(15)

Jika dia hilang,
dan kamu merasa kehilangan.
Yakin rindumu itu hal biasa?
Coba tanyakan lagi.

-Ur

Biru menoleh saat mobilnya sudah berhenti tepat di pelataran rumah Venus. Gadis itu ketiduran setelah beberapa menit menangis di dalam mobil Biru. Ia tadi terisak, dan Biru hanya diam. Tanpa disadari siapapun, saat ini Biru kembali mengepalkan tangannya melihat mata Venus yang mulai bengkak. Temannya disakiti pecundang!

"Venus, bangun."

"Venus,"

Venus bergerak sebentar dan kembali mencari posisi nyaman di bangkunya, membuat Biru menghela nafas sebelum akhirnya keluar dari mobil. Ia memutuskan untuk menggendong Venus, gadis itu sudah seperti mayat kalau lagi tidur.

"Kak Langit kenapa sih? apa salah Venus? kenapa kamu jahat banget?"

Biru menghentikan langkah, matanya bergerak mengamati bibir Venus yang barusan menggumamkan sesuatu. Gadis itu sampai mengigau, bahkan alasannya mengigau sungguh tidak pantas.

"Udah gue bilang, dia nggak pantes buat lo." ucap Biru sambil melangkah lagi masuk ke dalam rumah.

Cowok itu mengetuk pintu, dan tak berselang lama Bunda Venus datang dan spontan kaget saat melihat anaknya berada di gendongan Biru. Ia pikir ada apa-apa, tapi memang nyatanya Venus sedang kenapa-napa karena seseorang, hanya saja bukan Biru.

"Venus kenapa, Ru?"

"Tante jangan panik, dia cuma tidur."

Bunda menghela nafas lega, "Bunda kira ada apa, kalian baik-baik saja kan?"

"Kalau Biru bilang kita nggak baik-baik saja, tante percaya nggak?"

Bunda diam, lalu menggeleng perlahan.

"Kadang seseorang bilang baik-baik saja cuma karena nggak mau bikin orang yang dia sayang khawatir."

"Tapi karena Biru nggak mau bohong sama tante, Biru bakal bilang kalau kita nggak baik-baik saja, terutama Venus."

Bunda menatap Venus yang berada di gendongan Biru, menelisik sesuatu yang salah dari anaknya malam ini. "Venus barusan nangis ya?"

Biru mengangguk. Lalu Bunda segera menyuruh Biru untuk meletakkan gadis itu ke dalam kamar. Wanita berusia 40 tahunan itu mengamati gerakan Biru dengan teliti. Dilihatnya remaja berambut kecoklatan di hadapannya dengan sudut bibir terangkat, ada sesuatu yang ia rasakan pada diri Biru. Tapi sayang, naluri seorang ibupun sulit untuk menembus pertahanan yang ia buat.

"Tante?"

Bunda terkesiap, "Kita bicara diluar aja ya?"

Biru mengangguk dan mengikuti wanita itu keluar dari kamar Venus. Tangan kanannya bergerak mematikan lampu dan menutup pintu kamar Venus tanpa menoleh lagi ke belakang.

"Ada apa, Biru?"

"Venus lagi sakit."

Bunda menoleh, "Sakit?"

"Iya, tapi Bunda tenang aja, Biru bakal bantuin Venus cari obatnya."

"Sakit apa Biru? bahaya nggak?"

Biru menoleh, bertatapan dengan wanita cantik di sampingnya, "Nggak terlalu, soalnya Biru nggak nemuin darah disini. Cuma tadi, Venus bilang kalau dia kesakitan."

"Gimana kalau semua cowok kayak kamu? penuh kode, penuh teka-teki, penuh kiasan." jawab Bunda Venus sambil terkekeh.

"Biru cuma minta tante percaya."

"Iya, tante percaya kok. Terus, Langit udah tau soal ini?"

Biru diam cukup lama, "Sepertinya belum."

"Sebaiknya dia jangan sampai tahu dulu. Langit itu orang baik, tante cuma nggak mau ganggu belajar dia. Dia pengen banget bisa masuk kedokteran dan nerusin bisnis ayahnya. Kasian kalau sampai ketambahan soal Venus, makanya tante minta tolong ya sama kamu Biru, sementara ini tolong jagain Venus."

