01
✈️
Februari 2018
Aku mematut diriku mengenakan gaun berwarna broken white di depan sebuah cermin yang merefleksikan seluruh tubuhku. Memandangi diri seolah tak percaya dengan apa yang sedang terjadi saat ini.
Entah kenapa tiba-tiba rasa sakit dan kesedihan yang selama dua tahun yang telah lalu aku rasakan, masih sangat membekas.
Sementara lelaki yang aku cintai meregang nyawa karenaku, aku malah hidup tenang tanpa bekas luka yang tersisa di tubuhku.
Perasaan bersalah pun tak pernah hilang dimakan waktu. Tak peduli berapa lama, rasanya sulit untuk melupakan sang pemilik hati yang pernah tak sengaja tersakiti.
Tapi kini yang harus aku lakukan adalah berjalan maju menatap hari esok yang harus disongsong bersama orang-orang terkasih.
Terima kasih untuk segalanya Mah, Pah. Dara mohon do'a.
🛫🛫🛫
Author POV
Maret 2007
"Dara!" Panggil seseorang sambil berlari.
Yang dipanggil pun menoleh ke arah pemanggil.
"Bi? Ngapain lari-lari kaya dikejar debt kolektor aja?"
"Lo harus ikut gue sekarang juga kalo mau tau tadi si Chelsea ngapain!" Ucap Bianca dengan terburu-buru.
"Nggak, ah. Malesin aja." Dara menolak ajakan Bianca dan kembali berjalan menuju ruang kelasnya.
"Ihhh, lo harus ikut pokoknya!"
Tanpa berkata apa-apa lagi Bianca pun langsung menyeret paksa Dara menuju papan mading utama sekolah.
"Liat sendiri, Ra. Kelakukan si Chelsea, tuh, udah gak bisa ditolelir tau, gak? Udah keberapa kalinya ini?"
Ekspresi Dara seketika berubah saat melihat wajahnya terpampang di mading dengan highlight "SI PEMIMPI MEGANDARA MAU TERBANG?". Hanya satu kalimat, pendek memang, tapi itu cukup untuk menyulut emosinya, terlebih fotonya yang dipajang penuh dengan editan alay nan mengerikan.
Dara memang sudah terbiasa dengan apa yang diperbuat oleh Chelsea terhadapnya. Dara juga tahu persis apa alasan Chelsea berbuat seperti ini padanya. Untuk itulah, sekarang Dara tak bisa lagi membiarkan Chelsea berbuat seenaknya. Jika ini soal impiannya, tak ada pilihan lain.
Dara bergegas menuju ke kelasnya, karena entah kebetulan atau takdir, Dara selalu berada dalam kelas yang sama dengan Chelsea sejak kelas sepuluh.
Dara yakin saat ini Chelsea sedang bergosip bersama teman-temannya yang super duper menor itu di kelas.
Begitu juga Bianca, ia mengikuti langkah Dara menuju kelas. Sudah lama sebenarnya Bianca ingin melakukan ini bersama Dara, namun karena Dara yang terlalu polos dan pemaaf, membuatnya sulit sekali mengajak Dara untuk menyelesaikan semua masalah yang terjadi antara Dara dan Chelsea.
Ternyata perkiraan Dara tepat sekali. Chelsea dan gengnya sedang merumpi ria bak ibu-ibu rempong. Dandanan yang menor, pakaian yang ketat, hingga aksesoris yang ramainya lebih mirip gantungan hias pintu membuat mereka terlihat begitu mencolok.
Tanpa pikir panjang, Dara menghampiri Chelsea.
BRAK!
Seketika suasana rusuh berubah menjadi sunyi. Tak ada yang menyangka tangan kecil Dara bisa begitu kuat menggebrak meja seperti itu, mengakibatkan seluruh pasang mata di ruangan ini tertuju hanya padanya. Bahkan Bianca yang melihat pun dapat membayangkan perihnya tangan Dara hingga ia mengusap-usap telapak tangannya.
"L- lo nga- ngapain gebrak meja gue? Kaget, tau!" Teriak Chelsea masih di tempat duduknya.
Kali ini Dara benar-benar membuat Chelsea terkejut dan ketakutan.
"Harusnya gue yang tanya, lo apa-apaan nempel foto gue di mading?!" Ucap Dara tak kalah keras.
"Gue cuma mengungkap fakta, emang salah?" Chelsea balas berteriak.
"Lo emang gak salah, yang salah itu kelakuan lo! Lo pikir dengan lo lakuin itu ke gue, bisa bikin lo keliatan lebih baik dari gue, hah?! Emang lo kira Zero bakal balik ngejar lo setengah mati dengan kelakuan lo yang kaya gini? Nggak, kan? Yang ada dia malah jijik!"
"Lo-," geram Chelsea hendak menampar Dara, namun kalah cepat dengan gerakan menangkis Dara.
