(18)

Jika tidak sungguhan tertarik.
Jangan diutak atik.
Ini hati, bukan rubik.

Sore juga
makhluk Uranus.
Dapat salam dari Bumi,
katanya dia suka.
Tapi, bingung.

"Lama-lama lo juga bakal gue tinggal."

Sejak jam pertama pelajaran Bu Dewi hari ini,  entah kenapa kata-kata Biru kemarin masih terus teringat. Padahal jika dipikir-pikir, Biru sudah sering mengatakan ucapan selamat tinggal semacam itu. Hanya kenyataannya saja yang memang belum terealisasikan. Eh jangan!

"Manda,"

Manda menoleh dengan wajah mengantuknya, "Apa?"

"Ada nggak sih orang yang bilang dulu sebelum dia hilang?"

"Bege, lo pikir pamitan apa pake bilang dulu? dimana-mana mau ngilang ya tinggal ngilang aja."

Venus diam, tiba-tiba rasa takutnya semakin menjadi.

"Tumben lo tanya ginian Ven, emang kenapa?"

"Nggak papa," Venus tersenyum dan menggeleng singkat.

Hari ini mulai kuikrarkan sesuatu dalam tekad dan niat.

Bahwa sebelum dia benar-benar hilang.

Akan kuusahakan agar waktunya yang tersisa dapat kumanfaatkan sebaik mungkin.

Venus menghembuskan nafasnya sekali lagi serta mulai memfokuskan pandangan ke papan tulis, meski ia sudah tertinggal jauh dari penjelasan. Sudah biasa, ia terbiasa memahami segalanya sendirian tanpa adanya penjelasan dari siapapun. Termasuk tentang kepergian Biru dan perubahan perasaannya. Tunggu, diapun bingung pada bab ini. Sudahkah dia menyukai Biru lebih dari itu?

---

Venus langsung bangkit saat bel istirahat berbunyi nyaring, diikuti Manda dan Elena tentunya. Mereka serentak melangkahkan kaki tanpa perlu berdiskusi terlebih dahulu, cacing di perut sudah berdemo sejak tadi dan hal ini tentu tidak bisa lagi ditolerir. 

Sampai disana, pemandangan seperti biasanya langsung tersaji secara otomatis. Kantin penuh dengan siswa yang sama-sama kelaparannya. Belum ada bangku kosong sama sekali, semua sibuk menyantap makanan tanpa memperdulikan mereka yang baru saja datang atau masih berbaris dalam antrian.

"Yah rame." Manda mengeluh lumayan keras.

"Disana kosong, tapi sama komplotannya Biru, mau nggak?" tanya Elena pada Manda yang sepertinya enggan satu meja dengan para pentolan sekolah itu.

"Ya udah deh, mau gimana lagi."

Elena berjalan terlebih dahulu menuju bangku yang diduduki Biru dan teman-temannya. Sementara Manda memilih mengikuti Venus yang sudah berpisah menuju antrian panjang di ujung kantin.

"Duduk mana jadinya?" tanya Venus saat Manda sudah muncul di sebelahnya.

"Sama Biru dan antek-anteknya."

Venus reflek mengedarkan pandangan dan berhenti tepat di meja ujung yang sudah diduduki Elena. Biru ada disana, dengan rambut berantakan dan kalung hitam khasnya. Venus sempat mengerutkan kening saat Manda mengatakan bahwa mereka harus bergabung dengan Biru. Karena tidak biasanya para pembuat rusuh itu memilih kantin depan. Tapi ternyata benar, Biru ada di tempat itu siang ini.

"Biru tumben ada disini?" tanya Venus setelah selesai memesan.

"Belakang tutup."

"Daritadi ya?"

"Dari kemarin neng malah, kita kan yang punya lapak." saut Alan yang barusan mencomot tahu goreng pesanan Manda.

"Biru nggak makan?"

"Udah."

"Halahhh, bohong itu mah, dia dari kemarin nggak makan Ven." sekarang gantian Radit yang menimpali.

"Mau bagi nggak?" Venus menawari nasi gorengnya.

"Buat lo aja lah."

"Nggak bakal habis, ini porsinya kebanyakan."

"Terus kenapa pesen?"

"Lagi pengen aja, bantuin ya?"

Biru menghela nafas berat sebelum akhirnya mengangguk. Ia menyuruh Venus makan terlebih dahulu nanti sisanya baru dia yang menghabiskan.

