(6)
Jangan lupa jaga keseimbangan
Biar tidak jatuh.
Karena, kalau jatuh aku tidak bisa mengobati.
Aku bukan dokter.
-Ur
GADIS itu menutup buku tugasnya sambil menghembuskan nafas lega. Ia meregangkan otot lalu bergerak mengambil air minum di samping meja belajarnya. Hari ini tugasnya memang tidak sebanyak hari biasa, hanya saja tugas Bahasa Indonesia selalu mampu membuat tangan terasa pegal.
Tangannya bergerak mengambil ponsel, mengecek notif yang salah satunya berasal dari Langit. Gadis itu tersenyum, meletakkan gelas lalu menggerakkan jarinya diatas layar pipih untuk membalas pesan singkat tersebut. Karena tiba-tiba merasa lapar, ia turun ke dapur dan mengecek persediaan makanan di dalam kulkas. Gadis itu menggaruk tengkuknya yang tidal gatal, terlalu malas untuk memasak di jam seperti ini.
"Ke tukang nasi goreng depan aja kali ya."
Setelah mengambil ponsel dan selembar uang lima puluh ribuan, gadis itu menyambar jaket dan keluar dari rumah. Bundanya sedang ada acara malam ini, tadi beliau sudah berpamitan pada Venus akan pulang lumayan larut. Jadi terpaksa gadis itu harus berjalan kaki sendiri untuk mencari makan di luar perumahan.
"Pak nasi goreng satu," Venus menoleh saat orang di sebelahnya mengatakan hal yang sama secara bersamaan pula.
Gadis itu mengernyit, membuat seseorang di sebelahnya ikut menoleh dan terdiam beberapa saat. Cowok itu Biru, dengan baju putih dan jaket hitam yang biasanya ia bawa ke sekolah. Venus tersenyum menyapa, namun hanya dibalas anggukan singkat yang bahkan sama sekali tidak terlihat seperti mengangguk.
Dia, lagi.
"Minumnya apa?"
"Es teh," dan pesanan itu sama lagi.
Venus terkekeh, membuat Biru yang gantian memandang gadis itu heran. Ia menunjuk satu-satunya meja yang kosong disana, membuat mereka mau tidak mau harus makan semeja malam ini. Venus juga tidak keberatan, gadis itu duduk berhadapan dengan Biru yang masih sibuk bersama ponselnya.
"Suka makan disini juga?"
Biru mengangguk, "Ini langganan nyokap."
Dan setelah itu keduanya tidak ada yang memulai pembicaraan. Biru sibuk dengan game di ponselnya, sedangkan Venus asik mengaduk es di dalam gelas yang baru saja diantar oleh istri si penjual nasi goreng. Gadis itu melirik ponsel Biru yang barusan dimatikan, padahal Venus tau bahwa game yang ia mainkan belum selesai.
"Udah menang, Ru?" Biru menggeleng sebagai jawaban.
"Kok dimatiin?"
"Biar lo nggak ngerasa sendiri," Biru meminum es tehnya sedikit. "Nama lo siapa? gue lupa."
"Venus." jawab gadis itu sambil tersenyum ramah.
"Pacarnya Langit?" tanya Biru lagi membuat Venus mengangguk.
"Kok lo tau?"
"Denger dari Arya."
Makanan pun datang, keduanya sibuk berkutat dengan nasi goreng masing-masing. Biru yang menyadari ada sesuatu yang mengganjal di sudut bibir Venus bergerak mengambil kotak tisu. Cowok itu menggesernya tepat di hadapan Venus. Saat gadis itu mendongak, ia menunjuk mulutnya sendiri bermaksud memberi isyarat. Dan Venus sepertinya paham.
"Ru,"
Biru mendongak dan mengernyit heran saat Venus justru tertawa, "Nih, lo kayaknya juga butuh."
