(2)

Lagi jaman, sayang duluan
kepastian belakangan.
Katanya, "Jalanin dulu aja."
Jalan terus tanpa tujuan, emang nggak capek?

-Ur

VENUS terlihat beberapa kali menguap, baginya pelajaran Bahasa Inggris memang selalu membosankan. Apalagi ditambah dengan guru berkacamata yang mengoceh panjang lebar dengan bahasa asing di depan sana. Bukannya Venus sebodoh itu, tapi namanya bukan bahasa sendiri, ya tetep nggak ngerti kalau ngomongnya cepet banget.

"Gue ngantuk banget, Man. Jam pulang masih lama ya?"

Manda mengeluarkan ponsel dari dalam kolong meja dan menoleh pada Venus, "Lamaaa, toilet yuk."

"Males ah, suruh ngomong pake Inggris juga. Ribet banget perasaan, mau pipis doang padahal."

"Nggak papa, biar bisa cus ke perpus, ngantuk juga nih gue."

"Eh, emang nggak papa bolos?"

"Aelahh, nggak papa, sekali kali juga. Lo harus bikin kenangan banyak di SMA Ven, biar ntar ada bahan yang bisa diceritain ke anak-anak lo."

Venus memutar bola mata malas, "Lo yang ngomong ya tapi."

Manda mengangguk dan mulai memasukkan ponselnya ke dalam saku, "Yuk."

Mereka berdua bangkit, sebagian isi kelas menoleh saat kedua orang itu maju ke depan, apalagi ekspresi Manda seperti menahan kesakitan. Gadis itu mendekati Pak Ridwan dengan Manda yang meminta izin menggunakan Bahasa Inggris. Setelah laki-laki itu mengizinkan, keduanya mengangguk sopan dan segera berjalan meninggalkan kelas.

"Gila ya lo! Barusan lo izin ke UKS karena perut lo sakit kan, sakit beneran mampus!"

"Benerann, tapi tadi pagi sih sakitnya, sekarang udah nggak." Jawab Manda sambil nyengir tak berdosa.

"Kita kemana nih, Man?"

"Perpus aja, tempatnya adem, ada wifi juga. Kalau UKS, ntar ribet ditanyain sakit apa, bohong lagi dosa lagi gue."

Venus mengangguk pasrah, keduanya berjalan menuju ruangan paling dihindari oleh kebanyakan siswa. Selain harus hening, tempat ini terlalu membosankan bagi mereka. Pasalnya, hanya ada dua penjaga perpus dengan berpuluh puluh rak serta bangku untuk membaca.

Apalagi jam segini, saat baru saja mereka membuka pintu, dua orang penjaga langsung melirik ke arah mereka dan kembali fokus pada kegiatan masing-masing. Venus bukan pecinta buku, jadi berada di tempat ini juga bukan merupakan favoritnya. Tapi nggak papa lah, daripada tersiksa di kelas.

"Gue tidur ya, Man."

"Gue juga."

Dan setelah mengucapkan kalimat itu, keduanya sama-sama menelungkupkan kepala sambil memejamkan mata. Baru sekejap saja, mereka sudah mulai masuk ke batas sadar masing-masing. Apalagi didukung dengan hembusan suhu dingin dari AC dan suasana hening di sekitar mereka. Tempat ini memang kamar idaman di sekolah selain UKS.

Namun..

"Gue pasangin alarm, biar lo bisa bangun pas pulang nanti." ucap seseorang sambil meletakkan kembali ponsel Venus di samping tangan gadis itu, lalu beranjak pergi.

Venus samar-samar mendengar suara seseorang berbicara padanya. Tapi ia tidak benar-benar sadar, gadis itu merasa bahwa kejadian barusan hanyalah imajinasi pikirannya yang mulai lelah. Tapi jika direalisasikan, kenapa suara ini seperti suara milik?

Langit?

