zero. Dara senang dapat melihat Zero tersenyum, mengenal Zero, dan bahkan mendapat perhatian dari orang yang ia kagumi. Tapi, apa perasaan kagum dan suka itu sama? Selama ini Dara bertanya-tanya akan apa yang ia rasakan terhadap Zero, apa mungkin itu perasaan suka atau bahkan cinta?

Dan ternyata jawaban yang Dara dapatkan setelah sekian lama adalah, tak ada perasaan yang lebih dari sekadar seorang pengagum, yang kini tengah Dara rasakan.

Untuk itu, sepertinya Dara harus menjaga jarak dengan Zero, jika tidak dilakukan saat ini juga akan lebih sulit nantinya. Ia tak ingin disebut sebagai pelanggar janji, ia tak ingin menjadi bulan-bulanan amarah Chelsea lagi, dan ia juga tak ingin dicap sebagai seorang pemberi harapan palsu, karena ia tahu Zero telah menyimpan rasa padanya.

Ya, Dara harus memutuskan.

"Ra, ditanya Zero, tuh?" Ucapan Bianca menyadarkan lamunan Dara.

"Sorry, Ro. Gue nggak bisa. Gue duluan, ya," pamit Dara lalu bergegas pergi.

"Ra! Tungguin gue, dong!" Teriak Bianca saat ia menyadari Dara meninggalkannya.

Namun saat hendak melangkah, Bianca baru sadar jika Zero masih berdiri di depannya.

"Gue duluan, ya. Bye," ujar Bianca yang kini sudah mengejar Dara.

Zero hanya dapat terdiam di tempatnya berdiri menatap punggung Dara yang semakin menjauh sembari mencerna kata-kata yang baru saja Dara katakan. Tak disangka ternyata Dara lebih sulit dijangkau dari yang ia kira.

Egonya sedikit tersakiti.

🛫🛫🛫


Mei 2007

Dua bulan telah berlalu. Mendadak pula Dara menjadi seorang yang introvert setelah perbincangan terakhirnya dengan Zero. Sejak saat itu hingga kini Dara selalu menghindar dari Zero, ia lebih memilih tetap diam di kelas saat istirahat dibanding harus bertemu dengan Zero di kantin.

Begitupun dengan masa sekolah, bulan ini adalah bulan terakhir mereka menggunakan seragam putih abu mereka. Semuanya akan berubah dalam hitungan hari. Tak akan ada lagi masa-masa putih abu yang bagai drama, kisah kasih di sekolah, kerja kelompok yang berujung hang out di mall, tak ada lagi DJ dadakan saat jam kosong, dan takkan ada lagi ceramah seorang guru yang menghabiskan waktu berjam-jam karena para siswa selalu berisik saat upacara bendera.

"Ra, hari ini jalan, yuk!"

"Nggak bisa, Bi. Gue hari ini pulang bareng Viktor."

Bianca langsung mengembungkan pipinya saat mendengar ajakannya ditolak lagi oleh Dara.

"Ra, hari ini, kan, UN selesai. Masa lo gak mau gitu refresh otak lo?"

Dara hanya terus menyibukkan diri meraut pensil-pensilnya tanpa menghiraukan rengekan Bianca.

Begitulah Dara selama dua bulan ini. Tak banyak bicara dan selalu menyibukkan diri dengan hal-hal yang tak dapat Bianca mengerti. Bahkan kini Dara selalu berangkat dan pulang sekolah bersama Viktor- adiknya, yang setahu Bianca mereka tak pernah akur.

Bianca tak pernah menyangka Dara akan menjadi seperti ini setelah menjaga jarak dengan Zero. Namun ia yakin alasan sebenarnya Dara berubah sikap bukan hanya karena Zero, pasti ada sesuatu yang Dara sembunyikan. Apa persisnya itu, Bianca pun tak tahu. Yang Bianca tahu pasti hanyalah ia harus selalu ada di sisi Dara.

🛫🛫🛫

Minggu terakhir di bulan Mei 2007


Hari ini saatnya Dara menjalani rangkaian tes fisik untuk menjadi seorang calon pilot. Bertahun-tahun ia melatih fisiknya dimulai dengan berlari di bawah teriknya matahari tanpa peduli itu membakar kulitnya, menyempatkan sit up, push up, pull up di sela waktu belajarnya, hingga berenang dengan rutin di akhir pekan untuk menambah tinggi badannya. Semua Dara lalui dengan semangat tanpa kenal lelah hanya demi melewati tes fisik hari ini.

Tes fisik dan kesehatan ini Dara capai setelah melewati berbagai tes potensi akademik yang dilaksanakan bulan April yang lalu. Dengan mudah Dara menjawab soal-soal yang diberikan, dan terbukti hari ini Dara berada di sini untuk menjalani tes tahap terakhir.

