(4)
Kamu kenapa?
Maaf tidak mampu hadir
untuk menciptakan bahagia.
Karena aku dan rasa sakit
adalah pangket lengkap.
Jadi aku tidak mampu
membuatmu ikut merasakannya.
-Ur
MANDA yang sibuk memasukkan rumus di setiap soal matematika yang sedang ia kerjakan terusik saat Elena sengaja menepuk bahunya. Gadis itu awalnya tidak memperdulikan Elena dan tetap fokus pada buku di hadapannya, visinya yaitu sebelum bel masuk berbunyi tugas ini harus sudah selesai. Karena kesal sendiri dicuekin sama Manda, Elena sengaja menendang kaki kursi yang diduduki gadis di hadapannya hingga membuat Manda menoleh dengan tatapan garang.
"Apa lagi?! Lo nggak lihat gue lagi di ambang hidup dan mati? Tadi disuruh bantu nggak mau, sekarang malah gangguin!"
"Lihat dulu tuh!" Elena menggerakkan dagunya ke arah Venus yang sedang duduk di sebelah Manda, sejak tadi gadis itu terlihat senyum-senyum nggak jelas.
Manda mengernyit takut, "Lo kesambet ya, Ven?"
"Venus!"
"Iya?" Gadis itu bertanya lembut tanpa melepaskan senyuman dari bibirnya.
"Ih, lo kenapa?! ketempelan jin dari mana lo?"
"Nggak tuh, gue sehat."
Manda menjaga jarak dan menoleh pada Elena, "Len, gue duduk sama lo ya, nih bocah serem nih."
"Ogah gue duduk sama lo."
"Ih gue takut, Venus tampangnya kayak bocah yang abis nyolong permen kaki di warung depan."
"Permen purba, anjir!"
"Ah bodo amat, gue duduk sama lo ya, serem banget."
Venus terkekeh pelan dan kembali tersenyum, "Kenapa sih, Man?"
"Venus!! jangan deket-deket gue! lo nakutin!"
Arya yang barusan datang menepuk pundak Manda hingga membuat cewek itu menoleh ke arahnya, "Sereman mana sama Angry Bird di depan?"
Manda menoleh dan terdiam saat guru matematika yang sejak tadi ia doakan agar tidak masuk justru sudah duduk di singgasana yang ada di depan. Padahal ada lima soal yang belum selesai ia salin dari buku tugas Venus, bisa kena marah habis-habisan kalau kayak gini.
"Mampus gue!"
Venus yang sejak tadi masih terngiang-ngiang soal kejadian semalam tetap tidak peduli meskipun Manda sudah kelimpungan sendiri. Gadis itu lebih memilih menatap lurus ke luar jendela seolah ada sesuatu yang menarik di luar sana. Membuat Manda yang berkali-kali memanggil namanya dibuat kesal sendiri dengan sahabatnya yang sedang aneh itu.
"Venus, bantuin gue."
"Manda! PR itu dikerjakan dimana?"
Manda terkesiap saat suara wanita dewasa itu menggelegar ke seluruh ruangan, "Di rumah, Bu."
"Terus kenapa kamu kerjain di sekolah?"
"Aduh, gini Bu. Jangan salah paham dulu sama saya. Emang seharusnya gitu ya Bu, tapi orang tua saya selalu ngajarin ke saya kalau jadi berbeda itu istimewa. Ya akhirnya saya mutusin buat ngerjain di sekolah aja, kan beda dari yang lain."
"Alasan terus!"
Manda tersenyum masam, "Gimana ya Bu, saya jawab salah, tapi kalau saya nggak jawab malah tambah salah, katanya nggak sopan."
"Keluar, Manda!"
"Tapi Bu, saya kan niatnya mau belajar, bukan main di luar."
"Keluar atau saya kasih hukuman?!"
"Venus ih, bantuin gue."
"Kamu jangan cari bantuan," Bu Ulfa melihat ke arah Venus yang sedang melamun. "Venus, ada pemandangan apa di luar?"
"Venus? Kamu suka sama tukang kebun sekolah ya?"
"Venus!!!"
"Iya Kak!" Venus terkejut dan spontan mengatakan kata itu hingga membuat seluruh kelas menahan tawa, termasuk Arya dan Manda. Elena? gadis itu hanya memutar malas bola matanya.
"KALIAN BERDUA KELUAR!!!"
***
Venus dan Manda yang sedang berdiri di luar kelas mulai memasang tampang kesal. Karena teledor, keduanya harus rela tidak mengikuti pembahasan yang mungkin akan dijadikan bahan ujian minggu depan. Manda yang sedang duduk di bangku depan kelas menarik tangan Venus yang sejak tadi mondar mandir di hadapannya.
"Lo kenapa sih? mondar mandir kayak setrika, gue pusing sendiri nih lihatnya."
"Gimana nasib ujian gue minggu depan coba?!"
"Eh Venus temennya Mars, lo aja yang pinter bingung, gimana gue? tapi nggak usah mondar mandir gitu juga!"
"Gue panik nih."
