(14)

Yang menyakiti pun akan
tersakiti lagi nantinya.
Karena karma tidak pernah
salah menemui targetnya.

-Ur

Biru melepaskan earphone miliknya sebelum memutuskan duduk di bangku dekat ranjang. Venus mengerutkan dahi, menatap Biru yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu. Berusaha membaca gerak-gerik yang ia sendiri tahu akan berakhir nihil.

"Biru, ada masalah?"

"Ada,"

"Mau cerita?"

"Nggak." jawab Biru tanpa menatap ke arah Venus.

Venus diam, matanya pun bergerak kesana kemari agar tidak terlalu lama mengamati Biru. Cukup hidungnya saja yang menikmati aroma maskulin yang keluar dari tubuh tegap di sampingnya. Aroma khas yang dimiliki oleh seseorang dengan warna mata khas.

"Venus,"

"Iya?" gadis itu menoleh, menunggu Biru melanjutkan ucapannya.

"Lo mau nggak kalau gue suruh putus sama Langit?"

"Maksud Biru?!"

Biru mendongak, "Gue nggak suka lo sama dia."

"Karena?"

"Karena gue nggak suka."

Venus menggeleng, "Pasti ada alasan lain kan?"

"Nggak ada, gue cuma nggak suka aja, udah."

Venus diam, tidak berniat membalas ataupun bertanya lagi. Ia tau, ada sesuatu yang membuat perasaannya ingin bersama Biru tanpa harus takut membuat marah Langit. Tapi, ia telah memutuskan, bahwa menunggu sesuatu yang pasti namun menyakitkan itu lebih baik daripada mengharapkan yang nyaman namun belum tentu kepastiannya.

"Venus nggak bisa."

"Gue tau," Biru menyela cepat dan menatap kedua manik kecoklatan itu dalam diam.

"Kalau lo butuh, gue masih ada. Tapi, jangan pernah libatin perasaan apapun disini. Gue terlalu dingin, kalau lo pegang terlalu lama--"

"Bisa nyakitin." Venus menambahi kalimat Biru sambil tersenyum.

"Biru tenang aja, Venus nggak akan suka sama Biru."

"Bagus deh," Biru mengangguk dan menarik satu sudut bibirnya singkat.

Harusnya lo sadar!

---

Sepulang sekolah, Langit berjalan terburu-buru menuju UKS. Ia baru tahu dari Manda bahwa Venus pingsan, padahal harusnya gadis itu sudah memberitahunya sejak tadi. Dengan sorot mata panik, Langit berjalan tanpa memperdulikan sekelilingnya. Keadaan Venus lebih penting saat ini.

"Ven, kamu nggak papa?" tanya Langit saat kakinya baru saja masuk ke dalam bilik yang ditiduri gadisnya.

"Nggak papa kok."

"Mana yang sakit? kok bisa gini sih?"

Venus tersenyum, "Nggak papa, Kak."

"Nggak papa apanya? dahi kamu diperban kayak gini juga, aku anter ke dokter ya?"

"Ngapain? udah mendingan kok."

Langit membantu gadis itu bangkit, "Aku anter pulang yuk, biar kamu bisa cepetan istirahat."

"Kamu nggak ada bimbel di kelas?"

"Nanti telat aja nggak papa, yang penting kamu dulu."

Venus menggeleng, "Jangan gitu dong, katanya kamu mau jadi dokter, harus serius belajarnya. Aku bisa minta jemput orang rumah kok."

"Nggak perlu, aku aja yang nganter."

Langit membantu gadis itu turun dari ranjang sambil menggendong tas punggungnya yang sempat ia ambil di kelas Venus. Ia memapahnya hati-hati, seakan-akan sedang membawa sesuatu yang rapuh. Ia takut Venus kenapa-napa.

"Jangan sakit terus dong Ven, kamu nggak tau apa aku khawatir banget?"

"Iya," Venus tersenyum, seperti biasa.

Langit membuka pintu mobil dan menyuruh gadis itu masuk. Saat baru saja akan berjalan memutari mobil, matanya menangkap mata elang di seberang sana. Sorot hitam kebiruan itu hanya membuat Langit menghembuskan nafas berat untuk sesaat.

Prioritasnya saat ini adalah Venus.

Abaikan yang lain.

***

Venus yang baru saja selesai mandi kembali meringkuk di dalam selimut. Hari ini diluar sedang turun hujan, dan kepalanya masih sedikit terasa pusing. Bersembunyi di balik selimut sambil memeluk guling memang menjadi satu-satunya pilihan yang tepat untuk saat ini.

"Ven?"

Venus spontan menoleh, "Loh? Bunda udah pulang?"

"Bunda denger dari Langit kalau kamu tadi sakit. Makanya Bunda usahain cepet pulang setelah rapat sama client."

"Udah mendingan kok, Bun." Venus tersenyum saat bundanya mendekat dan mengamati plester yang menempel di dahinya.

"Oh ya, ada yang nungguin kamu dibawah. Bunda suruh keatas dia nggak mau, katanya nggak sopan."

"Siapa?"

"Dilihat langsung sana, masih kuat kan?"