"Kenapa ya cewek takut gendut kalau makan banyak?"

Elena menoleh pada Alan dengan ekspresi juteknya, "Biar badan nggak kayak kasur bego!"

"Padahal kan ya nggak enak juga kalau lihat cewek kurus-kurus banget, datar kayak papan. Mana yang bisa dilihat coba?"

"Lo diem apa gue sumpel pake bakso?" ancam Elena membuat cowok itu hanya nyengir.

"Lo diet ya?" tanya Biru pada Venus secara tiba-tiba.

"Nggak lah, Venus mah walaupun makan banyak juga tetep kurus."

"Cacingan ya lo Ven?" tanya Alan langsung mendapat pelototan tajam dari Venus, "enak aja!"

"Nggak usah diet-diet."

"Kenapa tuh bang?" tanya Radit dengan senyum menyebalkannya.

"Gue nggak suka cewek yang maksain diet, ntar mati mampus."

Venus menoleh, "Ribet kan cowok, katanya nggak suka cewek diet, tapi pas ditawarin cewek gemuk nggak mau, milihnya model. Gimana sih maunya?"

"Buat apa sih tubuh kayak model tapi nggak bisa bikin nyaman?"

Hening seketika sebelum...

"MASUK PAK EKOOO!!"

***

Seperti yang terjadi akhir-akhir ini, Venus yang baru saja keluar dari kelas langsung tersenyum saat Biru sudah duduk di bangku depan kelasnya sambil memainkan ponsel. Gadis itu ikut duduk di samping Biru dan sengaja menusuk-nusuk lengan cowok itu untuk menggodanya. 

"Tuan putri udah pulang nih."

"Tuan putri pala lu."

Venus berdecak, "Dih jahat banget, ayo pulang Ru."

"Bentar, nanggung dikit lagi."

"Ngapain sih?" tanya Venus sambil mendekatkan kepalanya ke arah ponsel Biru.

"Minggir ah."

"Mau tau itu apa."

"Game, nggak bakal ngerti, udah sana."

"Ah bete. Biru mah kelamaan, ayo pulang, udah lengket ini badan Venus."

"Tetep cantik."

Venus diam saat kalimat terakhir Biru datang bersamaan dengan gerimis yang mulai membasahi kota. Sore itu hujan lagi, tanpa ada pertanda mendung, rintik air yang tak diundang tiba-tiba bergerak mendekat melaksanakan tugasnya. 

"Biru, hujan nih."

"Ya terus?"

"Biru sih kelamaan, kita kapan bisa pulang kalau kayak gini?"

Biru memasukkan ponselnya yang baru saja ia matikan, "Nikmatin aja."

"Venus pengen pulang."

"Ya mungkin ini rencana tuhan kali, biar lo sama gue lebih lama."

"Dih, ngapain juga sama Biru lama-lama?"

Biru menoleh, "Sok sok an nggak mau."

Venus menatap butiran air yang jatuh dari genting dengan seksama, seolah ada sesuatu yang menarik disana. Biru ikut mengamati, mencoba mencari hal yang bisa disebut indah atau sejenisnya, tapi sayang, yang ia anggap indah hanyalah senja, bukan yang lain.

"Bagus banget ya hujan kali ini."

"Apa yang bagus sih?"

"Hujannya dateng pas langitnya lagi cerah, bentar lagi pasti ada pelangi."

"Nggak jelas," Biru bergumam sambil menyampirkan jaketnya ke arah Venus, "Dingin."

"Tunggu sini dulu." 

Biru memperingati Venus singkat sebelum kaki panjangnya berbalik menuju ujung lorong. Gadis itu hanya mengamati punggung Biru dari kejauhan, mencoba membaca setiap perlakuan yang takutnya disalah artikan oleh hatinya. Biru menyuruhnya menunggu, suatu hal yang selalu berdiri dalam ambang ambigu. Lalu akankah dia harus menunggu juga dalam hal lain? kemana perasaannya pada Langit belakangan ini? apakah kecewa membuat seseorang jatuh cinta semudah itu? atau perasaanya sudah hadir sebelum rasa kecewanya muncul?

"Kesambet gue tinggal pulang lo."

Venus terkesiap, "Lah, kok udah disini aja."

"Terbang tadi, nih kopi." Biru memberikan satu cup kopi hangat pada Venus. Satu lagi ia pegang dengan asap yang masih mengepul.

"Ah panas panas," Venus menjauhkan bibirnya dari ujung cup sambil menahan panas yang langsung menyengat permukaan lidah. 

