(9)

Dan malam ini,
keteradaan berhasil
membuatnya lupa sejenak
pada kehilangan.
Tidak tau besok bagaimana.

-Ur

MESKI pikiran Langit sedang bercabang soal kehadiran Biru di UKS pada jam istirahat tadi, dia masih tetap mengajak Venus makan sepulang sekolah. Cowok itu memarkirkan kendaraannya di depan restoran cepat saji yang mereka lewati. Venus menoleh saat Langit membukakan pintu untuk gadis itu. Ia tau pacarnya masih marah.

"Masih marah soal kejadian tadi?"

"Aku nggak marah sama kamu kok, kamu nggak salah."

Venus tersenyum lalu menerima genggaman tangan Langit sebelum berjalan bersisian masuk ke tempat itu. Setelah memesan makanan, keduanya duduk berhadapan dan mulai makan tanpa pembicaraan apapun.

"Maafin aku ya, Kak."

Langit terdiam sebentar, "Bukan salah kamu Ven, emang itu resikonya pacaran sama cewek cantik."

"Seandainya aku nggak jatuh kan nggak mungkin Biru kesana."

"Emang bisa direncanain begitu? aku suka kamu juga nggak tau gimana awalnya."

Venus mengangguk dan kembali menggigit burger ditangannya. Ia sesekali melirik Langit yang berkali-kali mengecek ponselnya yang bergetar karena notif.

"Venus, habis ini kita pulang aja ya. Aku ada urusan mendadak, nggak papa kan?"

Venus menggeleng, "Nggak papa, lagian aku juga lagi banyak tugas hari ini."

Ponsel Langit berdering lagi, cowok itu segera mengangkat panggilan dan wajahnya berubah cemas. Membuat Venus merasa tidak enak dan segera menyudahi makannya. Takut Langit tidak punya waktu untuk lebih lama menunggu. Aduh, tapi masih banyak.

"Gini aja Kak, kamu pulang duluan aja nggak papa, nanti aku biar diminta jemput Bunda, atau kalau nggak nyari taksi di depan." ucap Venus setelah Langit meletakkan ponselnya kembali ke atas meja.

Langit menatap Venus dengan pandangan menolak, "Nggak mau, kamu tadi berangkat sama aku, pulang juga sama aku dong."

"Aku nanti mau ke toko buku dulu soalnya. Kakak duluan aja deh."

"Ya udah, nggak papa beneran? maafin aku ya, Ven." ucap Langit akhirnya bangkit dan mengacak pelan rambut Venus.

"Kamu hati-hati, Kak."

"Nanti sampai rumah kabarin aku ya. Jangan pulang sore-sore."

Venus mengangguk dan kembali melanjutkan makannya. Langit terlihat sudah masuk ke dalam mobil dan pergi dari parkiran. Venus membuka ponselnya, ada notif dari cowok itu beberapa detik setelah dia keluar dari restoran yang mereka tempati. Ralat, yang masih Venus tempati sampai sekarang.

Jaga keseimbangan, Venus. Aku sayang kamu.

"Perasaan gini mulu, kenapa sih Kak Langit?" gumam Venus sebelum mengedikkan bahu dan segera pergi dari tempat itu setelah makanannya sudah habis.

Gadis itu menyetop angkot yang kebetulan saja lewat. Di dalam sana hanya tersisa dia dan seorang perempuan dengan keranjang tenteng berisikan sayur dan beberapa kantung plastik, entah itu apa. Tentunya, juga ada supir dengan handuk kecil yang tersampir sedang duduk di kursi kemudi.

Angkot yang dinaiki Venus berhenti. Ada beberapa orang yang masuk, salah satunya Biru. Gadis itu mengernyit saat Biru duduk di sebelahnya sambil melepas jaket. Membuat kemeja sekolah berlengan panjang itu terlihat seluruhnya.

"Biru kok naik angkot? bukannya bawa motor?"

"Motor gue dibawa Alan."

"Terus Biru mau kemana?"

"Mau nganter lo."

Venus semakin bingung, "Lah, kan Venus nggak minta dianter pulang sama Biru."

"Tapi kan gue pengen."

Setelah akhirnya memutuskan saling diam, Biru menoleh menatap Venus, membuat gadis itu ikut menoleh. Astaga, kenapa mata hitam dengan semburat biru itu selalu membuat Venus tertegun.

