(5)
Semoga dia bukan hanya
takut kehilangan, tapi juga
takut menjadi hilang.
-Ur
VENUS yang baru saja sampai di samping Manda sengaja menarik tangan gadis itu untuk bangkit. Manda mendongak, memicingkan mata dan sengaja memberatkan badannya agar tak ikut berdiri. Gadis itu memasukkan ponselnya ke dalam saku lalu bersedekap dada dengan pandangan menyelidik.
"Lo buang air atau bersihin toilet sekalian?"
"Buang air."
"Kok lama? kencing lo emang berliter liter sampai 15 menit!"
"Hussss," Venus menyuruh gadis itu diam karena suara Manda tiba-tiba meninggi. "Kantin aja yuk!"
"Eh? lo ngajak gue bolos?"
"Kan habis matematika pelajaran seni, Bu Endang kan nggak ada."
Manda berfikir sejenak sebelum akhirnya tersenyum, "Ayo!"
Keduanya berjalan menyusuri koridor sampai ke kantin. Kantin utama di jam seperti ini memang masih sepi, baru beberapa kios yang buka, itupun bukan kios makanan. Hanya penjual cilok, kios minuman, serta penjual roti dan makanan ringan. Sedangkan tujuan mereka kesini adalah untuk makan bukan jajan. Manda yang awalnya duduk pasrah tiba-tiba menjetikkan jarinya di depan wajah Venus.
"Ke kantin belakang aja, disana pasti udah buka."
"Kantin belakang? emang ada?"
Manda memutar malas bola matanya, "Ada lah! tapi disana biasanya cowok semua, mau nggak lo?"
"Ada makanan?"
"Ada, udah enak murah lagi, itu sih yang dibilang Arya."
"Boleh deh."
Dan setelah itu, keduanya berbelok melewati lorong di sebelah kantin hingga berujung di taman belakang. Dari sini, bangunan kantin itu sudah terlihat. Semacam rumah dengan beberapa meja dan kursi untuk makan. Di depan bangunan itu, Venus bisa melihat seseorang dengan daster dan penutup kepala yang sedang sibuk menyapu pelataran. Sepertinya wanita itu yang dimaksud Manda, Bi Ima.
Beliau menoleh saat mereka telah berada di dekat kantin, "Pagi Neng, mau nyari siapa? atau mau makan?"
"Mau makan, Bi." Jawab Manda dan menarik tangan Venus untuk duduk di salah satu kursi.
"Mau makan apa nih? dijamin nagih."
"Nasi goreng telur dua, minumnya es milo." Kini giliran Venus yang menjawab, mewakili Manda yang masih sibuk melihat sekeliling.
Bi Ima mengangguk ramah dan segera berbalik untuk menyiapkan pesanan. Venus mengamati keadaan sekitar, disini memang sepi. Hanya ada beberapa cowok yang duduk di meja pojok sambil sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ada yang menonton film, ada yang bermain ponsel, dan ada yang menelungkupkan kepala, sepertinya tidur.
"Venus! beruntung banget kita tadi kesini!" Manda berbisik dan meremas tangan Venus gemas.
"Emang kenapa?"
"Ada Radit! dia yang gue ceritain ke lo waktu itu!"
"Mana?"
"Pojok," Manda menatap mata Venus membuat gadis itu hendak menoleh lagi ke arah yang sebelumnya ia lihat. "Jangan noleh dulu buset! pokoknya dia yang lagi main hp, yang pake gelang item!"
"Rambut item?"
Manda mengangguk antusias, "Ganteng kan?"
"Heh!!"
Manda dan Venus terkesiap, mereka berdua menoleh dan memutar bola mata malas saat Elena justru tertawa. Gadis itu duduk di hadapan mereka berdua dan mengambil gorengan untuk ia makan. Matanya mengamati Manda yang sudah kembali melanjutkan pembahasan yang sama kepada Venus.
"Ngomongin apa sih?"
"Len! ada Radit!" bisik Manda sambil memberi kode bahwa cowok yang ia maksud berada jauh di belakang posisi Elena sekarang.
"Mampus!" Venus menahan tawa saat Elena bukannya menunggu waktu yang tepat tapi justru langsung menoleh bertepatan dengan Radit yang menatap ke arah sini.
"Heh! Lo dicariin...sakit buset!!!" Elena memekik kesakitan saat Manda dengan sebalnya menginjak kencang kaki gadis itu yang berada di bawa meja, membuat Radit di sebelah sana saling lirik dengan Alan.
"Elena bego! Bukannya...aw!"
Manda mengelus kepalanya yang dijitak keras oleh Elena. Gadis itu meringis kesakitan dan menatap tajam seseorang di hadapannya. Sudah ia duga, bahwa memberitahu seorang Elena adalah suatu kesalahan yang besar. Bisa rusak image nya di hadapan Radit kalau kayak gini.
"Sakit!"
"Siapa suruh main nengok-nengok!"
"Tuh kan, berantem lagi." Venus melerai keduanya dan tersenyum ramah kepada Bi Ima yang barusan datang.
"Tambah satu porsi lagi ya, Bi."