Biru diam, tangannya mengepal keras tanpa Bunda ketahui. Bukan masalah ia jadi pemeran pengganti, hanya saja ia tidak suka cowok itu masih terus saja dibela disaat ia sudah menyakiti sesuatu. Hati perempuan.

"Setidaknya, jaga dia sampai Langit selesai sama urusannya. Biru sanggup kan?"

Biru diam lagi, "Biru nggak bisa janji tante."

"Tante yakin kamu nggak bakal bikin tante kecewa, Biru."

"Tante,"

Bunda menoleh, "Iya?"

"Biru minta maaf,"

"Atas?"

"Semuanya."

Termasuk besok.

***

Pagi ini, Venus masih saja terlihat murung. Matanya yang sembab sangat kontras dengan kulit putihnya. Ia duduk di kursi koridor sendirian, karena memang sekolah masih sepi dan hanya beberapa murid saja yang sudah bermunculan di sekitar.

"Venus!!!!!!"

Venus menoleh, matanya menatap kedua temannya dengan diiringi senyum tipis. Elena berjalan di samping Manda yang sudah ngacir ke arah Venus.

"Lo kenapa?! Habis nangis ya?! Mata lo bengkak."

"Gue nggak papa kok."

Elena berdecih, "Cewek banget nih kalau kayak gini."

"Lo kenapa? Cerita dong sama kita." desak Manda yang hanya membuat Venus diam.

"Biar gue tebak, Langit ketahuan selingkuh? Langit jalan sama cewek lain?"

"Hush!! Elena! Nggak boleh ngomong kayak gitu." saut Manda yang membuat Elena mengangkat bahunya singkat sambil menatap Venus yang menunduk.

"Ada apa sih, Ven?"

"Gue--"

"Venus!!"

Ketiga gadis itu menoleh ke sumber suara, dan yang pertama kali melempar tatapan tajam adalah Elena. Pasalnya saat ini Langit sedang berjalan sambil tersenyum lebar ke arah Venus.

"Bau-bau bangsat nih." gumam Elena yang langsung mendapat sorotan tajam dari Manda.

"Kok tumben pagi-pagi udah di sekolah?"

"Pengen aja," jawab Venus singkat.

"Kamu sakit sayang?" tanya Langit sambil menempelkan tangannya di dahi Venus, namun langsung saja ditepis gadis itu.

"Kamu kenapa?"

"Aku nggak papa kok." jawab Venus tanpa menatap kearahnya.

"Aku ada salah?"

"Nggak nyadar juga lo?" tanya Elena yang hanya dibalas senyuman oleh Langit, membuat gadis itu semakin muak.

"Kamu sakit?"

Venus menggeleng, "Kemarin aku nerusin lukisan, jadinya begadang."

Aku bohong.

"Makanya, kan udah aku bilang, nglukis itu nggak ada gunanya Ven. Semuanya bakal ganggu belajar kamu, masa depan kamu kalau jadi pelukis itu nggak jelas. Sekarang kebukti kan, belum apa-apa kamu udah begadang, lemes kayak gini, gimana mau fokus nanti di kelas?"

Venus diam, matanya menatap lurus kedua bola mata Langit dengan pandangan tak terbaca.

"Lupain tentang lukisan atau apapun itu, pikirin kesehatan sama sekolah kamu."

Venus bangkit, yang otomatis membuat Langit ikut bangkit juga.

"Maksud kamu ngomong kayak gitu apa?"

"Bener kan? kita harus berpikir realistis, Ven."

"Lo pikir jadi pelukis itu nggak realistis?!"

Elena dan Manda saling pandang, tapi urung untuk sekedar menjauh dari sana.

"Bukan gitu, aku cuma nggak mau masa depan kamu berantakan."

"Oh, jadi lo itu tipe manusia yang menganggap bahwa masa depan cuma berpatok sama uang? kerjaan bagus?"

"Jangan pake lo gue dong, aku nggak suka." ucap Langit lembut.

"Gini, kamu itu prioritas aku Ven, aku cuma mau--"

Venus mengangkat tangan kirinya, "Tunggu! tadi apa lo bilang? Prioritas?"