Bel istirahat berbunyi nyaring memenuhi seluruh bagian sekolah. Beriringan dengan suara alarm dari ponsel Venus yang masih tergeletak tak berdaya seperti pemiliknya. Manda yang mendengar suara keras dari sebelahnya spontan mengangkat kepala dan menggosok kupingnya dengan pandangan kesal. Suara apaan sih ini?

"Astaga, Venus."

"Ven, bangun."

"Venus ih, jangan kebo."

Gadis itu menggeliat dan mulai mencari posisi nyamannya lagi. Tapi sebelum itu, Manda sudah buru-buru menarik lengan Venus hingga terpaksa membuatnya membuka mata. Venus menguap dan mengucek matanya untuk menetralkan cahaya yang menyorot terang dari jendela di sebelah Manda.

"Apa sih?"

"Lo ngapain sih pake pasang alarm!"

"Nggak!"

"Aduh si ibuk pake amnesia segala, udah ah ayo pulang."

Venus menoleh keluar untuk membuktikan ucapan Manda. Benar saja, koridor mulai ramai dengan anak-anak yang berhamburan untuk segera meninggalkan sekolah. Gadis itu mengangguk, lalu bangkit dan berjalan di samping Manda yang masih terus mengomel semenjak keluar dari perpustakaan.

Siapa yang pasang alarm di hp gue ya?

***

Kak Langit :
Maaf Ven, aku kayaknya nggak bisa anter kamu pulang hari ini. Ada tambahan bimbel mendadak ternyata. Maaf banget ya, kamu pulang pake taksi aja, nanti uangnya aku ganti. Jangan pake angkot, kasian kamunya.

Sekali lagi, aku minta maaf ya.

Venus memasukkan ponselnya ke saku tanpa memberikan balasan. Gadis itu buru-buru menuju gerbang, soalnya setau dia susah kalau harus cari angkot jam segini. Tau begini, seharusnya dari tadi saja dia pulang. Kan kalau jam pulang sekolah masih banyak angkot yang mangkal. Tapi, kalau udah sepi begini mana ada.

"Kesana aja deh,"

Langkahnya berjalan menuju halte untuk menunggu angkot atau kendaraan umum lain yang bisa ia gunakan untuk pulang. Bukan yang pertama kali Langit tiba-tiba membatalkan untuk mengatarnya pulang, mungkin jika cewek lain sudah kesal setengah mati. Tapi Venus tetaplah Venus, gadis itu terlalu biasa dengan keadaan seperti ini, jadi dia memilih diam saja.

Venus yang awalnya memperhatikan jalan spontan menoleh saat suara ribut-ribut masuk ke dalam indra pendengarannya. Gadis itu memicingkan mata untuk lebih memfokuskan pandangan. Dari ujung jalan, ada segerombolan anak laki-laki seumurannya saling berkejaran sambil melempar sesuatu. Venus menoleh ke arah penjual koran dan tukang tambal ban yang buru-buru membereskan tempat dagangannya.

"Ada apa sih, Pak?"

"Tawuran, cepet pergi atuh Neng, bahaya lo."

Venus terdiam, jantungnya berdetak tak semestinya. Antara bingung, takut, dan panik bercampur aduk menjadi satu. Matanya mengarah lagi ke arah kelompok tawuran yang semakin mendekat. Ada beberapa wajah yang ia kenal, berarti siswa dari sekolahnya juga terlibat dalam aksi ini. Salah satunya Arya, cowok yang duduk tepat di belakang bangku Manda. Venus tak bergerak sedikit pun, entah kenapa kakinya terasa kaku untuk diajak melangkah pergi dari sana. Yang ia lakukan hanya mengamati Arya, berharap cowok itu melihatnya dan membantu Venus menyingkir dari halte.

"Minggir, woe!"

Kesadaran gadis itu kembali, seseorang sudah berada di sebelahnya sambil membawa balok kayu yang ia gunakan untuk menghalau lemparan batu dari arah jalanan. Venus baru sadar, keadaan jalan sudah sepi. Kendaraan lain memilih menyingkir ke bahu-bahu jalan atau memutuskan menyelamatkan diri di rumah warga terdekat.