Bi Ima mengangguk dan kembali ke dapur bertepatan dengan Manda yang melanjutkan omelannya ke arah Elena. Venus menggeleng heran, gadis itu tidak habis fikir dengan kedua manusia di sebelahnya. Kenapa suka sekali ribut karena hal hal sepele?
"Oh ya Len, kenapa lo bisa ada disini?"
"Bolos, males banget, katanya bahas soal, taunya malah nyuruh remidi."
Manda menepuk bahu Elena berkali-kali, "Nama gue masuk jadwal remidi nggak?"
"Nggak,"
"Demi apa?"
"Nggak mungkin nggak."
Setelah pesanan Elena datang, ketiganya sibuk makan tanpa membahas obrolan apapun. Baru saat makanan telah habis, Manda mengawali pembicaraan mengenai seseorang yang saat ini telah berganti status menjadi pacar Venus. Membuat Elena memutuskan hanya menjadi pendengar saja.
"Jadi, lo udah jadian?"
Elena menatap Venus tajam, "Kok lo nerima sih, Ven?!"
"Apa salahnya sih gue coba suka sama Kak Langit? dia baik kok."
"Eh asal lo berdua tau ya, daripada sama Langit, gue lebih setuju kalau lo itu sama salah satu diantara mereka." Elena menunjuk bangku pojok dengan gerakan kepalanya.
"Lo bedain Kak Langit sama mereka, ya jauh lah Len," Manda memutar bola mata malas dan melirik sekilas bangku yang ditempati Radit dan kedua temannya. "Walaupun Radit juga ganteng sih, tapi kan dia suka baperin cewek. Nggak jauh beda sama temennya, Arya aja juga gitu."
"Tapi kemarin tuh, gue...," Omongan Venus terhenti saat melihat seseorang baru saja keluar dari ruangan di samping dapur Bi Ima. "Kak Langit?"
Langit menoleh, sedikit terkejut saat melihat Venus berada di kantin seperti ini di jam sepagi ini. Yang ia tau, biasanya gadis itu tidak akan keluar kelas jika bukan saatnya istirahat atau pulang. Manda dan Elena yang melihat Venus menoleh pun akhirnya ikut menatap ke arah objek yang sama, disana Langit barusan membeli permen karet dan sebotol minuman dingin. Sebelum akhirnya cowok itu mengarah ke sini.
"Kok kamu tumben disini? nggak ada pelajaran?"
"Dikeluarin."
Langit melongo tak percaya, "Seorang Venus dikeluarin dari kelas?"
"Iya," Venus mengangguk lemah. "Kakak kok diluar? nggak ada guru?"
"Ada, tapi aku tadi lagi rapat sama wakil kepsek, terus cari makan disini, habis itu ke toilet, ini mau ke kelas."
Venus mengangguk lagi, "Ya udah sana."
"Ngusir nih?" tanya cowok itu terkekeh pelan dan akhirnya pamit pergi.
Melihat Langit sudah hilang dari pandangan, Elena bergerak mendekati Venus dengan pandangan tajam. Gadis itu menghembuskan nafas panjang sambil mendecih pelan. Ia tidak habis fikir kenapa sahabatnya itu bisa terjerat seseorang semacam Langit.
"Hati-hati sama orang kayak dia, Ven."
"Kenapa?"
"Kadang sampul buku itu nggak sama kayak isinya."
"Jangan berfikiran buruk dulu dong, dia baik kok, lo belum kenal deket aja sama dia."
Elena menggeleng heran, "Nggak ngerti lagi gue sama lo."
Brakkk
"Anj*ng lo, Biru!"
Ketiga gadis itu spontan menoleh ke asal suara keributan. Disana kerah Biru ditarik paksa oleh seseorang yang sedikit asing. Ia meninju pipi kiri cowok itu membuat Biru terhuyung ke belakang karena belum siap. Alan dan Radit yang ikut terkejut segera menengahi kejadian itu. Sementara Biru masih diam di tempatnya dengan pandangan biasa saja.
"Gue kenapa?"
"Jangan ikut campur urusan gue setan!"
Biru maju perlahan, "Gue juga nggak tertarik sama urusan lo."
"Biru udah!" cegah Alan membuat Biru mengangkat satu tangannya untuk menyuruh cowok itu diam.
"Inget!" Biru menunjuk cowok di hadapannya dengan rahang mengeras. "Jangan sok tau kalau lo nggak pernah tau apa-apa!"
"Bacot!"
Biru terhuyung lagi, membuat Radit segera menahan lengan seseorang yang sering menjadi lawan Biru di arena balap. Sedangkan Alan sibuk menahan kerah kemeja Biru dari belakang agar cowok itu tidak membalas macam-macam.
"Sini nak, jangan liar begini sayang." ucapnya saat Biru akan berdiri untuk menghampiri orang itu.
Cowok tadi memilih pergi saat Radit berhasil membujuknya untuk menjauh. Alan menghela nafas dan duduk lemas di kursi sebelahnya. Cowok itu menatap Biru dengan pandangan heran, sedangkan yang ditatap hanya terdiam tak berdosa.
