(13)
Terkadang, rasa kasian
dan peduli itu beda tipis.
Tapi sayang, kemampuan
membedakan itu belum ia
miliki sepenuhnya.
-Ur
HARI ini kelas Venus kosong, tidak akan ada guru yang masuk sampai jam istirahat nanti. Mungkin bukan hanya kelasnya, tapi beberapa kelas lain pun sepertinya begitu. Karena memang ada rapat di ruang kepala sekolah perihal ujian kelas 12. Sayangnya, gadis itu sedang tidak berminat untuk keluar kelas seperti yang lainnya.
"Ven, keluar yuk, males nih disini terus. Filmnya udah selesai, bosen." Manda menyenggol lengan gadis itu sambil melepas earphone yang tadi dia pakai.
"Gimana ceritanya? bagus kan?" Elena bertanya dari bangku belakang, membuat Manda mengangguk antusias.
"Tapi mereka nggak pantes, cowoknya pantes sama gue."
Elena memutar bola matanya malas, "Suka-suka lo deh ya, kantin yuk?"
"Ven, ayo."
"Ven!!" Manda berteriak kesal, membuat Venus terperanjat dari lamunannya.
"Nggak usah teriak nggak bisa ya?!"
Manda menelisik curiga, "Lo lagi mikirin apa pagi-pagi gini? kok tumben banget."
"Nggak ada."
"Yakin nggak ada?"
Venus bangkit sambil menarik pergelangan tangan Manda, "Jadi kantin nggak?"
"Ayo!"
Saat mereka menuju kantin, Manda dengan gerakan grasak grusuknya memutuskan untuk berhenti di dekat wastafel. Elena menoleh ke arah lapangan dan menghembuskan nafas berat. Pantas saja gadis itu pura-pura cuci tangan disini, orang Radit lagi main basket.
"Ratu drama banget ya,"
"Elena diem deh, bikin temen seneng dikit kek."
"Jaman sekarang masih lo lihatin aja, kalau diambil orang, baru nangis guling-guling lo ntar."
Venus mengalihkan perhatiannya dari lapangan, disana memang ada Radit, dan tentunya juga Biru. Matanya bergerak menatap lantai sambil berharap bahwa yang barusan ia lihat hanyalah ilusi semata. Namun nihil, Biru memang ada dan sedang berlari di tengah lapangan dengan tubuh dibanjiri keringat.
"Ven, lo kenapa sih?" tanya Elena membuat Venus menggeleng dan
tersenyum.
"Eh, Manda."
Keduanya menoleh saat tiba-tiba sebuah suara hadir di antara ketiganya. Manda terdiam kaku, tangannya mematikan kran dengan gerakan kikuk. Elena yang melihat itu pun tak kuasa menahan tawanya, mana ada singa betina berubah jadi kucing begini.
"Kok lo disini?"
"Tadi.."
"Tadi cuci tangan, nggak tau kenapa pas lewat sini tiba-tiba ada bakteri nempel di tangannya." saut Elena membuat Manda mendelik kesal.
Venus terkekeh, namun sedetik kemudian tawanya hilang seiring dengan tatapan seseorang di seberang sana. Biru memutuskan pandangan, tangannya beralih melemparkan bola ke arah Arya yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Meninggalkan Venus dengan tatapan yang masih tertuju ke arah setiap gerakan Biru.
"Ven, ikut gue yuk."
Venus menoleh ke arah Elena, "Kemana? Manda gimana?"
"Tenang, temen lo udah ada pawangnya," Elena menoleh ke arah Radit. "Titip Manda bentar ya Dit, gue duluan."
"Eh, kalian.."
"Udah, disini aja nemenin gue." Radit memotong panggilan Manda, yang otomatis berhasil membuat gadis itu diam dan mengangguk.
---
Elena menarik Venus sampai di taman belakang, lumayan dekat dengan warung Bi Ima. Keduanya memutuskan untuk duduk di salah satu kursi panjang yang letaknya dekat dengan kolam, sedikit menjauh dari anak-anak lain yang juga ada di tempat itu.
"Lo kenapa sih? cerita sama gue!"
"Nggak papa."
"Ven, kita itu temenan udah dari dulu, gue tau ya kalau lo kayak gini tuh pasti ada masalah."
Venus diam, mencoba berdiskusi dengan dirinya sendiri, cerita apa nggak ya?
"Masalah siapa? Langit?" tanya Elena hati-hati.
Jujur, di antara kedua sahabatnya, memang Elena yang selalu bersikap dewasa. Maka dari itu, gadis ini tidak pernah akur dengan Manda, karena memang notabene sifat mereka bertolak belakang. Manda yang masih labil dan berpegang teguh pada perasaan berhadapan dengan Elena yang selalu menegaskan untuk bertindak sesuai logika.
Venus menghembuskan nafas pelan sebelum menggeleng, "Bukan."
