(21)
Memang kamu nggak
ada kerjaan lain selain
nunggu dia menyukaimu?
-setiase
PAGI telah tiba, seragamnya sudah melekat sempurna di tubuh ramping gadis itu. Venus bergeming, matanya masih setia mengamati namanya sendiri. Nama yang dulu ia tulis dengan tinta hitam pekat. Prediksi Elena kemarin malam masih menghantui pikirannya. Timbul sedikit rasa senang sekaligus penasaran yang luar biasa. Siapa sebenarnya Rein yang Biru maksud?
"Venussss,"
Venus menoleh ke arah pintu, "iya Bunda?"
"Sarapan dulu yuk, nanti kamu telat loh."
Gadis itu hanya mengangguk dan segera menyambar tasnya sebelum keluar kamar untuk mengikuti Bunda. Naluri seorang ibu memang tidak pernah meleset, wanita itu sepertinya tau anaknya sedang tidak baik-baik saja. Dan kali ini, beliau juga tidak ingin semakin memperkeruh suasana hati anak gadisnya.
"Maaf ya, bunda cuma bisa masak ini, bunda buru-buru."
"Nggak papa kok, Bun. Ini kan juga kesukaan Venus."
Bunda tersenyum manis sekali, "kalau Venus mau dan sudah siap, bunda siap dengerin Venus cerita."
"Iya bunda."
Tinnnn
Gerakan sendok Venus seketika berhenti saat suara klakson memecah keheningan diantara keduanya. Bunda berdiri, mencoba memeriksa siapa yang kira-kira sudah berada di depan rumahnya.
"Biar Venus aja bunda," Venus mencegah, ia beranjak dan menyuruh bunda kembali duduk.
Gadis itu berjalan pelan ke ruang depan, matanya sedikit memicing ketika membuka gorden rumah. Ada tiga orang laki-laki di depan rumahnya. Satu sedang duduk di atas motor tanpa melepas helm, sedangkan sisanya sudah turun dan melihat ke arah rumah sambil beberapa kali mencoba memencet bel.
Radit dan Alan?
"Ngapain mereka?" gadis itu bergumam pelan dan segera membuka pintu rumah.
"Ada perlu apa?"
"Bidadari!!!" Alan segera berteriak ketika melihat Venus mendekat.
"Ven, boleh bukain pintunya dulu nggak?" Sekarang giliran Radit yang angkat bicara.
Venus mengangguk, tangannya membuka gembok gerbang dan semakin jelas melihat siapa ketiga cowok itu. Satunya lagi Arya, ia hanya tersenyum ketika Arya menyapanya duluan.
"Kenapa?"
"Kita mau minta maaf sama Lo Ven, soal yang kemarin."
"Nggak papa," Venus menjawab seperlunya.
"Bidadari jangan marah ke kita ya, kita emang salah, tapi sumpah demi kerang ajaib, gue juga nggak tau kalau endingnya jadi kayak gini."
"Nggak usah dimaafin Ven," Arya menyahut dari belakang, membuat Alan dan Radit melotot sebal ke arahnya.
"Iya, udah Venus maafin. Lagian Venus juga salah."
"Aduhh bidadari, baik banget sih, gimana kalau sama Alan aja? mau nggak?" tanya Alan membuat Radit mendamprat kepala cowok di sebelahnya.
"Sakit!!"
"Udah selesai kan acara maaf-maafan nya? sekarang giliran gue yang ngomong." Arya turun dari motor, melepas helm dan membenarkan rambutnya yang berantakan.
"Ven,"
"Iya?" Venus mengalihkan perhatian pada cowok itu.
"Gue tau lo marah besar, gue tau lo kecewa sama temen gue. Apalagi setelah denger cerita dari dua kumbang ini soal kemarin, gue mewakili Biru minta maaf ke lo."
Venus berusaha tidak mengingat soal kemarin, gadis itu diam saja, tidak ingin merespon apapun.
"Tapi sepertinya lo harus tau tentang ini. Tentang kabar terbaru dari Biru."
"Bukan urusan gue kan?" Venus baru bersuara setelah lama diam.
"Dengerin dulu," Arya menarik napas untuk berusaha sabar. "Biru ditahan di kantor polisi."
Hening, Venus berusaha mencerna baik-baik kalimat sederhana yang baru terlontar mulus dari mulut Arya. Radit dan Alan saja dari tadi sudah berusaha tidak menatap Venus, takut akan reaksi apapun dari gadis itu.
"Kenapa?"
"Balap liar dan berujung berantem."
"Kita nggak tau apa-apa bidadari, kemarin tiba-tiba Biru dateng ke arena, udah lama dia nggak muncul tapi kemarin malem dia dateng dan langsung masuk arena tanpa ketemu kita dulu."
Venus diam lagi, Biru memang berhasil membuatnya pusing luar biasa. "Terus? kenapa kalian pagi-pagi dateng kesini cuma buat bilang hal itu?"
"Kita cuma ngasih tau, selanjutnya terserah lo."
Arya kembali ke motor besar yang ia naiki dan menatap Venus yang masih belum juga bergerak.