"Heran gue, lo punya wajah ganteng bukannya dipelihara. Diajak perawatan kek, dibiasain maskeran kek, kenapa ini malah lo babak belurin!"
"Kadang gue mikir nih, kalian bertiga itu sama aja. Kurang bersyukur! walaupun gue yang paling ganteng nih ya, tapi gue nggak sehobi kalian tuh berantem."
"Lan, diem deh." Radit memijit pelipisnya lelah.
"Lama-lama kalian gue masukin karung terus gue kirim ke tempat yoga tante gue, biar pikiran kalian tuh nggak berandal terus."
"Den Biru nggak papa?" tanya Bi Ima membuat Alan langsung berdiri dan mengangkat satu tangannya ke atas.
"Bi Ima jangan ikut campur urusan rumah tangga saya, Bi. Anak-anak badung ini biar saya aja yang ngurus. Sebagai ibu yang baik, saya merasa malu punya mereka."
"Makan tuh malu!" gumam Radit memukul kepala cowok itu dengan botol minuman miliknya yang masih berisi air.
"Itu botol masih penuh bego!"
"Ya lo nyerocos mulu kayak kaleng rombeng."
"Radit, jangan begitu sama ibu nak, meski begini aku ini ibu kandungmu. Orang yang melahirkan ka..aduh!!"
Radit memicingkan matanya kesal, "Mulut itu disekolahin dulu, jangan diajarin somplak kayak orangnya."
"Pernah gue digampar nyak gue gara-gara ngomong gitu, Dit."
"Lah?"
"Masa iya dia ngatain gue," Alan berdiri sambil mengacungkan botol kecap disana. "Bocah setan!"
Radit tertawa, mulai tau apa lanjutan cerita konyol itu. "Terus lo nyuruh mulut nyak lo sekolah?"
"Iya, sambil gue elus bibirnya dengan penuh kasing sayang, gue tepuk tepuk biar nggak nakal, eh gue digampar."
"Ya lo gila!"
"Eh Biru! mau kemana?"
Biru yang sudah berjalan menoleh lagi ke belakang, "Kelas, mau belajar."
"Demi dewa lalat! ngapain lo kesana?!" tanya Alan dengan muka dibuat panik.
"Biar nggak ikutan sinting kayak lo."
Dan setelah itu Biru pergi dengan diiringi tawa Radit yang melihat Alan berpura-pura menangis. Sedangkan di sisi lain, ketiga gadis yang masih syok karena kejadian tadi pun akhirnya saling pandang dan berdecak heran berkali-kali. Apanya yang lucu sampai mereka tertawa?
Biru, berantem lagi.
***
"Venus!"
Venus yang baru saja keluar dari kelas spontan menoleh ke asal suara. Disana Langit berjalan ke arahnya dengan senyum lebar. Cowok itu tidak berekspresi seperti biasanya. Seperti ada kabar bahagia yang membuat senyum itu tak juga pudar.
"Kok seneng banget?"
"Besok aja aku kasih tau, pulang yuk!" Langit menggenggam erat tangan Venus menuju parkiran, membuat gadis itu menyimpan baik-baik rasa penasarannya.
Langit menyembunyikan kepala Venus di balik lengannya yang kokoh saat mereka melewati bangunan gedung yang masih dalam masa perbaikan. Cowok itu sedikit mempercepat langkah, takut jika kepala gadis itu terkena serbuk atap atau material dari atas sana. Membuat Venus spontan tersenyum tipis.
"Maaf ya, tadi aku nggak dapet parkir, jadi terpaksa parkirnya disini banget."
"Emang kenapa?" tanya Venus menahan senyum melihat raut bersalah dari wajah Langit.
"Bikin kamu susah," Langit tersenyum dan bergerak membukakan pintu mobil untuk gadis itu. "Masuk gih."
"Langsung pulang, Ven?"
"Terserah, kakak mau kemana?"
"Cari makan dulu ya, aku traktir es krim mau?"
Venus mengangguk senang dan melebarkan senyumnya, "Oke!"
"Senyum kayak gitu ke aku aja ya, Ven." Langit tersenyum balik sambil menatap gadis itu. Menyalakan mesin mobil dan segera keluar dari parkiran belakang untuk menuju gerbang sekolah.
"Kenapa?"
"Kalau kamu gitu ke semua orang, yang ada aku kalah telak. Mereka bisa langsung suka sama kamu."
Venus tertawa lepas, membuat Langit melirik kesal ke arah gadis itu. "Aku serius, Ven."
"Lagian kamu kenapa sih kak?"
"Nggak boleh ya aku takut kehilangan pacar aku sendiri?"
Iya Venus, dia takut
kehilangan kamu.
Takut posisinya akan tergantikan.
Takut ada yang lebih membuatmu nyaman.
Karena kata Biru,
kadang yang romantis bisa kalah sama orang yang bikin nyaman.
Ada berjuta orang romantis di dunia ini, banyak sekali.
Tapi yang membuat nyaman?
cagar alam dan museum pun tak mampu menampung.
Karena hanya segelintir, katanya.
Yang nunggu Biru-Venus hadir sabar dulu ya.. Semoga suka ceritanya, jangan lupa like dan komen, lup lup ❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top