"Ya tapi percuma, lo mondar mandir gini, tuh jawaban ulangan juga nggak bakal dibocorin ke kita."
Venus menghentakkan kakinya ke lantai dengan raut wajah semakin kesal, "Gue mau ke toilet bentar ya, jadi kebelet nih."
Manda mengangguk saat Venus sudah berbalik untuk menyusuri koridor menuju toilet. Gadis itu mengucir rambutnya ke atas dan masih merutuki kebodohannya pagi ini. Bisa-bisanya dia tidak sadar jika sudah ada Bu Ulfa di kelas. Pokoknya semua ini gara-gara Langit.
Selepas membuang air, gadis itu membasuh mukanya di wastafel dan keluar dari sana. Belum beberapa langkah ia berjalan, kakinya sudah berhenti saat mata gadis itu menangkap seseorang yang sudah tidak asing lagi. Dari gelagatnya, Venus curiga cowok itu sedang melakukan kesalahan. Langkah kakinya saja sudah mengendap-ngendap dengan wajah yang sejak tadi menoleh ke belakang.
"Lo ngapain?"
Cowok itu terkesiap dan spontan menoleh ke arah Venus, "Jangan berisik!"
"Biru? lo telat ya?"
Biru tidak menjawab, cowok itu berjalan melewati Venus dengan pandangan was was. Namun belum jauh dari sana, Venus yang masih mengamati pergerakan Biru melotot panik saat matanya menangkap sosok Pak Kumis dari seberang koridor lapangan basket.
"Biru! Ada Pak Kumis!"
"Mana?"
"Tuh!" Jawab Venus menunjuk guru BP berkumis yang selalu siaga di jam pelajaran seperti ini.
"Mampus!"
Biru berbalik, melangkah cepat mendekati Venus dan masuk begitu saja ke dalam toilet perempuan. Gadis itu melotot heran dan melengokkan kepalanya ke dalam sana untuk melihat Biru. Cowok itu sedang bersembunyi dengan satu telunjuk menyuruh Venus diam serta tangan kirinya yang membentuk bogeman bermaksud mengancam gadis itu.
"Diem aja lo!"
"Venus, kamu ngapain?"
Venus terkesiap kaget, gadis itu meremas ujung seragamnya sambil membasahi bibir. Matanya mencoba bergerak tenang agar Pak Kumis tidak curiga dengan tingkahnya yang bisa dibilang mencurigakan. Satu hal yang harus ia lakukan sekarang, mencari alasan!
"Saya mau ke toilet, Pak. Tapi saya parno sama film yang kemarin saya tonton, hantunya ada di toilet. Makanya saya tadi ngecek dulu, ragu mau masuk."
Pak Kumis menggeleng heran, "Ada-ada saja, ya sudah kamu cepetan ke toilet, habis itu segera masuk lagi ke kelas."
"Iya pak."
Brak
"Mampus, Biru gila!" batin Venus mengutuk Biru dalam hati.
Pak Kumis terdiam beberapa saat, langkahnya kembali ke depan pintu toilet dan menatap Venus yang sengaja memasang wajah takut. Laki-laki itu mengetuk pintu toilet sebentar sebelum akhirnya bertanya lantang.
"Siapa di dalam?"
"Eh, Pak Kumis jangan masuk! ini kan toilet cewek, nanti reputasi Pak Kumis bisa jatuh kalau sampai ada yang tahu."
"Oh iya maaf," Pak Kumis menatap Venus. "Di dalam sepertinya ada anak lain, Venus. Kamu tidak perlu takut lagi."
"Makasih banyak, Pak."
Gadis itu bisa bernafas lega saat ia lihat Pak Kumis sudah lumayan jauh dari jaraknya berdiri saat ini. Venus membuka pintu toilet dan menyuruh Biru keluar dari sana. Cowok itu bernafas lega dan menatap Venus yang saat ini diam.
"Makasih."
"Lain kali jangan sembunyi sembarangan."
Biru terdiam, matanya menatap lurus kearah ujung koridor yang menampilkan secara jelas guru pemarah dengan beribu dendam kepada murid sejenis Biru. Parahnya, siapapun yang bersama Biru pasti juga ikut kena hukuman. Masa gadis ini udah bantuin dia, tapi ujungnya malah kena hukuman juga?
"Ikut gue,"
"Eh! kemana?"
"Diem dulu, gawat!"
Biru menarik Venus pergi dari sana dengan berlari. Cowok itu menambah kecepatan berlarinya saat suara guru wanita itu telah menggema kencang. Biru menoleh pada Venus, gadis itu terlihat panik dengan beberapa kali menoleh ke belakang secara cemas. Mungkin dia nggak pernah main kejar-kejaran kayak gini ya.
"Jangan noleh, bahaya."
"Lo salah apa emang? Kok kayaknya marah banget waktu lihat lo?"
"Karena gua ganteng."