"Jangan pernah berani lo ganggu hidup gue lagi, apalagi secara langsung sentuh muka atau badan gue. Paham?!"
Dara pun menghempaskan tangan Chelsea dengan kasar. Tak peduli lagi dengan tatapan ngeri teman sekelasnya yang menyaksikan adegan menegangkan barusan.
"Ini terakhir kalinya gue ngebiarin lo. Lain kali gue gak akan tinggal diem," ucap Dara tegas kemudian pergi.
"Masih untung, ya. Dara mau berbaik hati sama lo," tukas Bianca lalu segera menyusul Dara keluar dari kelas.
Saat ini pandangan penghuni kelas beralih pada Chelsea yang wajahnya sudah memerah menahan tangis. Teman segengnya pun tak dapat melakukan apa-apa, mereka hanya mencoba menenangkan Chelsea.
"Ngapain kalian liat-liat? Pergi sana!" Bentak Chelsea membuat orang-orang bergegas kembali ke kesibukan mereka masing-masing.
Chelsea pun akhirnya hanya dapat menangis akibat ulahnya sendiri.
🛫🛫🛫
Sementara di bangku taman belakang sekolah, Dara merenung menatap langit yang tertutup awan putih. Ia ingin menangis, tapi tak mampu menangis. Ingin menjerit tapi rasanya ia masih punya malu karena ini masih di lingkungan sekolah. Yang bisa ia lakukan hanyalah terdiam dan mengingat lagi apa yang baru saja ia lakukan.
Dara pun memejamkan matanya.
Adegan barusan adalah yang pertama kalinya bagi Dara. Dan ia harap juga menjadi terakhir kalinya. Sebelum ini Dara tak pernah menggertak seseorang seperti itu. Biasanya Dara hanya membiarkan perbuatan orang yang usil padanya. Tapi kali ini rasanya perbuatan yang Chelsea lakukan sudah keterlaluan. Baginya orang lain tak berhak menertawakan mimpi seseorang. Apapun impian seseorang dan bagaimanapun keadaannya, bagi Dara tak ada yang tak mungkin selama orang itu bekerja keras dan selalu menyertakan Tuhan dalam langkahnya.
Terkadang, ketika seseorang yang memiliki impian sedang terpuruk, ia mampu bangkit lagi dengan sebuah asa akan mimpinya. Akan berbeda jadinya jika kemalangan menimpa seseorang yang tak memiliki mimpi sama sekali, akan sulit bagi orang itu untuk memulihkan kehidupannya. Karena itulah Dara tak pernah meremehkan seseorang yang bermimpi besar.
Lamunannya pun buyar seketika saat Bianca datang dengan tiba-tiba.
"Woy! Gak usah direnungi terus. Nih!" Bianca memberikan sebotol air mineral untuk Dara.
Itulah ciri khas Dara, tidak suka minuman yang berasa. Di manapun dan apapun makanannya minumnya, ya, air mineral.
"Thanks, Bi," ucap Dara.
"Lo gak usah menyesali apa yang lo lakuin barusan, Ra. Gue malah seneng dan bangga punya temen kaya lo, karena selama ini nggak ada orang yang berani nyadarin si Chelsea yang kelakuannya selalu semena-mena itu."
Ucapan Bianca terdengar seperti seorang orang tua yang sedang melihat nilai 'A' di rapor anaknya.
"Haha. Gue gak nyesel, cuma kepikiran doang, Bi."
"Gue tau lo takut nantinya dia ngadu sama bokapnya yang katanya tentara itu, kan? Dan akhirnya nyeret orang tua lo ke masalah ini juga."
Dara tak menanggapi, ia hanya terus memandangi langit.
"Udahlah, Ra, justru karena bokapnya prajurit dia pasti lebih tau kalo kelakuan anaknya yang salah, bukan lo."
"Omongan lo kadang ada benernya juga, Bi," Dara terkekeh.
"Wah, rese nih anak."
Sejenak mereka hanya terdiam menikmati keheningan.
"Balik ke kelas, yuk! Lama-lama di sini ntar kesambet lagi," ajak Bianca.
Dara mengangguk dan mereka pun kembali menuju ke kelas.
🛫🛫🛫
Kamar dengan nuansa biru langit ini sedang dipenuhi oleh atmosfer negatif yang baru saja dibawa penghuninya masuk. Dara baru saja kembali dari sekolah, dan wajahnya saat ini lebih mirip kemeja sekolah kusut yang tak disetrika.
Dara, ini Mamah angkat teleponnya~
Dara, ini Mamah angkat teleponnya~
Dara, ini Mamah angkat teleponnya~
Ringtone ponselnya berbunyi, Dara meraih ponsel yang masih ada di dalam tasnya dengan malasnya.
"Halo, Mah?"
