(22)

Kita adalah bangunan
yang dibangun setengah
jalan, lalu gagal.
Dan akhirnya dihancurkan.

-Ur

TIGA hari berlalu tanpa sosok Biru di sekolah, membuat suasana sedikit aneh. Berita mengenai Biru yang ditahan di kantor polisi sudah mulai terdengar samar-samar di telinga beberapa murid. Membuat Arya, Radit, dan Alan berdecak kesal sambil mengusir orang-orang yang bertanya kabar mengenai kebenaran cerita itu.

"Dibilangin Biru lagi ngelatih lumba-lumba, nanya mulu perasaan." Alan mengusir seorang cowok berperawakan tinggi yang dikenal orang bernama Roni.

"Kemarin pagi lo bilang dia ke Bali, kemarin siang lo bilang dia lagi bersihin laut, sekarang lo bilang dia lagi ngelatih lumba-lumba. Semua nggak ada yang bener."

Alan melempar botol minumannya yang telah kosong, "lah, emang gitu. Dia ke bali buat bersihin laut disana, eh nemu lumba-lumba. Ya dilatih biar nurut, nggak cerdas emang nih orang."

"Alah, serah lo lah Lan. Ar, emang bener Biru ditahan?" sekarang cowok itu justru beralih ke arah Arya, kesalahan besar!

"Lo pergi apa gue tonjok sekarang juga?!"

Radit berdiri, menyuruh cowok itu pergi baik-baik. "Udah udah, mending lo pergi dulu, mood Arya lagi jelek."

"Ar, cabut aja gimana?" tawar Radit setelah Roni pergi.

"Udah sabar, nanti kita pikir sekalian jalan, ayo."

Alan mengangguk setuju, "iya, daripada disini terus."

Ketiga cowok itu akhirnya beranjak meninggalkan lapangan. Gerakan mereka tidak luput dari perhatian gadis yang saat ini memilih duduk diam di taman. Venus ikut sedih melihat ketiga teman Biru terlihat frustasi. Ikut khawatir juga ketika sampai saat ini belum ada satupun kabar asli tentang Biru masuk ke telinganya.

"Kemarin Biru bilang apa sama lo, Ven?" Pertanyaan Elena membuat gadis itu menoleh. Kedua temannya sudah mengambil posisi duduk di sampingnya.

"Bukan apa-apa. Dia cuma bilang, dia bakal secepatnya keluar dari kantor polisi."

"Lagian Biru kenapa sih, nggak ada capek-capeknya berurusan sama hal kayak gini."

Manda memutar bola mata malas, "kayak nggak tau Biru aja."

"Lo dapet kabar tentang Biru dari Radit nggak, Man?" tanya Venus tanpa bisa menyembunyikan rasa penasarannya.

Manda menggeleng, "Radit cuma bilang, semua bakal aman selama nggak ada yang bilang dan ngasih bukti ke guru."

"Lagian Biru juga pasti bisa beresin semua ini setelah masuk nanti." Manda menambahi omongan Elena, dan mendapat anggukan setuju dari Venus.

Tapi sayangnya, nasib baik tidak berpihak kepada Biru ketika tidak jauh dari sana seseorang sedang berdiri dan menajamkan pendengarannya.

---

Sekolah sudah sepi di jam segini, hanya ada guru-guru yang masih sibuk melakukan beberapa hal. Ada yang baru berjalan dari kelas ke ruang guru, ada yang mulai siap-siap pulang, ada yang masih menulisi beberapa kertas, ada pula yang masih sibuk melihat tayangan di televisi.

Langit yang saat itu baru mengetuk pintu ruang guru tersenyum hangat kepada seorang guru laki-laki yang mengalihkan pandangannya dari kertas yang barusan ia baca. Membuat laki-laki itu ikut tersenyum dan melepas kacamatanya, menyambut kedatangan sang mantan ketua OSIS.

"Ada apa Lang?

"Saya mau ketemu kepala sekolah, beliau ada Pak?"

"Sebentar ya, Lang."

Laki-laki itu berdiri, berjalan melewati beberapa bangku guru lain dan berhenti tepat di depan pintu besar dengan tulisan kepala sekolah di atasnya. Beliau masuk sebelum akhirnya menyuruh Langit untuk masuk, sementara beliau kembali ke bangkunya.

Langit tidak asing lagi dengan ruangan ini. Bau pengharum ruangan yang masih sama bercampur dengan puluhan buku dan berkas penting. Di bangku yang selurusan dengan pintu masuk, Langit sudah bisa menemukan laki-laki berwibawa itu disana. Duduk tenang dengan kacamata yang bertengger di pangkal hidungnya.

"Selamat siang, Pak."