Dan inilah akhirnya, Dara berada pada fase ini, fase di mana ia merasakan ketegangan yang luar biasa dibanding tes-tes sebelumnya. Tentu saja ia tegang karena hari ini penguji akan mengukur tinggi badannya yang sudah ia ketahui dengan pasti tak mencapai ukuran minimum untuk menjadi seorang pilot. Namun berbekal kegigihan dan keyakinannya terhadap Tuhan, ia memberanikan diri untuk datang, dengan modal mengharap keajaiban akan datang. Ini juga ia lakukan karena sudah terlanjur jauh melangkah, jika ia ingin kembali seharusnya sudah ia lakukan sejak tiga tahun yang lalu.

"Megandara Vlaretta, silakan masuk."

Akhirnya nama Dara dipanggil. Dara menarik napasnya dalam lalu membuangnya perlahan, kemudian ia tarik lagi dan keluarkan lagi, ia melakukan itu berulang-ulang hingga ia merasa rileks.

"Inhale, exhale, inhale, exhale."

Setelah itu, barulah Dara masuk ke dalam ruangan tes yang sudah diisi oleh berbagai macam alat tes beserta penguji dan beberapa peserta lain yang dipanggil sebelumnya.

"Megandara?" Tanya seorang penguji di pos pertama sembari melihat kertas berisi data diri Dara.

"Iya, saya, bu," sahut Dara. "Sekarang saya cek berat badan kamu dulu, tolong dilepas sepatunya."

Dara melakukan apa yang diperintahkan padanya. Kemudian ibu penguji itu mempersilakan Dara naik ke atas sebuah timbangan digital.

"43 kilogram," gumam penguji yang masih dapat Dara dengar.

Setelah selesai Dara kemudian turun dan menuju ke arah tiang penyangga ruangan. Di tiang itu sudah tergantung alat pengukur tinggi badan.

Sejujurnya, langkahnya sempat ragu-ragu beberapa saat, namun pada akhirnya ia berjalan dengan mantap.

"Coba saya lihat, ya."

"Hmm, ternyata 158."

Penguji itu pun menuliskan hasilnya di kertas data diri Dara. Dari wajahnya Dara menebak penguji itu terkejut dan sedikit menyeringai ketika melihat hasil tes Dara barusan, mungkin ia juga tak menyangka Dara bisa mencapai tes fisik terakhir ini dengan tinggi badan yang kurang dari kualifikasi.

Ya, Dara mengetahui dengan pasti banyak orang mengatakan Dara hanya membuang waktu lah mengikuti tes sekolah pilot ini, karena sudah dapat dipastikan ia takkan lolos.

Banyak juga yang bilang Dara bunuh diri lah karena dengan mudahnya mengundurkan diri dari perguruan tinggi negeri yang jelas-jelas sudah menerimanya dan memilih sekolah pilot yang bahkan Dara belum tentu dan tidak tahu apakah akan diterima. Tapi inilah Dara, teguh dan pantang menyerah sebelum mencoba.

Banyak orang di luar sana yang memiliki situasi serta mimpi yang sama dengan Dara namun tak berani mengambil kesempatan serta risiko dalam sekali langkah seperti Dara. Mereka menyerah sebelum mencoba, dan di kemudian hari menyesal karena tak berjuang. Dan Dara tak ingin hal itu terjadi padanya. Lebih baik ia menyesal setelah berjuang dan melakukan sesuatu dibanding harus menyesal karena tidak melakukan apa-apa sama sekali.

Dengan terus meyakinkan dirinya, Dara melewati pos-pos tes selanjutnya. Dan bisa dibilang berjalan dengan lancar. Ia pun bersyukur bisa melewati tahap ini dengan lancar, terlebih dengan bekal usaha dan doa selama ini Dara harap hasil yang akan keluar nanti sesuai dengan apa yang diharapkan.

"Gimana? Di dalam lancar, kan?" Tanya Arumi ketika Dara keluar dari ruangan tes.

"Alhamdulillah, Mah," ucap Dara kemudian memeluk Mamahnya erat.

"Kenapa, sayang?" Tanya Arumi heran dengan sikap anak sulungnya.

"Makasih, Mah. Dan ... maaf."

Arumi tersenyum simpul saat mendengar kata demi kata yang baru saja diucapkan Dara padanya. Arumi cukup mengerti dengan apa yang Dara rasakan saat ini.

Tak ada lagi kata yang dapat mereka ucapkan. Rasanya dengan memeluk satu sama lain pun sudah bisa menjelaskan perasaan keduanya. Karena memang sudah seharusnya begitulah hubungan antara ibu dan seorang anak.



🔜🔜🔜🔜🔜




Lavv,
Nun
22/10/2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top