Venus memicingkan mata, "Venus itu nggak sakit keras ya Bunda."

Bunda hanya tertawa dan merangkul Venus untuk keluar dari kamar. Sampai di anak tangga terakhir, mereka berdua berpisah. Bunda memutuskan ke dapur untuk membuatkan minum. Sedangkan Venus, masih berjalan perlahan bersiap untuk melihat siapa yang datang.

"Biru?"

"Sore,"

Venus duduk di samping cowok itu dengan pandangan bingung, "Ada apa?"

"Nggak ada apa-apa."

"Biru potong rambut ya?" tanya Venus sambil terkekeh.

"Iya, bagus nggak?"

"Bagus."

"Ya udah, gue nggak jadi nyesel."

"Gimana maksudnya?" tanya Venus dan hanya dijawab Biru dengan gelengan kepala.

"Gimana kepala lo?"

"Udah mendingan."

Biru mendekat dan mengusap kepala gadis itu dengan gerakan lembut, "Gue salurin lagi kekuatan aliennya."

"Sebahagia Biru aja deh," jawab Venus diselingi tawa.

"Buktinya sembuh juga kan."

"Iya," Venus menoleh. "Oh ya, tumben Biru kesini? pasti ada alasannya kan?"

"Pengen lihat lo aja."

"Ngapain dilihat?"

"Ya namanya kangen, obatnya ya cuma lihat."

Venus terdiam, matanya bergerak menghindari pandangan Biru. Padahal ia jelas tahu bahwa kedua manik di ujung sana sedang mengamati setiap pergerakannya saat ini.

"Sama temen nggak papa kan kangen?"

"Eh?" Venus menoleh lagi, "Boleh kok, kan kangen itu wajar."

"Nih,"

Biru menyodorkan satu kantung kresek besar ke arah Venus. Gadis itu mengerutkan dahi sambil menyipitkan pandangan untuk mencoba melihat apa yang ada di dalam sana. Dan kini, kantung itu telah berdiri anteng di atas pahanya.

"Cepet masukin kamar,"

Venus terdiam, mulutnya sampai sudah setengah terbuka. "Biru beneran ngasih Venus ini?"

"Iya, cepet sembunyiin."

Venus mengangguk dan segera ngacir ke lantai atas. Tidak berselang lama, Venus sudah kembali sambil membawa kotak besar bewarna hitam. Ia tersenyum menatap Biru yang barusan meletakkan gelas minumannya di atas meja.

"Biru!"

Biru menoleh dan masih diam saat Venus sudah menyerahkan kotak hitam tadi.

"Itu lukisannya."

"Makasih,"

"Sama-sama, Venus yang makasih karena Biru udah beliin peralatan lukis yang Venus pengen."

"Suka?"

"Banget."

"Sama orang yang ngasih?"

Venus terdiam, "Apaan sih?!"

"Bercanda, mau ikut gue nggak?"

"Kemana?" tanya Venus antusias.

"Rahasia, tapi lo kelihatannya belum sehat--"

"Udah! Venus udah sehat!"

Biru terkekeh, "Ya udah ayo."

"Bunda!! Venus keluar sama Biru ya, dia bawa mobil kok." Venus berteriak dan dibalas setuju oleh Bundanya dari arah dapur.

---

Kedua orang itu masih berada di jalan. Venus yang sedang ingin es kopi pun menyuruh Biru untuk menghentikan mobilnya di sebuah kedai kopi yang dibangun di samping toko bunga. Biru baru saja akan ikut turun, tapi Venus melarang. Bisa jaga diri sendiri, katanya. Padahal Biru tau, Venus hanya takut jika ada teman Langit yang memergoki mereka.

"Loh, Venus?"

Venus tersenyum kepada petugas kasir, "Iya, pesen kayak biasanya ya."

"Gue kira yang tadi sama Langit itu lo, ternyata bukan?"

"Kapan?"

Petugas tadi menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "Barusan, sekarang dia di atas."

"Gue ke atas dulu ya, jangan lupa pesenan gue."

"Iya, eh Venus hati-hati." petugas kasir tadi memperingati Venus yang berjalan tergesa menaiki tangga.

Di lantai atas, tempat ini di desain ala vintage yang membuat suasananya semakin menarik. Ini tempat favorit Langit, dan Venus juga mulai menyukai tempat dengan aroma kopi yang selalu menguar kemana-mana ini. Dari sini, gadis itu bisa melihat punggung Langit yang sedang duduk bersebelahan dengan seorang gadis di balkon.

"Ka--"

"Sampai kapan sih kamu sibuk terus? sampai nggak ada waktu buat aku?"

"Kamu ngomong apa? Aku selalu prioritasin kamu. Aku nggak pernah sedikitpun nggak punya waktu buat kamu."

"Iya, tapi kapan?"

"Kita punya jalan masing-masing ya. Aku punya kesibukan sendiri di sekolah aku. Kamu juga punya kesibukan sendiri di sekolah dan kerjaan kamu. Nggak perlu kan kita saling ganggu?"

Gadis tadi tertawa miris, "Kamu menganggap tindakan aku ini gangguan?"

"Nggak gitu, kamu ngertiin aku dong. Aku juga lagi bingung."