"Tadi ditinggal sama Langit?"

Venus mengangguk, "Dia lagi ada urusan. Kok Biru tau?"

"Soalnya gue tau lo pulang sama dia, tapi lo malah ada disini sekarang."

Venus hanya tersenyum dan segera mengalihkan pandangan. Ia ingin pergi ke toko buku untuk mencari sketchbook, tapi tiba-tiba malas jika harus sendirian. Awalnya dia ingin mengajak Langit, mencoba sekalian mengenal lebih baik apa saja yang disukai cowok itu. Apakah dia suka novel, komik, pelajaran, atau entah apa. Tapi, mungkin memang belum waktunya.

"Venus,"

"Iya?" tanya gadis itu sambil menatap Biru yang sedang mencari sesuatu di dalam tasnya.

"Biru nyari apa?"

"Nih," Biru menyerahkan selebaran dengan angka diskon 50% yang begitu besar di pojok kanan atas.

"Apa ini?"

"Diskon toko buku."

"Oh ya? kok Biru bisa dapat?"

"Tadi di depan gerbang sekolah ada yang ngasih selebaran."

Venus menatap selebaran itu dengan mata berbinar saat melihat ketentuan bahwa diskon berlaku untuk semua jenis buku. Jadi, dia bisa membeli sketchbook dan novel horor sekaligus.

"Mau gue anter?"

"Biru mau?" tanya Venus membuat Biru mengangguk. Dan setelah itu keduanya pun memutuskan meluncur ke toko buku yang sesuai dengan selebaran tadi.

Venus berjalan mendahului Biru, menghilang di rak-rak yang letaknya jauh dengan rak tujuan Biru. Cowok itu membaca beberapa sinopsis buku bergenre favoritnya. Ada dua buku karya Risa Saraswati yang belum masuk ke dalam rak buku di kamarnya, dan sepertinya ia harus melengkapi itu malam ini.

"Biru juga suka horor?"

"Gue koleksi banyak di rumah."

Venus mulai tertarik, "Oh ya? gue mau dong, Venus pinjem ya."

"Nggak boleh, nanti rusak." jawab Biru sekenanya.

"Venus janji deh nggak bakal macem-macem sama bukunya Biru." bujuk gadis itu sambil berjalan mengikuti Biru menuju kasir. Dia tidak jadi beli buku genre horror, karena katanya Biru punya banyak.

"Biru, gue pinjem ya."

"Nggak," jawab Biru sambil membuka pintu toko buku itu.

"Masa sama temen sendiri gitu!"

Biru menoleh, "Iya iya, nanti Biru bawain."

Venus tersenyum senang, membuat Biru terdiam beberapa saat.

"Jangan senyum kayak gitu."

"Kenapa? Venus cantik kan kalau lagi senyum?" tanya Venus percaya diri.

"Siapa yang bilang gitu?"

"Banyak kok, Langit juga bilang."

Biru memasang tampang mengejeknya, "Minus 5 kali mereka semua."

"Ih!"

"Makanya nggak usah senyum."

Venus mencebikkan bibirnya kesal dan segera menyetop taksi yang terlihat tidak jauh dari tempat mereka berdiri sekarang.

***

Taksi berhenti di depan rumah Venus, Biru pun juga ikut turun disana. Jam kala itu masih menunjukkan pukul 5 sore, dan Bundanya dipastikan belum pulang. Mungkin masih sibuk di butiknya. Karena biasanya, beliau baru pulang sekitar jam tujuh atau delapan malam.

"Gue nunggu Alan disini dulu ya." Venus mengangguk dan mengajak Biru masuk ke ruang tamu.

Gadis itu meletakkan barangnya di kamar, dan segera keluar setelah mengganti baju. Venus menenteng sesuatu sambil menuruni tangga, membuat Biru mengamati pergerakan gadis itu.

"Biru bisa fotografi nggak? ajarin Venus dong. Kemarin gue minta bantuin Langit, dia bilang nggak bisa pegang begituan."

Biru menerima kamera bewarna putih yang disodorkan Venus, membuat gadis itu buru-buru duduk di sampingnya. Memperhatikan Biru yang saat ini sibuk mengotak atik Si Putih miliknya.

"Gue bisa dikit-dikit, kita coba aja dulu, yuk." Biru bangkit dan menarik tangan Venus keluar rumah.

