(20)
Sudah tau saya tidak
bisa diharapkan,
Kenapa masih saja
mengharapkan?
Aneh-aneh saja manusia
jaman sekarang.
-Ur
Di pagi hari seperti biasa, mata bengkak Venus dan kantung yang menghitam di bawah matanya menandakan bahwa gadis itu tidak cukup tidur semalam. Rambut yang tergerai indah dibiarkan jatuh tanpa tatanan apapun. Gadis itu melangkah sayu menuju kelas, duduk dengan malas di bangkunya, dan menatap ke arah luar merasakan udara pagi masuk melalui celah jendela kaca di sampingnya yang sedikit terbuka.
"Selamat pagiiiiiiiii!!!!!!"
"Tumben lo--Astaga!!! Apa-apaan Ven? Ada apa sama mata lo?!"
Venus menggeleng pelan, "susah tidur semalem."
"Nonton dramkor?" tebak Manda membuat Venus menggeleng.
"Baca novel?" Gadis itu menggeleng lagi.
"Terus kenapa dong? nggak mau cerita nih? siapa tau gue bisa bantu atau kalau nggak cuma dengerin juga gue sanggup kok."
Venus menoleh, "gue nangis, cengeng kayak anak kecil."
"Loh kenapa?" Manda mulai meringsek mendekati Venus, merangkul bahu gadis itu dan mengelusnya.
"Karena kebodohan gue sendiri."
"Hussttt, jangan suka nyalahin diri sendiri Ven."
Elena yang barusan masuk sambil melepas jaketnya seketika mempercepat langkah saat mendapati kedua sahabatnya berpelukan, "Ada apa nih?"
Manda memelototinya sebal, menyuruhnya berhenti bicara dulu.
"Gue bodoh, Man."
"Gue nggak bisa jaga perasaan gue sendiri."
"Gue nggak peka sama hal-hal kecil."
"Gue selalu mikir semua hal pake perasaan."
"Dan bodohnya, gue nggak bisa ngehilangin kebodohan gue sampai saat ini."
Elena bersitatap dengan Manda, membuat gadis itu menggeleng samar, tanda bahwa dia sendiri juga belum mengerti sepenuhnya apa dan siapa yang sedang Venus bicarakan. Gadis itu hanya berusaha membuat Venus menumpahkan kembali air matanya. Tanpa ingin bertanya lebih.
"Ven,"
Elena dan Manda menoleh ke arah pintu, berbanding terbalik dengan Venus yang semakin menenggelamkan kepalanya di bahu Manda.
"Jangan kesini dulu Biru." bisik Elena pelan sambil melambaikan tangan mengusir Biru.
"Venus."
"Dibilang jangan dulu." Elena mendecih pelan.
Biru tak menghiraukan Elena, cowok itu berjalan ke arah bangku Venus. Membungkuk mendekati wajah Venus yang tertutup surai rambut panjangnya.
"Kenapa? siapa yang buat lo nangis?"
Lo!!
"Ven? kenapa?"
Lo Biru!! perasaan bodoh gue, perasaan lo ke gadis idaman lo, dan tentang kita!!
"Langit lagi?"
Bukan!!!!!
"Udah Ru, jangan diganggu dulu Venusnya." Elena menarik lengan cowok itu untuk menyeretnya keluar kelas, meninggalkan Biru dengan wajah datarnya yang perlahan hilang di balik pintu.
Cowok itu emang nggak peka atau cuma pura-pura nggak tau?!
***
Saat jam istirahat, Venus memilih tidak keluar kelas. Ia sengaja menelungkupkan kepalanya di atas tangan, ingin mengganti tidurnya semalam yang hilang hanya karena merutuki kebodohannya. Baru saja gadis itu terlelap, suara langkah mendekati bangkunya. Membuat gadis itu tak bergeming, menunggu siapa yang datang.
"Bidadari beneran sakit atuh Dit."
"Ada dua sakit yang dia derita, Lan."
Alan dan Radit.
"Waduh apa tuh?" suara kursi ditarik, menandakan Alan duduk di salah satu kursi di kelasnya.
"Demam dan sakit hati."
"Yang kedua nancep tuh."
Kursi satunya ditarik mundur, "Ini salah kita, Lan."
"Nggak ada yang salah, semua kita lakuin juga demi Biru sama Venus."
"Tapi cara kita salah!"