"Tuli ya lo! minggir, lo mau mati?!"

Gadis itu menatap cowok di sebelahnya, ia mengenalnya, ia mengenal siapa laki-laki dengan kalung hitam itu, dia Biru. Biru menoleh, menampilkan secara jelas noda memar dan bercak darah di sudut bibirnya. Membuat Venus secara tidak sadar ikut meringis saat melihat luka itu.

"Minggir!"

"Biru,"

Biru terdiam, ia menatap lurus kedua manik mata Venus sekitar dua detik, membuat yang ditatap terpaku untuk sesaat. Mata Biru menenangkan, mirip gelombang ombak di samudra saat tidak terjadi badai. Pandangannya tajam, dengan sorot tegas yang mendominasi disetiap pergerakan tatapannya. Membuat Venus secara tidak sadar hampir terseret masuk ke dalam pusaran itu.

"Gue cabut dulu, Ar!" Biru berteriak ke arah Arya lalu segera menarik tangan Venus menjauh dari sana.

Ia membawa gadis itu masuk ke dalam lingkungan sekolah. Setidaknya tempat ini lebih aman daripada berdiri di pinggir jalan. Biru menghentikan langkah saat mereka telah berada di taman depan dengan satu gazebo disana. Cowok itu menoleh ke arah Venus yang masih menunduk takut.

"Lo disini aja, gue mau kesana lagi."

Baru saja Biru akan melangkah pergi, spontan tangan Venus menghalau lengan cowok itu untuk tidak pergi. Entah dengan alasan apa, Venus hanya tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada Biru. Jika bisa ia juga ingin Arya pergi dari sana, ia ingin tawuran itu dihentikan. Ini tidak benar.

"Jangan pergi, Ru."

"Lepas."

Venus mendongak, "Lo bisa luka, dengan kayak gini lo nyakitin diri lo sendiri."

"Biru! nggak usah balik, ada polisi." Arya yang baru saja datang duduk terengah-engah di samping Venus, cowok itu melepas ikat kepalanya dan menatap Biru yang barusan menoleh.

"Yang lain gimana?"

"Udah bisa kabur," Arya perlahan melepas sepatunya. "Gila ya, mereka nggak bilang kalau pada bawa senjata, gue kena timbuk tai."

"Ada yang luka, Ar?" tanya Venus membuat Arya menoleh ke arah gadis itu.

"Ada, udah biasa." Arya tersenyum sambil mengacak jambulnya.

Biru menarik gadis itu pergi, sebentar lagi pasti banyak anak cowok lain yang akan kesini. Ia hanya menjauhkan Venus dari teman-temannya, takut kalau gadis itu menjadi sasaran godaan serigala ganas semacam Alan, atau bahkan Radit. Biru menoleh pada Arya dan berpamitan pulang lewat isyarat tangan.

"Hati-hati lo bawa anak orang."

"Bilang ke yang lain gue duluan."

"Siap bos,"

Venus melirik ke arah Biru dalam diam. Cowok itu tidak berbicara apapun sejak dari gazebo. Venus pun yang ingin menanyakan sesuatu akhirnya ikut diam dan hanya berjalan mengikuti Biru ke arah parkiran. Suasana semakin canggung, apalagi Venus sadar bahwa Biru mungkin tidak pernah mengenalnya. Kalau soal dia kenal Biru mah udah biasa, seluruh sekolah juga tau Biru siapa.

"Naik,"

"Eh?"

"Naik! Gue anter."

Venus mengangguk, gadis itu menaiki motor Biru dan membenarkan posisi duduknya di boncengan. Ia melepas jaket lalu menutup pahanya menggunakan benda itu. Untung saja ia selalu membawa jaket, biasanya kan kalau sama Langit bawa mobil, bukan motor gede yang setinggi ini.