"Siang, Lang. Duduk duduk."

Langit mengangguk dan segera duduk di kursi yang telah disediakan, "Makasih, Pak. Sebelumnya maaf mengangguk waktunya sebentar."

"Iya, ada yang mau kamu sampaikan, Lang?"

"Begini, Pak." Langit berdehem, membuat laki-laki itu melepas kacamatanya dan mulai memperhatikan Langit dengan serius.

"Biru ditahan di kantor polisi, Pak."

"Kabar darimana itu?"

"Dari anak-anak Pak, kabarnya dia juga masih ada di sana sampai saat ini."

Kepala sekolah menghembuskan nafas pelan, "karena alasan apa, Lang?"

"Sama seperti yang dulu, Pak. Tawuran dan disertai dengan balapan liar." Langit menatap raut wajah laki-laki di depannya, menunggu respon yang datang.

"Sudah pasti benar? bukan cuma perkiraan kamu saja?" Langit menggeleng tegas.

"Nanti akan saya pastikan. Kalau benar, besok akan saya adakan rapat bersama perangkat sekolah yang lain untuk memutus hal ini. Terimakasih informasinya, Lang."

Langit tersenyum puas dan mengangguk, ia bangkit menyalimi kepala sekolah sebelum pamit undur diri meninggalkan ruangan. Siang itu, ia mengibarkan bendera perang dengan cara yang sangat cantik. Mengabaikan nasibnya yang mungkin tidak bisa dikatakan baik, apalagi jika sudah berhadapan dengan Biru, Arya, dan komplotannya.

***

Hari ini, hampir seluruh sekolah menatap sembunyi-sembunyi ketika motor Biru terparkir rapi di pelataran sekolah. Seperti biasa, seragam berantakan dengan dua kancing atas terbuka yang menampilkan kalung hitamnya memberikan ciri khas sendiri untuk cowok yang saat ini sedang berjalan tenang menyusuri koridor sekolah.

Biru tidak mempedulikan tatapan orang-orang yang jelas tertuju padanya. Predikat sebagai siswa paling bandel dan dingin sudah bisa ia terima dengan sangat baik. Cowok itu melihat ketiga temannya duduk bergerombol di taman samping, membuat langkahnya berbelok menuju ke sana.

"Eh Biru!!" Alan menyapa nyaring, membuat Arya dan Radit menoleh.

"Sini Ru, kita kasih tau sesuatu." Radit pindah tempat duduk, menjadi bersebelahan dengan Alan. Sengaja memberikan bangku di sebelah Arya untuk Biru.

"Apa?"

"Lo nggak papa kan?" Arya bertanya ketika melihat memar yang masih belum hilang dari wajah Biru.

"Masih ganteng," jawab Biru santai sambil membenarkan jambulnya.

"Ayo Ar, kasih tau Biru."

Mendapat desakan dari Alan, Arya mengangguk. Cowok itu menatap ikat kepala yang ia ikat di tangannya sebentar sebelum menarik nafas dalam-dalam. Mengontrol emosinya yang dari tadi sudah meletup-letup.

"Lo tau, Langit itu emang bangsat."

"Kenapa lagi dia?" Biru membalas tatapan tajam dari Arya.

"Kita, mati-matian cari alasan hilangnya lo. Sampai gue bosen denger Alan selalu bilang lo lagi ngelatih lumba-lumba," Arya melirik tajam Alan yang saat ini hanya nyengir tanpa dosa.

"Tapi justru, dia ngelaporin lo ke kepala sekolah."

"Terus?"

Arya memalingkan wajah, "Dan sekarang, guru-guru lagi pada rapat buat mutusin hukuman apa yang pantes buat lo."

"Lo udah kena skors berapa kali, Ru!" sekarang Radit ikut emosi, nadanya berubah serius.

Biru diam, rahangnya mengeras, bibirnya terkatup rapat. Matanya menelisik ke sembarang arah dengan tajam. Ia menoleh pada Arya, cowok itu sama emosinya. Jari-jarinya terkepal kuat, Biru tau Arya memikirkan tentang apa. Hal yang sudah lama mereka lupakan.

"Ar,"

"Diem, Ru."

"Tenang aja, keputusan belum dibuat."

Arya menghembuskan nafas berat, "lama-lama semua temen gue bakal dia hilangin. Sekarang lo, selanjutnya siapa lagi? Radit? Alan?"

"Udah tenang dulu." Biru menepuk pundak cowok itu singkat.

"Venus udah tau?" tanya Radit membuat Arya mengangkat bahunya tanda bahwa ia sendiri tidak tau.

"Nggak perlu."

"Kenapa, Ru?"