"Iya, kamu prioritas aku." ucap Langit yakin.

"Terus, apa kabar cewek yang kemarin juga lo bilangin hal yang sama?"

Manda terkejut, dan Elena tersenyum sinis.

"Maksud kamu.. Siapa? aku nggak ngerti."

Venus mengusap kasar air matanya, "Jangan pura-pura deh. Gue udah lihat semuanya, gue udah tau lo siapa. Jadi, mulai sekarang kita putus!!"

"Venus, kamu salah paham."

"Salah paham apa lagi?!"

"Biar aku jelasin dulu."

Venus menepis cekalan tangan Langit, "Nggak perlu, dan satu lagi! jangan pernah pikir pelukis itu profesi yang hina! Ngaca! Lo lebih hina Lang!"

"Venus!"

Gadis itu menoleh dan terdiam dari isakannya, "Biru?"

---

Cowok itu turun dari motor, melepas helm dan jaketnya hingga menyisakan seragam putih abu-abu yang selalu terlihat berantakan. Kemejanya tidak dimasukkan, kancing atasnya terbuka, dan kalung hitam itu setengah terlihat dari luar. Biru mengacak rambutnya, bila saja ayahnya tidak pulang hari ini, ia akan betah tidur di dalam kamar. Hanya saja, pagi ini sepertinya tidak berpihak pada nasib Biru.

"Biru!!" panggil Alan yang baru saja turun dari motor Arya. "Demi puja kerang ajaib! tumbenan lo pagi-pagi udah nongol disini?"

"Males dirumah,"

"Ayo kantin belakang yuk." ajak Arya yang diangguki begitu saja oleh kedua temannya.

Saat baru saja sampai di koridor dekat lapangan basket. Ketiga orang itu melihat keributan disana. Ada Venus, Manda, Elena, dan Langit. Seseorang yang sedang tidak ingin Biru temui. Cowok itu terdiam, menatap Langit dari kejauhan dengan pandangan tak terbaca.

"Ada apaan tuh? debat capres ya?" tanya Alan membuat Arya melirik kesal.

"Seandainya gue bisa dilahirkan kembali, jangan sampai gue ketemu dia."

"Aduh bapak mantan calon ketos yang ketikung, jangan iri gitu dong."

"Jijik."

"Salah paham apa lagi?!" suara di ujung sana membuat Alan dan Arya menoleh. Mengamati Venus yang saat ini sudah menangis di hadapan Langit.

"Wah, bau-bau rumah tangga berantakan ini."

"Bagus dong, akhirnya putus juga."

"Venus!"

Arya beralih menatap Biru yang sudah berjalan perlahan mendekat ke arah mereka. Aura mengerikan itu menguar begitu saja dari punggung tegapnya, Arya pun mulai punya firasat bahwa sebentar lagi akan terjadi sesuatu yang buruk di sekolah ini.

"Biru ngapain tuh kesana? Arya! jangan diem aja lo."

"Diem dulu Lan, Biru bakal dapet masalah bentar lagi. Kita susul sekarang." ajak Arya membuat Alan menggaruk tengkuknya sebentar sebelum akhirnya mengikuti cowok itu mengejar Biru.

"Biru?"

"Masih berani aja lo nyakitin dia, bangsat!" Biru melayangkan tinjuannya dengan sangat keras ke arah Langit, membuat cowok itu tersungkur sedikit jauh.

Arya menutup matanya sebentar sambil berdecak kesal, terlambat sudah dia menghentikan niat iblis dari Biru.

"Lo nggak sadar sama apa yang lo lakuin?!" tinjuan kembali melayang.

"Lo nyakitin perempuan, nj*ng."

Hidung Langit mulai mengeluarkan darah segar. Venus yang melihat itu berusaha menghentikan perlakuan Biru, dibantu Arya, Alan dan juga Elena.

"Lo jangan diem aja! jelasin maksud lo apa!"

"Biru! Udah!" Arya menarik kencang tangan Biru. Membuat cowok itu bangkit dan berdiri dengan mata elangnya.

"Biru udah!"

Biru terdiam, menatap Venus yang saat ini sudah menangis tersedu-sedu. Nafasnya memburu, keringatnya pun sudah bercucuran melewati pelipisnya.