"Naik, kita ke sekolah bareng, nanti pulangnya terserah lo mau ikut kita atau nggak."
Venus hanya mengangguk, segera masuk ke dalam rumah dan kembali beberapa menit kemudian, lengkap dengan tas dan jaketnya. Gadis itu menerima helm yang diberikan Arya dan naik ke motor teman Biru dengan hati-hati.
"Gue nggak mau maksa lo Ven, gue akuin kita semua brengsek termasuk Biru. Tapi gue yakin, ini bukan Biru yang sebenernya. Bahkan kalau boleh jujur, gue lebih brengsek dari Biru."
"Gue tau lo sakit hati, gue pun ngerti rasanya gimana. Banyak cewek yang kayak lo karena ulah gue, tapi setau gue, cuma lo cewek yang kayak gini karena ulah Biru."
"Cukup Ar."
Arya mengangguk, paham betul jadwalnya bicara sudah selesai. Saat ini terserah gadis itu mau bagaimana. Lagian Biru juga salah, dan ia tidak mungkin membela yang jelas-jelas sudah tertangkap salah, walaupun itu menyangkut temannya sendiri.
***
"Ven, lo udah tau soal Biru?"
Venus mengangguk, Elena yang berdiri di samping Manda pun sudah mengira bahwa berita ini akan sampai di telinga Venus lebih cepat.
"Seluruh sekolah tau?"
Elena menggeleng, "Nggak ada yang tau selain kita, dan temen-temen Biru."
"Kalian tau dari siapa?"
"Lo nggak tau kalau temen lo yang centil satu itu udah saling bertukar kabar dan cerita sama si Radit?"
Venus tersenyum, paham tentang apa yang Elena bicarakan. Manda pun hanya diam dan bersungut-sungut, membuat Venus semakin yakin tentang praduganya.
"Gimana Ven? lo jenguk Biru nggak?"
"Belum tau, masuk yuk udah mau bel."
Walaupun mati-matian ia menjaga ekspresinya agar terlihat seolah tak peduli, Venus tidak bisa mengelak bahwa jauh di lubuk hatinya, gadis itu khawatir dengan keadaan Biru. Tentang apakah dia terluka, apakah dia aman disana, sampai pertanyaan apakah Biru akan dipenjara.
"Jangan ngelamun terus." ucapan Manda membuat gadis itu tersadar.
"Nggak tuh,"
"Halah, saran gue sih ya, daripada lo kepikiran kayak gini, mending lo temuin Biru."
"Gue takut,"
"Apa lagi yang lo takuti? toh, prediksi gue semalem belum tentu salah kan?"
Venus menggeleng lemah, "itu cuma prediksi."
"Nanti gue sama Manda bakal temenin lo." Elena tersenyum dan menepuk pundak Venus sebelum akhirnya suara gebrakan penggaris terdengar dari depan.
"Sedang ada rapat apa Elena dan Venus?"
"Persiapan Hari Kartini." Elena menjawab enteng, "mau ikut buk?"
Bu Siska hanya geleng-geleng kepala dan segera melanjutkan kegiatan mengajarnya. Sudah terlalu pusing menghadapi murid-murid bandel seperti Elena.
---
Bel pulang sekolah berbunyi, saat ketiga gadis itu berjalan menuju tempat parkir, disana ketiga teman Biru juga sudah menunggu. Sepertinya salah satu diantara ketiganya yakin, bahwa Venus pada akhirnya akan tetap ikut. Melihat senyum tipis Arya, Venus menunduk, menyadari bahwa ia telah berhasil dibujuk.
"Kalian ikutin kita aja." Elena mengangguk dan segera menyuruh kedua temannya masuk ke dalam mobil, mengikuti dua motor yang sudah melaju menuju gerbang sekolah.
"Kalian yakin?"
"Dengan lo tetap menunjukkan batang hidung, Biru akan semakin bingung sama perasaannya. Ini kalau prediksi gue bener ya."
"Kalau salah?"
"Pikir belakangan." Kini Manda yang menyahut, walaupun jelas terdengar dari nada suaranya bahwa gadis itu juga tidak yakin."
Perut Venus terasa melilit sepanjang perjalanan, apalagi ketika sudah sampai di kantor polisi. Tangannya dingin bagai es. Entah kenapa ia bisa gugup seperti ini. Dimana keberanian dan kemarahan lo kemarin Ven?!!!
Saat kakinya sudah menginjak lantai kantor, gadis itu terdiam mengamati beberapa orang yang lalu lalang. Di ujung kanan, gadis itu melihat Arya, Radit, dan Alan sudah duduk di depan sebuah bangku yang masih kosong. Ia menggigit bibir bawahnya ketika sadar bahwa bangku itu yang akan diduduki Biru. Orang yang baru kemarin menyakiti perasaannya.
"Venus,"
"Duduk sini." Radit bangkit, menyuruh gadis itu menempati kursinya.
"Nggak usah,"
"Nggak papa, gue temenin." Arya yang sekarang memaksa gadis itu duduk di sampingnya.