"Hai, sayang! Kamu pasti udah sampe rumah, kan?"
"Hmm, ada apa, Mah?"
"Jangan lupa langsung mandi, sholat, makan, terus les. Nanti supir Mamah yang anterin kamu, oke?"
"Ya. Oke, Mah," ucap Dara lemas.
"Yang semangat dong, jangan loyo gitu!"
"Hmm."
"Ya, udah. Mamah tutup dulu, ya. Mau ada operasi lagi abis ini, bye, sayang!"
"Bye, Mah."
Dara melempar ponselnya sembarang. Hari ini ia benar-benar malas beranjak meninggalkan kekasihnya. Yup, Dara menganggap kasur empuknya adalah pacarnya. Hal itupun akhirnya terkadang membuat Arumi- Mamahnya Dara, khawatir dengan kondisi psikologi anak perempuannya ini.
Satu-satunya hal yang selalu membuat Dara kembali bersemangat setelah melewati fase seperti sekarang ini adalah orang tuanya. Usaha dan dukungan orang tua terhadapnya lah yang memberi Dara kekuatan untuk teguh menggapai impiannya.
Dan inilah saatnya Dara melakukan semedinya. Dara mengambil posisi duduk sila di karpetnya, lalu menutup kedua matanya. Yang ia bayangkan dalam pikirannya hanyalah wajah lelah kedua orang tuanya. Untuk beberapa menit Dara melakukan hal itu berulang kali hingga ia merasa kembali tenang. Setelahnya Dara berbaring dan menatap langit-langit kamarnya yang didekorasi mirip pemandangan langit aslinya. Kedua aktivitas itu: beryoga sederhana; dan menatap langit, adalah kegiatan favorit yang selalu Dara lakukan saat ia merasa lelah. Seolah terapi yang dapat meringankan beban yang ada di pundaknya.
Diberi kepercayaan ternyata sama seperti disuruh angkat barbel, keluh batinnya.
🛫🛫🛫
"Mbak ..."
Dara memanggil Ani yang merupakan seorang asisten rumah tangga di rumahnya sambil menuruni tangga.
"Mbak Ani di mana?"
Dara pun membuka lemari makanan di dapur dan mengeluarkan beberapa di antaranya.
"Iya, Teh, mau berangkat sekarang?"
"Iya, Mbak, Pak Supir udah siap?" Tanya Dara sambil berjalan menuju keluar.
"Udah, hari ini pulang jam berapa, Teh?"
"Jam delapanan kayanya, Mbak. Kalo telat bilang ke Mamah aku ke rumah Bianca, ya," ujar Dara.
"Siap, Teh!"
"Bagus, kalo gitu aku berangkat dulu."
Dara menjinjing sepatunya, lalu sesaat kemudian menempelkan benda pipih berbentuk kotak panjang pada telinganya menggunakan bahunya sebagai pengapit.
"Iya, Bi? Oke, bilang ke temen kelas gue, gue agak telat. Oke, oke," Ucap Dara pada seseorang di seberang telepon, kemudian masuk ke dalam mobil.
Itulah kebiasaan Dara yang cukup sulit dihilangkan, hingga tak jarang ia dimarahi karena menjatuhkan ponsel atau bahkan tak sengaja menjatuhkan dirinya sendiri saat hendak pergi.
🛫🛫🛫
"Dara! Sebelah sini," ujar Bianca saat melihat Dara baru saja keluar dari kelasnya.
"Sorry, Bi, agak telat, hehe," ucap Dara saat sudah di hadapan Bianca.
"Udah biasa, kok," Bianca pun terkekeh.
Bianca memang sudah biasa menunggu Dara di tempat les. Mereka memang mengambil les di tempat yang sama, tapi mereka mengambil kelas yang berbeda. Dara mengambil bidang saintek sementara Bianca bidang soshum. Sehingga tak jarang mereka bergantian menunggu karena jadwal kepulangan mereka yang berbeda.
"Makan dulu, yuk! Gue laper." Bianca melakukan gerakan mengelus-elus perutnya seolah ia tak makan selama berminggu-minggu.
"Haha, I can see it."
Hingga saat Dara dan Bianca berjalan, seseorang menghampiri mereka.
"Hai, Ra," sapa lelaki tampan dengan perawakan yang tinggi nan putih di depannya ini.
"Hai, Ro," sahut Bianca yang langsung kena pelototan Dara.
"Ada apa?" Tanya Dara sambil melemparkan senyumannya.
"Besok pertandingan final basket, Ra. Lo dateng, ya?" Ucap Zero sambil memberikan tiket masuk lapangan indoor pertandingan basket.
Dara menerima tiketnya dan mengangguk pelan.
"Gue usahain, ya," ujarnya.
"Kok gue gak dikasih, Ro? Lo mah pilih kasih, nih," protes Bianca dan kembali mendapat pelototan dari Dara.