"Gimana sih?"

Biru meletakkan cup miliknya di samping ia duduk sebelum akhirnya merebut cup kopi milik Venus. Cowok itu meniup kopi milik Venus dengan mimik serius, dengan satu tangannya yang tiba-tiba sibuk mencari sesuatu di dalam tas.

"Minum air dulu biar nggak melepuh." Biru menyerahkan botol air mineral yang masih utuh

"Makasih Biru."

Biru hanya mengangguk dan kembali sibuk dengan usahanya membuat kopi milik Venus lebih dingin. Gadis itu tersenyum di balik botolnya, diperlakukan seperti inilah yang membuat Venus terkadang lupa kalau Biru dan dia tidak pernah ada hubungan apa-apa.

"Udah dingin nih, lain kali tiupnya agak lama."

"Tadi udah lama."

"Cuma sekali lo sebut lama?"

Setelah itu keduanya sama-sama diam, yang terdengar hanya gemericik air dan suara tiupan baik dari Venus maupun Biru. Tidak ada bahan obrolan yang ingin dibahas kali ini, keduanya asik bercengkrama dengan suasana dingin.

 "Bir-"

"Ven," Biru lebih dulu menyela, membuat Venus terpaksa menghentikan panggilannya dan menoleh.

"Menurut lo, gue harus ungkapin perasaan gue nggak?"

Hening, cukup lama.

"Ya Biru capek nggak mendem perasaan terus?"

"Capek."

"Ya udah ungkapin dong."

Biru diam sebentar, "Kalau dia nggak punya perasaan yang sama?"

"Bikin dia jatuh cinta juga sama Biru. Ajak dia jalan-jalan, ajak dia keluar, ajak dia nyaman sama Biru."

"Udah pernah, tapi nggak tau gimana dia."

"Venus aja yang jadi temennya Biru nyaman kok, apalagi dia."

Biru diam lagi, kali ini lebih lama dari yang tadi.

"Jangan pesimis dong, kan belum dicoba, siapa tau dia juga sebenernya sayang sama Biru. Tapi kalau boleh tau, yang Biru maksud ini Rein?"

Biru diam, ia hanya merespon dengan menatap ke arah Venus sedikit lama. Membuat gadis itu mengartikan tatapannya dengan jawaban, 'iya, itu Rein'.

"Dia sibuk, mungkin nggak ada waktu buat hal yang nggak berguna kayak gini."

"Tanya dulu Biru, nggak ada hal baik yang nggak berguna di dunia ini, apalagi soal perasaan."

"Mengungkapkan itu kadang perlu lo, daripada jadi penyakit kalau ditahan terus." sambung Venus sambil terkekeh, walaupun yang di dalam sedang meneriakinya bodoh berkali-kali.

"Pulang yuk, udah reda."

Biru bangkit dan menyambar tas beserta kunci motornya, membuat Venus otomatis mengikuti gerakan cowok itu. Dengan kedua tangan masih mengenggam erat cup kopinya, gadis itu kembali memikirkan sarannya pada Biru. Sepertinya, sebentar lagi Biru akan benar-benar hilang.

"Ayo buruan."

"Iya sabar kenapa sih!"

"Lah sewot dia."

"Biarin! Lagian cerewet banget jadi cowok."

Biru menaiki motor hitamnya dan segera memakai helm. Sambil menunggu Venus naik dan selesai memposisikan duduk dengan nyaman, cowok itu memperhatikan mobil hitam yang berhenti di seberang sana. Membiarkan seseorang di balik stir mengamati secara jelas ke arah tempatnya sekarang.

"Ven, pegangan."

"Udah ini."

"Peluk."

"Lah, gila ya lo? Biru kesambet apaan?"

Biru menoleh ke samping kiri sambil berbisik, "Ada Langit di depan."

Venus yang diberitahu mencoba melirik ke arah yang dimaksudkan Biru. Dan ternyata benar, mobil hitam dengan nomor plat itu jelas sekali milik Langit. Mengingat nama Langit, entah kenapa mengingat juga kejadian malam itu. Mengingat mobil itu pernah ia tumpangi. Mengingat bahwa cowok itu lebih manis dibanding Biru. Ah udahlah!

"Cepet pegangan, pulang nggak?"

Venus membalas tatapan Biru di spion, "Iya iya!"