Setelah menunggu dengan gusar di kursi yang ia duduki. Akhirnya cowok itu keluar, berjalan sendiri tanpa pengawasan dari petugas kepolisian. Venus membeku, matanya memanas saat melihat luka dan memar di banyak bagian di wajah Biru. Bagaimanapun, ia tidak bisa melihat cowok itu terluka.
"Heh, gimana ceritanya sih?!" Arya langsung melempar pertanyaan.
"Panjang."
"Kenapa nggak ngabarin gue kalau Lo mau balapan?" tanya Arya membuat Biru hanya diam dan menatap cowok itu, tanpa melirik Venus sedikit pun.
"Nggak papa."
"Lo sadar nggak sih apa resikonya?! lo bisa dipenjara." Arya terus-terusan melampiaskan kekesalannya. Cowok itu memang yang paling dekat dengan Biru. Paling berani menentang Biru. Serta paling bertanggung jawab karena telah menarik Biru masuk semakin dalam ke dunia kenakalan remaja.
"Gue bawa tamu buat lo."
Biru baru melirik Venus dan sudah memalingkan wajah ke arah lain walau ia belum menatap gadis itu selama 3 detik.
"Apa lagi?"
"Kita tinggal dulu," Arya bangkit, diikuti teman-temannya meninggalkan ruangan. Menyisakan dua manusia yang sepertinya tidak ingin memulai percakapan sedikit pun.
"Biru,"
"Maafin Venus, maaf belum bisa menepati janji untuk lupain Biru. Tapi setelah ini, Venus janji bakal lebih berusaha. Biru harus tau, apapun yang lagi Biru alamin sekarang, jangan pernah dilampiaskan dengan hal yang bisa membahayakan diri sendiri."
Biru diam dan enggan bicara, justru bibirnya terkatup semakin rapat.
"Venus tau, apapun yang terjadi, kita nggak akan pernah mengulang semuanya."
"Tapi Venus minta satu hal sama Biru, tolong jaga diri Biru baik-baik. Jangan kayak gini, mana Biru yang selalu ingin bebas? mana Biru yang benci berurusan sama polisi?"
Venus menarik napas panjang, "Biru tau, setiap sudut luka di wajah Biru semakin memperparah sakit yang Venus rasain."
"Venus cuma mau, cukup Biru yang menyakiti, jangan sampai Biru tersakiti juga." Venus tersenyum menatap Biru yang barusan menatapnya, "cepet keluar, temen-temen Biru khawatir."
"Ven,"
Venus mendongak, menuju asal suara serak yang tidak pernah kehilangan ketegasannya.
"Maaf,"
"Karena gue, lo jadi Venus yang belum pernah gue kenal sebelumnya."
"Nggak papa."
"Gue bukannya nggak peka, tapi gue emang nggak mau lo suka sama gue yang kayak gini."
Biru membenarkan posisinya, "gue yang salah, udah terlalu jauh bikin lo jatuh."
"Boleh gue minta satu hal?"
Venus terdiam sebentar, perasaannya semakin tidak enak. Setelah terlalu lama berpikir, gadis itu mengangguk. Walaupun ia tau, ada hal tidak baik yang sebentar lagi akan Biru katakan.
"Setelah ini, hapus semua hal tentang gue. Anggap kita nggak pernah kenal. Anggap gue cuma temen seangkatan lo yang selalu jadi langganan guru BP. Anggap gue ini nggak ada."
"Terus?" Venus memberanikan bertanya.
"Kalau bisa nggak usah ketemu lagi, cukup hari ini aja."
Selesai sudah. Biru sudah mengakhiri dengan baik-baik. Sudah saatnya dia berhenti, bahkan pemilik rumah sudah mengusirnya secara terang-terangan.
"Boleh Venus jujur?"
"Silahkan."
"Venus belum pernah setakut ini, Venus belum pernah merasa tidak siap seperti ini. Apalagi harus tidak mengenal Biru." air matanya menetes tanpa disuruh, membuat Venus kesal dengan dirinya sendiri.
"Jangan nangis," Biru menghapus air mata gadis itu, mungkin untuk terakhir kalinya.
"Lo harus tau, rasa sayang gue ke lo sama kayak rasa sayang gue ke Rein."
Dan belum sempat Venus ingin menanyakan hal itu, petugas sudah menarik Biru untuk kembali masuk. Waktu berkunjung sudah habis, dan itu pertanda bahwa waktu bertemu mereka sebagai dua orang yang saling mengenal pun sudah selesai.
Dan anehnya, tangisan itu sudah tidak hadir lagi. Air matanya sudah menolak keluar. Dan yang bisa Venus lakukan hanya menghembuskan nafas panjang lalu berjalan keluar menemui teman-temannya.
Selamat tinggal Biru.
Selamat tinggal juga perasaan yang harus dibiarkan begitu saja sampai kering, entah sampai kapan.
Bagaimana?
Apakah memang jatuh cinta sendirian adalah hal yang
harus Venus lakukan?
Apakah menghapus perasaannya
lagi adalah hal yang harus ia lakukan?
Mungkinkah perjanjian di atas
materai itu harus dibuat lagi?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top