Biru terdiam, dia mulai paham arah pembicaraan gadis itu. Diraihnya tisu yang diserahkan Venus untuk membersihkan sudut bibirnya sendiri. Setelah mereka selesai makan, keduanya bangkit dan membayar makanan masing-masing sebelum pergi dari sana.
"Jalan kaki?" tanya Biru membuat Venus mengangguk.
"Lo hati-hati pulangnya." Biru mengangguk saat gadis itu mulai berjalan masuk ke perumahan dan berhenti saat matanya menangkap segerombolan cowok yang sepertinya sedang main di salah rumah yang ada disana.
"Lo takut?"
Venus menoleh ke arah Biru. Walaupun sedikit ragu, gadis itu akhirnya menjawab. "Berani."
Biru menyalakan mesin motornya dan segera memakai helm. "Naik."
"Eh nggak usah, biasanya juga jalan sendiri."
Biru menghela nafas lelah, kebiasaan cewek kalau ditawarin sok sok an nolak. "Ya udah lo jalan, gue ikutin."
Akhirnya seperti itulah mereka sekarang. Venus berjalan dengan Biru yang menaiki motornya secara perlahan di samping gadis itu. Tidak banyak obrolan yang mengiringi mereka, Venus hanya sesekali menanyakan sesuatu yang membuat Biru mengangguk atau menggeleng. Karena tidak tau harus mengatakan apa lagi, Venus akhirnya hanya diam sampai mereka sampai di depan rumah gadis itu.
"Ngapain tadi gue takut ya? perasaan mereka aman-aman aja."
"Lo aman juga karena ada gue."
"Iya, makasih lagi Biru."
"Jaga diri jadi cewek," Biru menatap Venus sekilas. "Lain kali kalau mau keluar malem jangan sendirian. Banyak berita penculikan di TV. Kalau bisa suruh tuh pacar lo buat nganterin."
Venus melongo heran, "Rumah dia ujung sana, masak iya gue suruh kesini cuma nganterin gue beli nasi goreng?"
"Ya kalau sayang harusnya dia ngerti, bensin dia itu nggak seberapa dibanding kehilangan pacarnya."
Venus terdiam, lalu tersenyum tipis saat Biru pamit pulang. Cowok itu segera menyalakan mesin motornya dan berlalu meninggalkan rumah Venus. Gadis itu melirik jam di ponselnya, tepat pukul sepuluh malam. Pantas saja perumahan sudah sangat sepi hari ini. Venus buru-buru masuk ke dalam rumah dan memilih duduk di depan televisi sambil memainkan ponsel. Mungkin Langit sudah mengirim beberapa pesan untuk gadis itu.
Kak Langit
Jadi buat makan?
Ven?
Lagi makan ya?
Aku tidur dulu ya, capek banget.
Kamu jangan tidur kemaleman
Gd night ❤
Night kak :)
***
Pagi ini seperti biasa, Venus turun dari lantai atas saat Bundanya sudah berteriak memanggil gadis itu. Ia menoleh ke arah ruang tamu, dimana Langit seperti biasa sudah siap disana menunggu Venus. Gadis itu memanggil Langit, menyuruh cowok itu ikut sarapan bersama Bundanya. Dan Langit memang selalu tidak bisa menolak Venus.
"Gimana sekolahmu, Lang?"
"Baik Bunda, ini mulai banyak tambahan pelajaran, jadwalnya makin padat." Langit terkekeh pelan, disusul Bunda.
"Namanya juga udah mau lulus."
"Hari ini ada bimbel kan kak?" tanya Venus membuat Langit mengangguk.
"Tapi tenang aja, nanti aku pulang sekolah nganter kamu pulang dulu. Bimbelnya juga 30 menit setelah itu."
"Venus biar Bunda aja yang jemput, Lang. Kasian kamu, biar fokus aja sama pelajaran."
Langit buru-buru menggeleng, tidak mungkin ia membiarkan wanita itu repot-repot menjemput gadisnya. "Nggak papa kok Bun, lagian ini juga tugas Langit."