Elena mengernyit, kalau bukan Langit siapa lagi?
"Terus siapa dong? masalah keluarga ya?"
"Bukan juga."
"Terus?"
"Ini tentang Biru," jawab Venus membuat Elena seketika menoleh.
"Biru?!"
Venus mengangguk, "dan segala ketidakmungkinannya."
"Biru kenapa?" tanya Elena membuat Venus menceritakan semuanya mulai dari awal sampai akhir.
Elena mendengarkan penuturan Venus dengan serius, mencoba mengamati tatapan dan gerakan gadis itu satu persatu. Kepalanya mengangguk-angguk tanda mengerti. Membuat Venus terus menjelaskan sampai akhirnya berhenti saat kejadian kemarin sudah tersampaikan.
"Jadi, Biru kasian sama lo?"
Venus mengangguk, "Bener kata Manda, Biru itu bahaya."
"Menurut gue nggak."
"Kok bisa?" Venus yang berganti penasaran.
"Biru itu orangnya kaku Ven, dia dingin. Nggak ada yang pernah tau apa isi pikirannya, apalagi hatinya. Sampai saat ini pun, belum ada yang tau hati itu milik siapa."
"Dia suka sama Rein, Na."
Elena terdiam sebentar, "Lo mikir nggak sih, jangan-jangan Rein itu cuma ilusi dari pikiran Biru aja?"
"Mana bisa?"
"Bisa Ven! orang yang pernah ngalamin sakit di masa lalu, kadang bisa berilusi sejauh itu."
"Nggak mungkin."
Elena menoleh, "Dia pernah cerita tentang Rein ke lo?"
Venus menggeleng, membuat Elena diam.
"Setiap lo jalan sama Biru, lo bilang Langit nggak?" Venus menggeleng lagi.
"Lo seneng jalan sama dia? ngerasa aman nggak?" kali ini Venus mengangguk.
"Lo udah nyaman sama dia, dan kemungkinan kecil, rasa suka itu mulai tumbuh."
"Nggak ya! mana bisa gitu?! Gue kan sayang sama Langit."
Elena menghembuskan nafas beratnya sekali lagi, ngomong sama Venus itu butuh kesabaran ekstra. Butuh penjelasan panjang juga supaya ngerti.
"Dengan lo senang hati ikut dia tanpa bilang Langit, lo tau kan artinya apa?"
Venus menggeleng, "Bukan gitu, soalnya Langit bakal marah kalau sampai tau. Lagian aku seneng jalan sama Biru juga karena Biru tuh asik, nyambung aja."
"Tuh kan, dengan lo mulai ngebandingin Langit sama Biru, itu udah permulaan."
"Ih nggak!"
"Ven, gini lho, kalau lo sayang sama Langit, lo bakal nolak setiap ajakan Biru kemanapun."
Venus diam, benar juga ya.
"Diem kan lo! gini deh, gue lihat-lihat lo emang sayang sama Langit, tapi lo nggak nyaman sama dia. Kadang Ven, romantis itu nggak ada apa-apanya dibanding sama yang bikin nyaman."
"Kita tuh temenan."
"Awalnya dulu, lo sama Langit juga temenan kan?"
Skak mat!
"Iya sih,"
"Perasaan itu bisa berubah loh."
Venus mencerna kalimat itu. Perasaan bisa berubah, benarkah? tapi kenapa kedua orang tuanya masih saling mencintai sampai saat ini? padahal mereka sudah melewati masa-masa sejauh itu, ah rasanya tidak mungkin.
"Ngaku sama gue, lo belum move on kan sebenernya?"
Dan boom!! Venus sukses dibuat bisu oleh pertanyaan itu.
***
Biru duduk di tribun sambil mengamati anak lain yang masih setia bermain di tengah lapangan. Cowok itu duduk di samping Radit dan Manda yang sedang membicarakan sesuatu entah apa. Dilihatnya Alan yang baru saja berlarian kecil ke arahnya setelah merampas minuman Arya. Wah, bahaya nih kalau dia kesini.
"Ayam kate lagi makan benih,"
"Cakep, artinya?" tanya Arya yang memang mengikuti Alan berlari ke tribun.
"Ada yang PDKT nih."
Arya mengangguk dan menoleh ke arah Radit yang hanya tersenyum begitu saja. Padahal biasanya udah ngamuk-ngamuk.
"Sok manis amat lo senyum-senyum begitu."
"Harus ganteng di depan calon."
Alan memukul lengan Radit dengan botol minumannya, "Kalau jelek mah ya jelek aja."
"Gue ganteng kan ya, Man?" tanya Radit pada Manda yang hanya dibalas dengan senyuman oleh gadis itu.
"Man? lo nggak salah minum obat kan hari ini?"
"Nggak, kenapa sih?!"