"Ng- nggak usah dia, mah." Dara mencubit pelan lengan Bianca dan memberi kode mengajak Bianca untuk segera pergi.
"Oh, iya. Sorry, Bi. Lo bisa ambil di Titan. Dia tadi bawa banyak. Gue cuma sempet ambil satu tadi."
"Nggak apa-apa, nanti dia bisa beli sendiri, kok," ucap Dara dengan wajah yang semakin memerah menahan malu.
"Bilang aja lo emang inget Dara doang. Modus lo," Bianca pun terkekeh pelan.
Zero yang merasa digoda Bianca pun hanya bisa tersenyum malu, mengusap tengkuknya sambil menatap Dara yang sekarang sama malunya dengan Zero.
"Oke, terserah kalian, mau beli atau ambil di Titan, gampang tinggal bilang titipan gue aja, Ra. Kalo gitu gue cabut duluan, ya. Gue harap lo bisa dateng, Ra," pamit Zero pada Dara dan Bianca.
"Thank you, ya."
Setelah berterima kasih dan memastikan langkah Zero sudah lumayan jauh, Dara pun langsung menyeret Bianca berjalan ke arah kafe tempat biasa mereka makan sepulang les.
"Ra, sakit, ih. Pelan-pelan," keluh Bianca saat tangannya ditarik Dara.
"Dara, ih!"
Namun Dara tak menggubris perkataan Bianca, ia hanya terus berjalan sembari menarik Bianca.
Hingga mereka sampai di kafe, lalu Dara mendudukkan Bianca pada kursi di depannya. Dara pun menatap Bianca dengan lekat.
"Ra, lo bukan lesbi, kan?"
Pertanyaan Bianca seketika membuat Dara bergidik ngeri kemudian mengalihkan pandangannya dari Bianca dan memilih memanggil pelayan untuk memesan makanan.
"Jangan marah dong, Ra."
"Aku mau mie goreng pake telor mata sapi yang setengah mateng, minumnya air mineral aja, Mbak." Lalu Dara menyerahkan buku menunya pada Bianca.
Bianca pun hanya menatap sebal temannya ini.
"Aku sama kaya dia, Mbak," ucap Bianca dengan ketus. Ucapannya tak elak membuat pelayan tersebut tak sempat mengulang pesanan mereka karena keburu ciut melihat Bianca.
"Lo beneran marah?"
Dara hanya fokus melihat penampilan band akustik yang sedang tampil di panggung kecil di tengah ruangan kafe ini.
"Ra, gue minta maaf bercandanya udah keterlaluan," rajuk Bianca seperti anak kecil.
Namun tak ada jawaban lagi.
"Ra ..."
Dengan wajah datarnya Dara menatap Bianca.
"Jangan marah, please ..."
"Kalo lo marah, cantiknya nambah, loh!" Imbuh Bianca dengan puppy eyes-nya.
Dara langsung memalingkan mukanya dan berusaha menahan tawa hingga wajahnya kembali memerah.
"Ya, udah, gue marahnya lamain aja deh biar nambah cantik," ujar Dara sambil terkekeh.
Yang tadinya wajah Bianca lucu bak anak balita, kini wajahnya berubah lebih mirip penonton bayaran sebuah acara televisi yang sedang tertawa.
"Hahaha! Lo, tuh, ya. Emang bikin kaget aja, deh."
"Abisnya, Bi, lo kalo bikin gue malu suka gak nanggung," Dara berkata yang sebenarnya
Dikarenakan ini bukan kali pertama Bianca bersikap konyol seperti tadi di depan Zero.
"Tapi asli deh, Ra. Gue yakin bentar lagi lo bakalan jadian, tuh, sama si Zero. Dia udah kode abis-abisan sama lo."
"Nggak mungkin lah, Bi. Lo tau sendiri, kan, dua orang sangar yang bakal nentang hubungan gue sama Zero?"
Dara menggeleng-gelengkan kepalanya menandakan mustahilnya ia dating dengan Zero.
"Maksud lo nyokap lo sama si cewe rese Chelsea?"
"Nah, lo tau, Bi," Dara terkekeh.
"Di mata Tuhan, nggak ada yang nggak mungkin, Ra," ujar Bianca sok bijak yang hanya ditanggapi Dara dengan tawanya.
"Beneran, harusnya lo bisa meyakini itu sama halnya kaya lo meyakini Tuhan pasti bisa ngebuat lo jadi pilot, while you're social student dengan tinggi yang nggak seberapa ini, Ra," terang Bianca yang diakhiri dengan tawa lepasnya.
Sedangkan Dara hanya geleng-geleng kepala dan membiarkan Bianca berbicara sepuasnya, yang sudah tentu, selalu bias, antara memuji dan mengejek.
🔜🔜🔜🔜🔜
Lavv,
Nun
13/10/2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top