Biru berdecak, "siapa sih dia?"

"Ru,"

"Apa lagi?" tanya Biru dengan muka datar membuat Alan langsung diam.

"Hehhh!!!"

Teriakan itu membuat mereka serentak menoleh. Dilihatnya gadis berambut kecoklatan yang sengaja digerai itu berlari ke arah mereka dengan nafas ngos-ngosan. Satu tangannya melambai panik ke arah gerombolan Biru. Membuat Radit yang sadar bahwa itu Manda seketika berdiri dan segera menghampiri gadis itu.

"Ngapain sih lari-lari?"

Manda memegangi dadanya, berusaha mengatur nafas, "itu."

"Tarik nafas dulu, baru ngomong." Radit menyuruh gadis itu duduk di kursinya.

"Biru!! Lo harus ke depan ruang OSIS sekarang juga!!! Kalian semua, cepetan!!"

"Yaelah Man, apaan sih lo." Alan kesal sendiri dengan omongan Manda yang tidak jelas.

"Venus berantem sama Langit!!"

---

Plak

Diluar dugaan, Langit mengira bahwa  pagi ini mungkin dia akan habis di tangan Arya dan Biru. Tapi faktanya, ada seseorang di luar dugaan yang ikut masuk dalam urusan ini. Venus, gadis yang dulu pernah menjadi pacarnya itu kini menangis tepat di hadapannya. Lengkap dengan tatapan benci dan hina yang diarahkan tepat di kedua mata cowok itu.

"Lo lebih iblis dari yang gue kira! lo selingkuhin gue aja, lo pukul gue! lo kasarin gue, silahkan! tapi jangan bertingkah licik dengan bikin Biru pergi!"

Langit menatap Venus, "gue bantuin lo lupain dia, Ven."

"Nggak gini caranya!"

"Dia nganggep lo apa sih? lo itu cuma dibuat mainan!"

"Lo juga!! Lo justru lebih parah dari dia!"

Langit mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras, ia tidak pernah suka dibanding-bandingkan.

"Gue cuma nggak mau lihat lo sedih."

"Ini justru bikin gue makin sedih," Venus mengeluarkan kembali air matanya. "Lo mikir nggak sih? lo itu lebih buruk dari Biru!"

Plak

Venus terdiam, tangannya spontan memegang pipinya yang baru saja ditampar keras oleh Langit. Membuat banyak orang disana menahan nafas, tidak menyangka bahwa mantan ketua OSIS mereka bertingkah kasar kepada perempuan. Apalagi kepada mantan pacarnya sendiri.

"Puas? lo lakuin ini aja berkali-kali, Kak. Asalkan jangan bawa-bawa Biru."

Langit terdiam, tangannya gemetar, baru sadar apa yang barusan ia lakukan. Apalagi ketika melihat darah segar yang mengalir dari sudut bibir gadis itu.

"Venus,"

Gadis itu menoleh, dilihatnya Biru sudah berdiri tegak di ujung sana. Cowok itu diam kaku, aura mengerikannya kembali keluar. Matanya tajam menatap ke arah Langit yang masih saja diam. Perlahan namun pasti, langkah kaki itu membawanya semakin dekat dengan Venus. Membuat aura dingin dan mematikannya semakin tercium.

"Gue udah bilang kan, gue nggak suka lo main tangan sama cewek. Siapapun dia." nadanya datar, namun penuh penekanan.

Bug

Tanpa ancang-ancang, Biru melancarkan pukulan ke arah Langit berkali-kali. Membuat Arya dengan sigap segera berlari dan mengunci gerakan tangan Biru. Mencegah cowok itu untuk semakin memperumit keadaan.

"Jangan banci!"

Ini yang Venus takutkan dari Biru, sang pemimpin tawuran yang paling ditakuti. Sang pemilik aura dingin yang bisa berubah menjadi aura pembunuh.

"Biru Regan Adyanata!!!" suara itu membuat seluruh orang yang bergerombol disana menoleh ke arah 4 orang dewasa di ujung sana.

Kepala sekolah telah datang, berdiri bersama dua guru ketertiban dan seorang pria berwajah tegas yang saat ini menatap Biru dengan tatapan datar dan menghunus.

"Kamu dikeluarkan dari sekolah ini!"

Apa?
Keluar?

Lengkap sudah.
Hujannya semakin deras
Bulannya kini gerhana
Dan mataharinya padam

Ucapan selamat tinggal dari Biru
sudah dibacakan.
Sekarang, perpisahan pun telah selesai dikumandangkan.
Maka resmilah, siang ini
hatinya berhasil semakin patah.

"Aku sayang dia, Uranus.
Tolong jangan bawa dia pergi."













Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top