Bunda tersenyum, begitu juga Venus. Setelah mereka selesai makan, keduanya segera pamit kepada Bunda untuk berangkat. Ini masih lumayan pagi, jadi jalanan tidak semacet biasanya. Venus yang sibuk memandang keluar jendela menoleh saat Langit memanggil namanya.
"Tolong lihatin tas di belakang dong, tadi mama bawain itu, siapa tau bekal."
Venus mengangguk dan segera mengambil tas kecil di jok belakang, "Bukan deh, Kak. Kok tasnya kecil banget, enteng lagi."
"Isinya apa, Ven?"
Gadis itu mengambil dua lembar kertas panjang dari dalam sana dan membaca perlahan tulisan itu. Mata gadis itu berbinar dan spontan menoleh ke arah Langit yang saat ini masih memasang tampang sok polosnya.
"Apa?"
"Apa apa! ini apa?"
"Lah, kok kamu malah nanya aku, kan aku tadi tanya kamu, Ven."
"Kak!!!"
Langit tertawa keras, "Iya iya, mau nonton film bareng lagi?"
Venus mengangguk senang menerima tawaran itu. Ini adalah film favoritnya, mana berani dia menolak hal yang jika dibayangkan saja sudah sangat menyenangkan? dan hal itu ternyata mampu membuat Venus dalam keadaan mood baik sepanjang perjalanan, bahkan sampai sekolah sekalipun.
"Seneng banget, Neng?" tanya Langit saat mereka baru saja turun dari mobil.
"Abis film ini tuh bagus banget! Kakak kok tau kalau aku suka ini?"
"Tau lah, aku tau semua hal tentang kamu."
"Oh ya?" Venus mulai tertarik, "Apa aja?"
"Semuanya, termasuk kamu yang sering ingusan waktu lihat drama Korea. Lagian kenapa suka banget sih sama orang putih putih itu, udah punya pacar ganteng juga."
"Kak Langit!!!!"
Langit kembali tertawa, membuat Venus semakin menggerutu kesal, tapi gadis itu tak urung juga ikut tertawa. "Nyebelin banget sih, aku mau sama kamu juga karena kasian, masak ganteng tapi jomblo terus!"
"Oh, jadi nggak karena sayang nih?"
Venus menggeleng tegas, berusaha memasang wajah sedatar mungkin.
"Kalau kayak gini, juga nggak sayang?"
Gadis itu terdiam saat tiba-tiba Langit mendekatkan wajahnya ke arah wajah Venus. Matanya menelisik manik coklat di hadapannya, berusaha menyalurkan perasaan hingga senyum itu terbit. Membuat jantung Venus dalam keadaan tidak sehat sepagi ini.
"A..apaan sih, Kak."
Langit menjauh, "Nggak usah blushing dong. Mau aku gigit pipinya?"
"Udah ah, aku ke kelas."
Setelah mengucap kalimat itu, Venus segera berjalan ke kelasnya dengan senyum ditahan. Gadis itu buru-buru melangkahkan kaki sebelum Langit berhasil berdiri sejajar lagi di sampingnya. Namun..
"Sayang!!"
Venus terdiam di tempatnya.
"Venus sayang!! Lihat sini dulu!"
Dan sukses, gadis itu akhirnya menoleh dengan muka semerah tomat. Bagaimana bisa Langit memanggilnya begitu di hadapan banyak orang? mana koridor lumayan ramai.
"Jangan lupa jaga keseimbangan!"
---
"Psstt psttt, Len! bantuin gue dong." Manda berbisik pelan sambil mengetuk pundak Elena dari belakang.
Gadis itu berdecak kesal saat Elena tak kunjung berbalik. Mau minta bantuan Venus, gadis itu dapat bangku paling depan. Alhasil satu-satunya kemungkinan adalah minta bantuan Elena. Melihat seseorang di sebelahnya, Manda memutar bola mata malas. Kesalahan besar kalau tanya Arya!