Gadis itu pun melingkarkan kedua tangannya di pinggang Biru. Membiarkan tubuhnya yang dibalut jaket tebal milik Biru menyalurkan kehangatan pada si empunya. Biru melirik sekilas ke arah mobil hitam itu saat motornya telah bergerak melewati, lalu beralih menatap kaca spion, mencoba melihat reaksi Venus.

"Move on elah."

"Udah ya, enak aja!"

"Kalau udah, nggak bakal sedih."

"Ya gimana nggak sedih kalau ternyata selama ini dibohongin? Nggak cuma perhatiannya aja yang tingkat dewa, tapi penipuannya juga tingkat dewa."

"Sabar."

"Enak banget bilangnya! nenek Venus yang udah ompong juga bisa kalau suruh bilang sabar doang."

"Ya mau gimana lagi?"

Venus melepas pegangannya, "Ah udahlah, fokus nyetir aja sana!"

"Ya gimana lagi kalau nggak bilang sabar? masak harus ditambahin sayang?"

"Apaan sih Biru!"

"Sabar sayang."

"Biru!!"

Biru terkekeh dan meningkatkan laju motornya membelah jalanan aspal yang masih basah itu. Membiarkan angin sore beserta sisa-sisa hujan menerpa kedua wajah mereka. Mencoba menikmati sesuatu yang akan hilang.

---

"Udah nyampek."

Venus turun dari motor dan menyerahkan jaket milik Biru, "Terimakasih pangeran."

"Geli banget Ven."

Gadis itu terkekeh, "Udah sana pulang."

"Diusir gue?"

"Iya, mau apa? nggak terima?"

"Masuk dulu lah, laper."

"Dih tumben tumbenan, biasanya juga langsung nylonong kayak maling gitu."

Tanpa memperdulikan ocehan Venus, cowok itu melepas helm dan segera turun dari motornya. Wajah tanpa dosanya pun mengikuti kemanapun langkahnya berjalan, termasuk ketika melangkah sampai di depan teras rumah gadis itu.

"Tamu adalah raja."

"Mau makan apa bos? minumnya juga? kopi? teh?"

"Apa aja, yang enak."

Venus membungkuk ala-ala pelayan, "Pesanan anda akan datang satu abad kemudian."

"Mau ngapain sih disini ih, Venus mau mandi."

"Mandi ya mandi."

"Ya Biru pulang dulu."

Biru tidak merespon, cowok itu justru sibuk dengan ponselnya. Sesekali cowok itu tersenyum, membuat Venus sedikit penasaran sekaligus mengklaim bahwa cowok ini sudah sedikit terganggu kejiwaannya.

"Biru sehat nggak?"

"Sehat."

"Lihat apa sih?"

"Cewek cantik."

Venus mengernyit, "Dih inget Rein tuh, jangan genit."

"Mau lihat nggak?"

"Mana sini coba?" tanya Venus sambil menerima uluran tangan Biru yang sedang menyerahkan ponsel.

Gadis itu justru dibuat terdiam saat ternyata Biru menyalakan kamera, dan disana gambarnya terpampang dengan jelas. Gadis itu tersenyum, lalu iseng-iseng membenarkan rambut dan memotret beberapa foto dirinya di ponsel milik Biru.

"Cantik kan?"

"Iyalah, namanya juga cewek." Venus terkekeh dan kembali menyerahkan ponsel milik Biru.

"Oh ya, Biru kapan mau nanyain doi bisa keluar apa nggak?"

"Belum tau."

"Cepetan ditanyain lah, keburu dia makin sibuk."

"Ya udah," Biru bangkit dan menyambar kunci motornya, membuat Venus otomatis ikut bangkit bermaksud untuk mengantar Biru.

"Ven, kalau ada waktu senggang bilang ya, Biru tunggu."

"Biru pulang dulu, selamat sore."

Dan setelah itu, yang berhasil Venus cerna hanyalah suara deru motor Biru yang sudah mulai menjauh.

Maksudnya apa?

SELAMAT HARI SELASA. MAAF BARU SEMPET UP, DAN KAYAKNYA AKU BAKAL NGGAK BISA SERING UP KAYAK DULU. KARENA TUGAS AKU BEJIBUN BANGETTT, INI AJA BARU SELESAI 30 MENIT YANG LALU, DAN SEMPETIN NGETIK LANJUTAN CERITA SEBELUM CUS TIDUR. MAKASIH SEMUA YANG UDAH SETIA NUNGGU, LOPYU. 💕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top