"Udah gue bilang, gue bakal ngasih pelajaran ke seseorang hari ini."

"Biru bisa kena masalah."

"Selama lo nggak papa, gue nggak papa Venus!"

Keadaan seketika hening, Venus menatap Biru dengan mata berkaca-kaca. Begitu juga Elena yang sudah tersenyum sejak Biru datang kesini.

"Biru! Ikut saya ke kantor kepala sekolah!"

Suara menggelegar itu datang dari ujung koridor. Disana ada Pak Kumis yang sudah menatap nyalang ke arah Biru. Biru terdiam, membalas tatapan guru ketertiban itu dengan sama tajamnya.

Biru menoleh ke arah Langit yang tersenyum sinis, "Sampai dia nangis lagi, lo habis di tangan gue."

"Selamat menikmati kehidupan sementara di kantor polisi, Biru."

"Diem anjeng!" Arya menendang tulang kering Langit dengan kesalnya.

Venus menoleh, "Maksud lo apa?"

"Udah tugas aku sebagai ketua OSIS buat melaporkan pelanggaran di sekolah kan?"

"Lo ngelaporin apa ke Pak Kumis?!" todong Elena membuat Langit mengusap darah segar yang mengalir dari lubang hidungnya.

"Pemimping tawuran paling ditakuti, benar? Siapa lagi kalau bukan Biru?"

Elena menggertakkan giginya dan menatap Venus yang sudah menoleh, mengamati langkah kaki Biru yang sudah ditarik paksa oleh petugas kepolisian dengan Pak Kumis di belakangnya.

"Biru!!"

Cowok itu menoleh, "Ada apa?"

"Venus ikut!"

"Jangan,"

"Kenapa?"

"Cukup Biru aja yang dapet masalah, Venus nggak usah."

"Biru nggak pernah salah!" teriak Venus dengan air mata yang sudah tidak bisa lagi ditahan.

"Gue nggak akan lama, tenang aja."

"Biru janji bakal balik?"

"Janji."

"Venus percaya,"

"Jaga diri baik-baik."

Dan setelah itu, punggung tegap Biru sudah menghilang di balik pintu. Menyisakan penyesalan dan kemarahan di beberapa pihak. Terutama Arya, cowok itu bersumpah akan menghabisi Langit setelah urusannya selesai.

---

Dear Biru,

Terimakasih telah melakukan segalanya.
Terimakasih telah menjadi satu-satunya manusia di dunia ini yang mengerti.
Dari bumi kutuliskan yang sedang ingin aku katakan.
Sepertinya aku kalah.
Daya magnetmu terlalu kuat.
Jangan pulang ke Uranus, Biru.
Di sampingmu, kutemui amanku.
Meski aku pun tau, tidak akan ada yang tau siapa yang sebenarnya ingin kau amankan.

"Venus!"

Gadis itu terkesiap, "Udah dua hari tau lo kayak gini terus. Biru pasti baik-baik aja, tenang."

"Gue cuma takut, nggak tau Biru ada dimana."

"Venus,"

"Iya?" Venus mendongak saat Arya duduk di sisi mejanya.

"Ada surat dari Biru, maaf nggak bisa ngehubungin lewat telepon, hp dia disita."

Venus membuka surat itu dengan cepat, diambilnya selembar putih dari dalam sana. Ia membaca deretan kata di dalam sana tanpa bersuara.

Dari Biru,
Untuk manusia bernama Venus.

Maaf sudah meninggalkan.
Nggak akan lama.
Tunggu aja.
Biru sedang ada tugas di Uranus.
Nanti kalau udah selesai, pasti kembali.

Jangan sakit, luka lo adalah kegagalan gue. Inget ya, jangan ada rasa, nanti lo bisa--

"Bisa luka." lanjut Venus sambil tersenyum lebar.

"Tenang aja, Biru. Venus nggak akan luka kok."

Cepet kembali ya,
Rein pasti rindu. Dia pasti cemas Biru hilang.

Bagaimana?
sudah mulai paham apa peran Biru disini?
Banyak yang bertanya,
"Siapa Rein?"
Aku sudah tau,
Dia adalah seseorang yang membuat Biru enggan untuk jauh.

Cuma dia,
satu-satunya.






Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top