Venus mengangguk, gadis itu melangkah keluar mengikuti Biru. Senja sudah datang, membuat Biru melihatnya sekilas sebelum kembali berkutat dengan kamera. Ia menoleh ke arah pintu garasi rumah Venus. Menatap bayangan gadis itu yang sedang berdiri membelakanginya.

"Tahan dulu, Ven."

Ckrekk

"Udah? mana coba lihat." Venus bergerak mendekati Biru untuk melihat hasil foto di kameranya, dan entah kenapa Venus mencintai hasil foto itu.

"Bagusss, Biru ajarin Venus dong."

"Minggu besok gue ajarin."

"Beneran ya?" tanya Venus membuat Biru mengangguk dan menyerahkan kamera kepada pemiliknya.

Tinnn tinn

"Selamat senja masyarakat," Alan  melambaikan tangan kepada mereka berdua. "Pangeran sudah siap pulang? Ah iya, gara-gara lo nih Ru, gue nggak jadi nyolong rambutan tetangganya Radit."

"Ya tinggal beli."

"Nggak seru, nggak kerasa nikmatnya ntar."

"Terserah," Biru menoleh pada Venus yang terkekeh. "Gue pulang, Ven."

"Iya, Biru hati-hati." Venus melambaikan tangan saat cowok itu sudah bergerak mendekati gerbang.

"Bang Alan nggak di kasih hati-hati nih?"

Biru menoleh lagi, "Jangan mau ngasih dia hati, kasih otak aja, dia bego soalnya."

Venus hanya tertawa sambil berdiri di belakang gerbang rumahnya.

"Aduh, bangsul sekali temanku satu ini. Ya udah bidadari, Alan pulang dulu ya." pamit Alan membuat Venus mengangguk ramah.

"Biru jangan lupa janjinya, makasih lagi ya."

"Iya." Dan setelah itu, Biru menggerakkan motornya menjauhi rumah Venus, tentunya bersama Alan di kursi penumpang.

Alan yang duduk di kursi penumpang mengetuk bahu Biru membuat cowok itu menoleh sekilas. Ia menyuruh Biru menghentikan motornya, akhirnya kendaraan itu pun menepi di dekat trotoar depan kedai kopi yang biasa mereka gunakan untuk nongkrong.

"Lo mau beli kopi?"

"Eh bukan gitu Biri-biri, lihat tuh."

Biru menoleh ke arah tempat yang ditunjuk Alan, di kedai kopi itu, tepat di sebelah miniatur mesin ketik, Biru melihat seseorang yang mereka kenal. Ia sedang bersama orang lain disana, membuat Biru dan Alan saling pandang sebentar sebelum akhirnya melihat lagi ke objek semula.

"Eh, mau kemana Ru?"

"Pulang."

"Pulangin aku dulu di rumah orang tua neng bwang."

"Lo diem apa gue turunin sini?"

Alan cekikikan sendiri, "Iya Rangga, Cinta diam nih."

---

Venus kembali mengecek ponselnya, ia sudah mengirim pesan kepada Langit beberapa menit lalu, tapi belum juga dibalas, dibaca saja belum. Akhirnya, ia mulai kembali berkutat dengan buku pelajaran, besok ada ulangan dan dia harus berusaha mendapat nilai bagus untuk mempertahankan peringkat.

Tempat tidurnya sudah berubah menjadi tempat belajar. Buku berserakan disana-sini, dengan speaker yang menyala dan mengalunkan lagu membuat kegiatan Venus semakin tidak bisa diganggu oleh siapapun. Semenit kemudian, pintu kamarnya dibuka secara langsung oleh seseorang, membuat Venus spontan menoleh.

"Venussssss!!!!!!!"

"Kalian ngapain kesini?" tanya Venus saat Manda dan Elena berjalan masuk dan segera duduk di karpet lembut yang ada di kamar gadis itu.

"Mau belajar bareng."

"Bener tuh, lagian gue bosen di rumah terus Ven, sendirian mulu." sahut Manda sambil bergerak mengeluarkan buku-bukunya.

Venus tetap tidak beranjak dari posisinya, ini tempat terbaik. Dia melirik ponselnya yang berkedip, nama Biru tertera disana. Tanpa sadar, gadis itu segera menggeser tombol hijau dan mengubah posisinya menjadi duduk.