"Len?"
"Apa sih!"
"Nomor 5!"
Elena memandang guru di depan sana, memastikan keadaan aman. Gadis itu berlagak seolah sedang menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Padahal di belakang sana, jarinya membentuk tanda peace, tanda bahwa jawaban nomor itu adalah B.
"Eh, beneran? kok gue tadi mikirnya A ya."
"Mati aja lo sono!"
"Lo nanya apa ngasih tebakan?" Itu Arya, dengan muka mengantuknya.
Manda nyengir dan akhirnya memutuskan menuliskan jawaban sesuai perintah Elena. Selesainya ulangan hari itu, semua murid yang ada di kelas Venus seketika langsung bubar menuju kantin. Ada juga yang pergi ke toilet terlebih dahulu.
"Akhirnyaaaaaaa!!!! buntu banget otak gue hari ini!"
"Bukannya setiap hari gitu?" tanya Venus membuat Manda menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Venus!!" Venus menoleh, begitu pula kedua temannya. Di ujung koridor, guru yang tadi mengajar mereka melambaikan tangan menyuruh gadis itu mendekat.
"Bantuin ibuk dulu ya, bentar!"
Venus mengangguk lalu menoleh ke arah mereka berdua, "Gue nitip cilok aja ya, sama air putih!"
Setelah mendapat anggukan dari Manda, gadis itu segera berlari menghampiri Bu Ria. Seorang wanita tinggi besar yang selalu identik dengan tai lalat di antara hidung dan bibir atasnya. Wanita tersebut menyuruh Venus menyerahkan setumpuk dokumennya ke ruang BP. Bu Ria harus segera ke kantor kepala sekolah untuk rapat dadakan. Jadi tidak sempat berjalan ke lain arah menuju ruang BP.
"Permisi," Venus mengetuk pelan pintu ruangan itu sebelum akhirnya memutuskan masuk.
Sepi.
Hanya ada benda mati dan satu makhluk hidup yang mulai ia kenal. Biru, cowok itu duduk dengan tenangnya di sofa hitam di sudut ruangan. Ia menolehkan kepala saat Venus mulai masuk ke dalam ruangan dan duduk tepat di samping cowok itu.
"Kenapa doyan kesini sih?"
"Kasian guru BP, kalau gue nggak gini, mereka nggak ada kerjaan. Emang jaman di dunia ini yang nggak kerja tapi dapet bayaran?"
Venus menggeleng heran. Sedangkan Biru tidak sengaja melirik setumpuk map yang dibawa gadis itu sejak masuk ke dalam ruangan ini tadi. Biru menoleh pada Venus yang sedang melihat-lihat ke sekitar ruangan. Seperti terlihat asing.
"Nggak pernah kesini lo?"
Venus menggeleng, "Ini baru pertama kali."
"Iuhh."
Gadis itu spontan menoleh dengan pandangan sebal. "Harusnya gue yang bilang gitu pas lihat lo disini!"
"Lo kesini emang bikin kesalahan apa lagi?"
Biru terdiam sebentar, lalu akhirnya menjawab sesuatu yang menurut Venus melenceng jauh dari pertanyaannya.
"Kesalahan gue, suka sama lo."
Venus terdiam, berusaha mencerna dengan baik perkataan cowok itu.
"Gue bercanda, jangan baper." Biru mengacak rambutnya sendiri yang bewarna kecoklatan. "Karena rambut panjang nih."
Oh
Hahahaha
Jangan terlalu serius, Venus
Biru memang begitu.
Suka bercanda.
Dia jarang bisa serius,
tapi tenang aja.
Ada saatnya juga kok dia
nggak bercanda.
Apalagi soal perasaannya yang katanya belum lupa sama..Rein.
Gadis yang aku sendiri belum tau siapa dia.
Kata Biru,
Rahasia.
Ini teka-teki.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top