Alan berbisik, "kita ini pasukan ibu peri Radit! menyelamatkan pangeran dan putri dari sakit hati di masa lalu mereka."
"Najis bahasa lo."
"Loh, bener atuh," Alan terdiam sebentar, "tapi endingnya memang nggak sesuai ekspetasi."
"Sekarang siapa yang biang kerok?"
"Lo!"
"Lo kambing!"
"Kita berdua deh, aelah ribet amat."
Kenapa jadi salah mereka?
Kursi di sebelah Venus diduduki seseorang, dan orang itu adalah Radit. Ia memandangi Venus dengan rasa bersalah, tau betul bagaimana perempuan jika sudah sakit hati.
"Kita harus gimana?"
"Lo yakin Biru nggak suka sama Venus?"
Radit menoleh, "Yakin, karena Biru cuma suka sama Rein. Kan gue udah pernah bilang, itu nggak bakal pernah berubah."
"Tapi kalau kita ternyata udah bener?"
Radit berbisik galak, "Kalau kita bener, Venus nggak bakal sakit hati!"
Alan menarik nafas beratnya, "Maafin kita ya bidadari."
"Sorry Ven,"
"Tapi bener deh, Biru tuh pinter banget lo. Gue kalau jadi cewek juga pasti bakal baper kalau digituin."
Radit terkekeh, "Lo belum kenal malaikat pencabut hati kita sih."
"Gimana Dit? taruhan selesai aja kali ya? kita traktir Biru aja deh, kasian Venus."
"Oke, selesai."
Taruhan?
Taruhan dengan Biru?
Tentang dia?
Jadi?
Dan semenjak itu, Venus semakin membenci kebodohannya, yang dengan seenak itu termakan oleh tipu rayuan Biru dan teman-temannya.
Benar kata orang, Biru adalah iblis dalam tubuh malaikat. Sempurna dan mematikan. Dia yang salah, telah menjatuhkan hati dan menginjak akal sehatnya.
Dia sudah mencintai orang yang melukainya selama ini.
---
"Ru, selesai aja deh." Alan menepuk bahu Biru yang sejak tadi menikmati makanannya dengan tenang.
Radit menoleh, "lo boleh pesen apa aja sebulan ini, kita yang bakal bayar.Gue ngaku, kita yang kalah."
"Oke."
"Lo yakin nggak ada perasaan apapun ke Venus?" tanya Alan sekali lagi, tepatnya tidak rela jika uang jajannya harus terpotong karena makanan Biru.
Biru diam, lalu menggeleng, dengan wajah datarnya seperti biasa.
"Tamat sudah, nggak jadi ngajak jalan cewek nih gue."
"Gue tambah parah, nggak bisa beli tiket konsernya Blackpink."
Radit mengernyit aneh, yang hanya dibalas Alan dengan seringai bodohnya seperti biasa.
"Bercanda, cemburu amat."
"Ru, kasian tapi Venus." Alan masih belum menyerah.
Biru mendongak, "yang maksa gue gitu siapa?"
"Kita."
"Ya udah, bukan salah gue dong."
Suara dentuman di meja serentak membuat ketiganya menoleh, terutama Alan yang spontan menyentuh dadanya berlagak serangan jantung. Radit terdiam kaku, jakunnya naik turun berusaha untuk menelan makanan yang masih ada di mulutnya.
Venus menyodorkan buku novel milik Biru yang tadinya dia banting ke meja. Gadis itu tidak seperti biasanya, pandangan Venus tajam dan kosong, bahkan Elena sekalipun tidak berani menghentikan gadis itu. Kedua bola matanya menatap tepat ke arah Biru, yang hanya dibalas Biru dengan pandangan biasa biasa saja.
"Terimakasih, untuk novel dan semuanya."
Biru diam.
"Sama-sama."
"Gue kecewa sama lo, semua ini palsu kan?" tanya Venus dengan nada dingin.
"Iya."
Venus diam, berusaha sekuat mungkin tidak menumpahkan genangan air yang sudah ia sembunyikan mati-matian.
"Pertemanan kita selesai."
"Oke."
"Maaf udah ganggu hidup lo selama ini, maaf juga udah terlalu bodoh suka sama orang kayak Biru!" Venus beranjak, membuang muka dan segera melangkahkan kaki keluar dari kantin belakang.
"Nggak usah minta maaf."