"Jujur! Kamu punya pacar lain kan di sekolah kamu?"

Venus terdiam, masih diam, dan akan tetap diam.

"Kata siapa?"

"Kelihatan! Aku sama kamu itu udah lama Lang, kamu nggak bisa bohong sama aku!"

Langit menggeleng, "Nggak seperti yang kamu kira."

"Aku emang sombong, egois, kasar, dan nggak bisa seperhatian itu sama kamu. Tapi aku tahu! Aku tahu dan berusaha ngerti kalau kamu emang udah nggak mau lagi sama aku."

Langit menarik gadis itu ke dalam pelukannya, "Kamu nggak kayak gitu. Kamu istimewa buat aku, kamu segalanya."

"Terus kenapa?"

"Dengerin dulu,"

"Kenapa kamu harus cari cewek lain buat perhatiin kamu?"

Langit mengusap punggung gadis itu dan mengecup puncak kepalanya berkali-kali, "Aku sayang sama kamu, aku cuma nggak suka kamu jalan sama pasangan model kamu itu kemana-mana cuma buat bangun kemistri. Kalau kamu bisa, kenapa aku nggak?"

"Tapi hati aku buat kamu, Lang!"

"Hati aku juga buat kamu!"

Cukup.

Cukup sudah.

Venus berjalan mundur dan segera berbalik dari tempat itu. Ia mendekati meja kasir dan segera mengambil pesanannya. Tangannya menyodorkan selembar uang dan segera pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun pada petugas kasir yang ia kenal.

Tanpa melihat ke lantai atas, gadis itu segera masuk ke dalam mobil dan duduk diam di sana. Biru menoleh, mengamati Venus yang sedang meminum es kopinya dengan pandangan kosong. Cowok itu mengambil cup yang dibawa Venus dan menarik gadis itu ke dalam pelukannya.

"Gue tau,"

Venus masih diam.

"Kalau lo cinta, ini resikonya."

Venus tetap diam.

"Lo boleh nangis, gue disini."

Sedetik, dua detik, dan bahu itu mulai bergerak tak teratus. Biru juga mulai merasakan kaus bagian dadanya basah. Air mata itu telah keluar malam ini. Air mata yang awalnya benar benar dijaga oleh Langit, kini ditumpahkan pula oleh Langit.

"Tumpahin semuanya."

Venus semakin sesenggukan.

"Dan jangan pernah nangis lagi dengan alasan yang sama."

Gadis itu semakin mengeratkan pelukannya di pinggang Biru. Kini wajahnya benar-benar tenggelam disana, ia hanya tidak ingin Biru tau bahwa ia pernah sebodoh ini karena seseorang.

Biru bener.

"Rein, Venus pinjem dulu pelukan Biru. Venus lagi butuh untuk saat ini." gumam Venus yang masih bisa didengar jelas oleh Biru.

"Dia nggak akan marah,"

"Sama aja, Venus tetep lagi meluk tubuh orang yang masih dimiliki orang lain."

"Nangis ya nangis aja, jangan sambil ngomong, nanti tenggorokan kering."

Venus pun akhirnya diam.

"Nanti kalau haus, es kopi lo masih."

"Biru!!"

"Iya, maaf."

Setelah Venus mulai tenang, gadis itu melepaskan pelukannya dan menghapus sisa air mata itu dalam diam. Ia menatap Biru, berusaha melupakan perkataan yang beberapa menit lalu ia dengar.

"Lo sadar nggak kalau lagi jelek banget?"

"Bodo amat!"

"Pantesan lo diselingkuhin."

"Biru!!"

"Apa sih? fakta!"

"Jangan jujur-jujur banget!"

Biru menyodorkan sapu tangannya dengan tatapan yang masih mengarah di kedua manik mata gadis itu. Venus terdiam, entah kenapa dia sedikit canggung dengan posisi sedekat ini bersama Biru.

"Bersihin tuh ingus." ucap Biru sambil menyodorkan sapu tangan itu ke arah muka Venus dengan kasar.

"Ih!!! Kasar!!"

"Ven?"

"Apalagi?!" tanyanya dengan nada yang sengaja ditinggikan.

"Besok kalau gue kasar ke orang, lo nggak bakal marah kan?"

"Maksudnya?"

"Gue emang kasar, dan kayaknya kekasaran gue itu bakal berguna besok."

"Biru mau tawuran ya?"

Biru mengangguk, "Iya, satu lawan satu."

"Jangan lagi Biru, nanti bisa luka."

"Kali ini aja ya? gue mau tunjukin sesuatu ke orang."

"Tunjukin apa?"

Biru terdiam, matanya pun menatap lurus ke arah stir.

"Biru? tunjukin apa?"

"Tentang pelajaran, kalau lo nyakitin seseorang, lo juga bakal disakitin balik."

Biru,
Venus pun telah menemui
titik jatuhnya.
Lalu, bagaimana kisahmu?
Ceritakan, banyak yang ingin tahu.

Apakah kamu menjadi pihak yang tersakiti?
Disakiti?
Atau hanya sebatas memberikan pelajaran?

Katakan,
Apapun itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top