"Halo?"

"Lagi di rumah?" tanya Biru membuat Venus mengangguk.

"Iya, kenapa emang?"

"Gue dibawah."

Venus terkesiap dan segera keluar dari kamar tanpa mematikan sambungan telefonnya. Membuat Manda dan Elena saling tatap, Langit kesini kali ya?

"Venus, ada Biru tuh." ucap bundanya saat Venus baru saja menginjak anak tangga terakhir.

Gadis itu mengangguk dan berjalan ke ruang tamu, disana sudah ada Biru yang sibuk memainkan ponsel. Saat langkahnya mendekat, barulah cowok itu mendongak dan memasukkan ponselnya ke saku jaket.

"Mau ngapain?"

"Nih," Biru menyodorkan dua buku ke arah Venus. "Gue anter sekalian, mumpung gue keluar."

Venus mengangguk senang dan menerima buku itu. "Gue kira Biru beneran nggak bakal mau minjemin."

"Jangan sampek lecet!"

Venus mengangguk patuh.

"Bacanya setelah lo belajar."

"Ih! Biru tuh seharusnya belajar, bukannya nongkrong terus."

Biru mengedikkan bahunya acuh dan segera bangkit. Ia menoleh pada Venus yang masih membolak balikkan buku miliknya.

"Jangan lihatin bukunya terus, lihat tuh orang yang punya bukunya."

"Ih, ngapain Venus lihatin Biru, kurang kerjaan banget." ucap Venus terkekeh pelan.

"Belajar yang bener, biar besok nggak nyontek."

"Venus nggak pernah nyontek!"

"Oh ya, kalau lo lagi sedih, gue ada. Hubungin aja sebutuh lo."

Biru tersenyum tipis. "Gue cabut."

Venus mengangguk dan mengikuti Biru berjalan keluar rumah. Gadis itu memperhatikan Biru yang sedang mengenakan helm dan menyalakan mesin motor.

"Biru cari cewek dong, kasian boncengannya kosong terus." ucap Venus dan langsung tertawa ketika melihat Biru melotot melalui helm full facenya.

"Kan nungguin lo putus."

"Eh?"

"Bercanda, masuk sana, gue pergi." ucapnya dan segera melenggang pergi meninggalkan rumah Venus.

Saat telah sampai di kamar, kedua gadis yang sedang sibuk membolak balikkan buku itu menoleh ke arah Venus. Gadis itu berjalan dan kembali duduk di atas kasur. Membuat Manda akhirnya membuka suara.

"Langit kesini, Ven?"

"Bukan, tapi Biru." jawabnya tenang namun tidak mendapat respon yang tenang dari si penanya.

"Apa?!! Gimana bisa!"

"Kita kan temenan sekarang."

"Udah Ven, lo sama Biru aja, jangan sama Langit, putusin aja kenapa sih."
ucap Elena mendapat pelototan tajam dari Manda.

"Enak aja, gue nggak setuju kalau Venus sama Biru." Manda menoleh ke arah Venus. "Pokoknya sedekat apapun kalian sebagai temen, jangan pernah suka sama Biru, bahaya Ven. Lo nggak tau kan gimana dia bisa baperin orang tanpa mau tanggung jawab."

"Gue lihatnya nggak gitu tuh. Cewek diluar sana aja yang kebaperan." saut Elena tidak terima.

Venus tersenyum pada mereka berdua, "Udah deh, kita tuh temen. Untung kan kalau gue temenan sama Biru. Lo bisa deket sama Radit Radit itu."

Dan perkataan itu berhasil membuat Manda terdiam dengan bibir mengerucut. Venus melirik ponselnya, belum ada balasan dari Langit, tapi sudah ada pesan dari Biru.

Biru
Lo belum bilang makasih.

Venus tersenyum, benar juga, kenapa dia jadi tertular virus arogannya Biru.

Venus
Makasih, Biru.
Lo temen baru gue yang paling baik.

Biru
Tidak terima pujian.

Biru,
Ada surat lagi dari seseorang.
Katanya,
Terimakasih telah mengalihkan keadaan untuk hari ini.

Oh ya,
Dia juga bilang.
Baru sekarang,
Sketchbook, foto, dan novel horror bisa semenyenangkan ini.










Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top