Langkah ketiga gadis itu berhenti, Alan dan Radit sama sama menahan nafas, menunggu kalimat pedas apa yang akan terlontar dari mulut seksi milik Biru.
"Dari awal kita emang nggak ada apa-apa kan, jadi nggak ada yang salah disini."
Venus menoleh, "Iblis!"
"Soal perasaan lo," Biru melanjutkan ucapan tanpa menghiraukan umpatan Venus. "Matiin."
"Semudah itu Biru bilang?"
Biru beranjak mengambil minuman di lemari pendingin, "Lo kan sibuk, pasti ada kerjaan lain kan selain mikirin gue."
Venus yang kini diam, meredam segala emosi dan rasa sakit hati yang belum juga selesai.
"Kita ini siapa Venus? Lo siapa gue?"
Elena berusaha menarik Venus menjauh dari sana, tapi gadis itu tak bergeming.
"Kita bukan siapa-siapa." Venus menjawab dengan nada ketus sekarang.
"Itu tau, terus kenapa lo marah kalau gue bahagia sama pilihan gue?"
"Biru cukup!" Manda yang saat ini turun tangan, tidak tahan melihat Venus terus-terusan dipermalukan. Gadis itu segera menyeret Venus pergi dari sana tanpa kompromi terlebih dahulu.
Kini tinggal Alan dan Radit yang saling melirik Biru diam-diam. Cowok itu tetap tenang, aura dinginnya kembali mencekam setelah perdebatan siang itu. Perlahan tangannya meremas kaleng soda yang telah kosong, membuat bunyinya bergemeretak mengisi kesunyian.
"Sekolah kita musim salju sepertinya, dingin sekali disini." Alan bergumam, bersiap untuk memesan makanan dan menghindari kondisi canggung diantara mereka.
"Ru,"
"Diem."
***
Sepulang sekolah, Elena dan Manda memutuskan untuk ikut gadis itu ke rumahnya. Mereka takut Venus kenapa-kenapa, bisa jadi kan dia lompat dari balkon kamar atau menggantung diri di kamar mandi karena frustasi? Hi, jangan sampai.
"Udah Ven, buang-buang tisu tau." Elena memandang miris kumpulan sampah tisu yang teronggok di karpet kamar tidur Venus.
"Jahat banget! Venus bego banget sih!" dia kembali merutuki kebodohannya.
"Kan Manda udah bilang, Biru itu berbahaya! Bukan lo yang salah disini Ven, tapi cowok nggak tau diri itu! Dapet karma baru tau rasa."
Venus menerawang jauh kembali ke masa dimana ia dan Biru masih sama-sama, tenggelam dalam lamunannya sementara Elena dengan sabar mengelus bahu gadis itu untuk menenangkan. Ia juga merasa bersalah disini, karena dulu memaksa Venus untuk tidak meragukan Biru. Tapi bener deh, Biru tuh nggak gitu dulu. Dulu Elena!
"Biru tuh terlalu setia sama Rein."
"Dan tau sendiri kan, semua yang keterlaluan itu nggak baik." Manda menyahut sambil mengganti tayangan televisi di depannya.
"Kalian udah pernah ketemu Rain?"
Keduanya menggeleng serempak, Venus kembali menggambil selembar tisu, menghapus air mata yang sejak tadi tidak mau berhenti.
"Bahkan saat lo putus sama Langit, lo nggak segalau ini Ven." Elena kini angkat bicara.
"Lagian gantengan Langit tau daripada Biru, gitu lo secengeng ini waktu berantem sama Biru."
"Ini tuh bukan berantem Man! ini tuh pisah!" Venus membela diri, "lagian gantengan Biru kemana-mana."
Rupa gadis itu sudah tidak karuan, matanya semakin sembab, rambutnya berantakan, dan hidungnya sudah semerah tomat.
"Ngaca sana, lo jelek banget sumpah."
"Biarin, cantik jelek juga Biru nggak bakalan suka."
"Sesi curhat colongan," Elena merebahkan diri ke kasur.
"Biru tuh pinter banget ya, ngasih kode seolah olah gue itu orang yang dia suka, ngasih perhatian, cuek tapi romantis, ngajak gue kesana sini, sampai gue lupa kalau orang yang bisa berpura-pura seolah dia ngejar kita itu buaya."
"Apalagi jaman sekarang kan ya, pacar kita bilang sayang aja bisa jadi dia juga lagi jalan sama selingkuhannya di luar sana."