"Nggak usah pegangan, gue bawanya nggak ngebut."

"Siapa juga yang mau pegangan."

"Cewek kan biasanya modusan."

"Nyebelin banget sih."

Di perjalanan pulang, tidak ada obrolan apapun kecuali Venus yang mengarahkan Biru arah menuju rumahnya. Sampai di depan gerbang perumahan, Venus menepuk bahu Biru untuk menyuruhnya berhenti. Rumahnya masih harus masuk ke dalam melewati beberapa blok, tapi ia sudah terbiasa jalan sampai kesana. Tanpa basa basi pun akhirnya Biru menghentikan motor tepat di depan gerbang yang ditunjukkan Venus.

"Makasih, Ru." Biru mengangguk dengan satu tangannya yang bergerak menyalakan kembali mesin motornya untuk bersiap pulang.

"Biasanya cowok minimal nawarin sampek dalem, ini begini amat."

Dan batin hanya sebatas batin, Venus menatap kesal punggung Biru yang sudah menjauh bersama motor besarnya itu. Ia menghembuskan nafas berat lalu berjalan masuk ke dalam perumahan. Sepanjang perjalanan Venus mengutuk spesies semacam Biru yang sama sekali tidak punya tingkat kepekaan. Bukannya berharap, tapi heran aja gitu.

***

"Hah?! lo beneran dianter pulang sama Biru?!" Manda bertanya dengan nada kaget sekaligus heran.

Venus mengangguk, ikut duduk dari posisi tengkurapnya di kasur. Malam ini Manda menginap lagi di rumah Venus, orang tua Manda keluar kota dan gadis itu takut kalau harus di rumah sendirian. Maka, dengan berbaik hati Venus menyuruhnya untuk menginap di rumahnya malam ini.

"Orangnya ngeselin!"

"Udah gue bilang kan! Biru itu aneh banget, dia beda dari cowok biasanya, nggak perhatian, nggak romantis, nggak peduli, dan.."

"Dan?"

"Playboy! Dia tukang PHP!"

Venus mengerutkan alisnya, wajah Biru memang bisa dibilang tampan, sangat tampan. Jadi masuk akal jika seseorang seperti Biru memanfaatkan kelebihan itu untuk hal-hal semacam pemberi harapan. Lagian mana mungkin seorang Biru mau sembarangan cari pacar. Kriterianya pasti tinggi.

"Biru belum punya pacar?"

Manda mengangguk, "Tapi yang suka banyak, ditolak semua. Sering juga dia sedikit perhatian gitu, tapi pas ceweknya baper, dia pergi."

"Katanya sih, kabar burung atau nggak gue nggak tau ya, banyak orang bilang dia belum bisa move on dari masa lalunya."

"Intinya, Biru baik karena memang dia sadar kalau manusia harus baik, bukan karena peduli apalagi sayang."

Venus terkekeh geli, "Tau banget lo berita gituan. Bentar, gue mau angkat telfon Kak Langit dulu ya."

"Hadeh, kalau udah ada nama Kak Langit aja lo sumringah banget, ya udah sana."

Venus menepuk perlahan pipi Manda sebelum berlari menuju balkon untuk menerima telfon dari Langit. Bukan hal biasa mereka seperti ini setiap malam, setelah pulang les Langit selalu menyempatkan untuk memberikan kabar atau sekedar mengobrol ringan lewat telefon bersama Venus. Sayangnya, sampai sekarang masih belum ada kepastian yang jelas tentang siapa mereka.

Hati-hati Venus,
Soalnya sekarang lagi jamannya belum ada kepastian tapi udah sakit hati duluan.

Diantara kalian ada yang begitu nggak?

Kalau kata Biru, nggak usah pacaran aja. Percuma, lo dikasih kepastian aja kadang masih disakiti. Apalagi kalau nggak dikasih kepastian, siap-siap ditinggal aja kalau ada yang lebih bagus.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top