Biru berhenti melangkah, tangannya yang panjang menarik Venus naik ke tangga yang mulai berkarat di belakang ruang olahraga. Cowok itu menyuruh Venus naik duluan lalu ia menyusul gadis itu dan segera menutup pintu yang menjadi batas antara tangga dengan ruangan di atas sana. Gadis itu terdiam, matanya berbinar saat melihat pemandangan di atas situ. Rerumputan kecil dengan beberapa bongkahan kayu dan satu gazebo berpadu apik dengan pemandangan gedung tinggi di sekitar sekolah.
"Kok bisa ada ini?"
"Lo aja mainnya kurang jauh."
"Lo udah lama tau tempat ini?" tanya Venus saat Biru sudah memutuskan duduk di gazebo.
"Dari kelas sepuluh."
Venus memicingkan matanya curiga, "Pasti lo buat bolos kan! sayang tau, tempat bagus malah dimanfaatin buat bandel."
"Bukannya sekarang lo juga bolos?"
Gadis itu terdiam, benar juga yang dibilang Biru. Bukannya berada di luar kelas saat pelajaran berlangsung bisa disebut bolos? tapi kan dia bukan bolos, dia cuma dikeluarin aja dari kelas. Venus pun menggeleng sebagai penolakan atas tuduhan Biru.
"Gue dikeluarin," jawab Venus menyusul Biru untuk duduk di gazebo.
"Oh ya, lo kenapa disini? tadi telat ya?" tanya Venus membuat Biru mengangguk tanpa menoleh sedikit pun.
"Nggak bosen apa telat terus?"
"Bosen, tapi udah kebiasaan."
Venus mencebikkan bibirnya kesal. Gadis itu beralih menatap lurus gedung-gedung tinggi di hadapannya. Wajar jika tidak ada pemandangan pegunungan atau pepohonan tinggi di Jakarta. Kita lihat sawah aja udah bisa dibilang nggak mungkin, apalagi yang begituan. Jangan berharap, karena berharap pada sesuatu yang tidak mungkin itu sakit.
Venus menggeleng sambil terkekeh pelan menertawai hidupnya saat terpikirkan sesuatu, "Dipaksa buat nggak suka sama apa yang kita suka itu nggak enak ya, berat banget."
"Baru nyadar lo?"
"Kalau lo, kenapa masih bertahan sampai sekarang?"
Biru merebahkan tubuhnya di gazebo sambil memejamkan mata, "Karena gue suka, gue nyaman sama apa yang gue pertahanin, walaupun nggak enak."
Venus tersenyum, apa yang Biru katakan benar. Ia terlalu nyaman atas apa yang masih ia perjuangkan. Sedetik kemudian, senyum itu memudar saat matanya menangkap goresan luka di kening Biru. Venus menggerakkan tangan menekan noda merah itu, darah. Membuat Biru meringis dan refleks membuka kelopak matanya.
"Biru punya uang nggak?"
Biru mengernyit sebentar sebelum akhirnya mengangguk samar. "Cepetan beli alkohol sama obat merah, sebelum infeksi."
Biru mengacuhkan ucapan gadis itu dan kembali menutup matanya. Cahaya matahari pagi ini terlalu silau untuk diperhatikan.
"Lo denger nggak sih?"
"Denger."
Venus mengeluarkan selembar tisu dari dalam saku. Gadis itu meletakkan tisunya tepat di atas punggung tangan Biru yang sedang bertengger anteng di atas perut. Biru masih diam, bertahan pada posisi awalnya tanpa berniat mengucapkan apapun.
"Sama-sama. Seneng ketemu sama lo, kita bisa jadi temen, itu sih kalau lo mau."
Venus diam sejenak.
"Gue Venus, anak kelas 11 IPS 2, sekretaris kelas, wakil bendahara osis, dan duduk di bangku nomor 3 dari meja guru. Salam kenal, Biru."
Beberapa menit setelah itu, Biru membuka perlahan kelopak matanya hingga menampilkan manik hitam dengan semburat biru yang menenangkan. Cowok itu menatap langit dan mengucapkan doa yang akan ia kirimkan melalui awan. Biarkan kapas kapas putih di atas sana yang berbicara atas apa yang ia pikirkan.
"Biru?"
Biru menoleh, membuat Venus terdiam beberapa saat.
"Jangan lupa urus lukanya, gue balik dulu ya."
Setelah itu, Venus bangkit dan berjalan santai menjauhi Biru. Bayangan gadis itu pun sepenuhnya hilang bertepatan dengan suara pintu yang tertutup serta helaan nafas Biru yang barusan berhembus. Cowok itu mengalihkan pandangan dan meletakkan tisu yang diberikan Venus ke sembarang tempat.
"Gue nggak bisa terima taruhan itu juga karena lo, Rein."
"Maaf,"
Jangan minta maaf, Biru.
Kamu belum tentu salah.
Disini hanya masalah takdir yang datang di waktu yang salah.
Ini bukan salah siapapun.
Untuk kalian penghuni Bumi, ada pesan dari Uranus.
Jangan suka menyalahkan takdir, karena dia tidak pernah bermaksud menjebakmu di waktu itu.
Kata Biru,
Hidup itu emang begini.
Banyak sakitnya,
kalau lo nggak mau sakit, ya
jangan hidup.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top