Venus mengangguk setuju, "Gue pernah ketemu Rain, anaknya cantik, nama panjangnya Rainata."
"Dimana Ven?"
"Ada lah pokoknya."
Manda menoleh, "Emangnya Biru nggak pernah kelihatan kalau mau ninggalin lo ya Ven?"
"Kelihatan, sering malah."
Gue bisa pergi kapan aja
Satu permintaan gue, jangan suka sama Biru ya Ven.
Biru suka Rein.
Bentar lagi lo juga bakal gue tinggal.
"Banyak banget ucapan selamat tinggal dari Biru, yang bodohnya Venus nggak anggep itu hal serius."
Manda mengernyit, Biru emang beda, dimana-mana orang kalau mau PHP itu nggak bilang-bilang, lah ini malah frontal.
"Kalian mau tau rahasia Venus nggak?"
"Apa lagi?"
Venus beranjak dari kasur dan menuju laci meja belajarnya, gadis itu mengambil buku diary bersampul biru dengan bunga kerinh berukuran kecil yang ia tempel dengan selotip bening.
Elena bangkit dari tidurnya, Manda pun beranjak mendekati Venus ke tempat tidur, mulai penasaran dengan apa yang akan gadis itu tunjukkan.
"Jangan bilang.."
"Husss, lihat dulu." Venus membuka buku diary nya dan memperlihatkan tulisan yang sudah mulai pudar.
Kedua gadis itu saling pandang saat Venus membuka lembar demi lembar, memperlihatkan foto demi foto yang ia tempel rapi-rapi dengan hiasan di sisi kiri dan kanan. Gerakan tangannya berhenti di lembar tengah, disana berisi tulisan yang akhirnya ditutup dengan tanda tangan di atas materai, menandakan ia sedang membuat perjanjian dengan dirinya sendiri.
"Bener kata gue kan, selama ini lo belum move on dari Biru?" tanya Elena hati-hati.
Venus mengangguk dan mengamati tulisan tangannya sendiri.
Maaf, aku menyanyanginya, sudah bilang, tapi dia tidak dengar. Dulu sempat pantang menyerah untuk jatuh cinta sendirian, tapi ternyata melelahkan juga akhirnya. Sampai detik ini, akhirnya kuputuskan untuk beranjak saja, menimbun dalam dalam perasaan, dan beramnesia seolah tidak mengenal. Selamat tinggal Biru, telah kutetapkan untuk tidak lagi menyayangimu. Semoga bahagia dengan siapapun itu.
Venus,
Makhluk Bumi yang sedang ingin melupakanmu.
Ttd
"Sejak tanda tangan di atas materai ini, gue berusaha lupain dia."
"Dan ternyata, lo melanggar perjanjian lo sendiri Ven." Manda bergumam.
"Iya, tapi setelah ini semua bakal lebih mudah kan? gue pernah lupain dia, pasti gue bisa lupain dia lagi."
"Sesayang itu lo sama dia Ven?" Manda menggelengkan kepala heran, dari awal masuk sampai sekarang, ternyata temannya belum juga move on?
Elena menghembuskan nafas pelan, mengambil alih buku diary bewarna biru itu, membuka halaman pertama, tertera nama Venus disana. Dibuat dengan sangat indah, Venus memang jago melukis, batinnya.
Venus Elliana Clarein
Elena diam, matanya mengamati satu persatu huruf yang diukir dengan sempurna itu. Venus Elliana Clarein, nama yang bagus. Tapi...
"Lo pernah ketemu Rain? Rainata?" tanya Elena tiba-tiba, membuat Venus melirik bukunya sebentar sebelum akhirnya mengangguk.
"Tapi Ven, seinget gue, yang Biru suka itu Rein, bukan Rain. Pake E bukan A."
Elena menatap kembali buku yang ia pegang saat ini, "Dan disini, nama belakang lo adalah Clarein."
"Lo nggak pernah sadar, bisa jadi Rein itu lo?"
"Clarein, Rein?"
Dan seketika, ketiganya diam atas prediksi Elena malam itu.
Bagaimana?
Rain atau Rein Biru?
Kalau Rein itu Venus,
Kenapa kamu menyakitinya?
Apa yang sedang kamu rencanakan?
menyakiti dan disakiti dengan permainan mu sendiri?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top