"Buset! sama Radit aja lo senyum manis banget kayak ondel-ondel. Ke gue aja lo galak banget kayak ibu kos belum dapet setoran." Arya duduk di dekat Biru sambil terus mengomel.
"Ati-ati sama Radit, Man. Dia itu jago gombal, sore-sore gitu dia jualan kain pel pake gerobak dorong."
"Itu beda lagi pinter."
Manda tertawa menanggapi ekpresi Alan yang sangat menyebalkan, "Lucu juga lo."
"Aduh, buah durian buah mangga."
"Artinya?" tanya Radit membuat Alan menoleh ke arahnya.
"Itu nama-nama buah, nggak ada artinya."
Arya menoleh pada Biru, mengamati gerakan mata cowok itu yang sedang menatap ke arah bola. Ada sesuatu yang sedang Biru pikirkan, dan entah kenapa tidak pernah ada yang tau apa isi dari pikiran itu.
"Kenapa, Ru?"
Biru menoleh, "Kenapa apanya?"
"Ada yang lagi lo pikirin ya?"
"Nggak ada."
Alan yang melihat itu ikut bergerak duduk di samping Biru, ia membisikkan sesuatu yang membuat Radit langsung tanggap untuk mengajak Manda pergi dari sana.
"Lo yakin berhenti taruhan?"
Biru mengangguk, "Sesuai janji, gue bakal traktir kalian makan seminggu ini dan ajak kalian balapan kapanpun kalian mau."
"Ru, kita tuh sebenernya nggak butuh itu semua, kita cuma pengen lo nggak terus-terusan kaku kayak gini."
Alan menggeleng keras-keras, "Gue nggak kayak Arya kok Ru. Gue dengan senang hati malah kalau lo mau traktir kita seminggu ini, kan itung-itung hemat, Aduh.."
Alan memegangi kepalanya yang dijitak keras oleh Biru. Cowok itu merenggut kesal, berpura-pura ngambek dan alhasil bukannya dibujuk oleh Biru ini itu, ia justru diabaikan begitu saja. Ih Biru!
"Nggak peka banget sih lo jadi cowok! Rayu dikit kek biar nggak marah."
"Najis," Biru melirik Alan dengan ekpresi datar, membuat cowok itu pura-pura terkejut.
"Duh tatapan mata abwang bikin dedek meleleh."
"Ru!!"
Biru menoleh ke arah Radit yang berlari kencang ke arah mereka duduk. Ia terkesan tergesa-gesa tanpa membawa Manda di sampingnya, mungkin gadis itu sekarang ada di kantin.
"Venus!!"
Biru tidak bereaksi apa-apa, membuat Alan dan Arya yang justru penasaran tentang apa yang terjadi pada Venus.
"Dia pingsan!!"
"Apa?!!! Kok bisa bidadari pingsan?!"
"Kena bolanya anak voli yang lagi latihan."
Alan heboh sendiri tanpa alasan, "Bidadari kok nggak terbang aja sih?! Oh iya lupa, kan bidadari yang ini nggak punya sayap."
"Lo ngomong apaan sih, Lan?!" Radit kesal sendiri, apalagi ditambah melihat respon Biru yang biasa saja.
"Biru! Lo samperin kek."
"Urusan gue apa?"
"Banyak bacot lo!" kesal Radit menarik tangan Biru untuk berjalan mengikutinya.
Cowok itu malas memberontak, alhasil ia hanya mengikuti kemana ketiga temannya melangkah. Entah nanti bertemu Venus atau tidak, itu urusan belakangan.
---
"Bidadari kenapa?!" tanya Alan membuat Elena meletakkan telunjuknya dengan kasar di bibir cowok itu, menyuruhnya diam.
"Tangan lo bau trasi lo mbak."
Elena melotot galak, "Diem!"
"Dia kenapa, Na?"
"Pingsan, kena bolanya keras banget, gue juga nggak tau bakal kayak gini. Mau gue tahan, bolanya terlanjur kenceng."
Radit menyenggol lengan Biru, membuat cowok itu hanya diam dan meliriknya sekilas dengan tatapan datar, seperti biasa.
"Langit nggak kesini?" tanya Arya membuat Elena menggeleng.
"Lagi sibuk kali, dia kan ketua OSIS."
"Man, nggak jadi ke kantin? ayo aku temenin." Radit menarik gadis itu keluar, dan menoleh ke arah mereka yang ada disana bermaksud memberi kode.
"Daun bawang di makan ulet."
"Apa tuh?"
"Aduh bwang, aku kebelet." jawab Alan segera ngacir sambil menarik tangan Arya keluar dari sana.
"Ru, temenin Venus bentar ya, gue beliin dia makan dulu." pamit Elena dan langsung berlalu pergi.
Biru menghembuskan nafas, paham betul rencana orang-orang ajaib barusan. Kena lagi kan dia. Matanya bergerak menatap tubuh yang sedang terbaring di atas ranjang sebelum mendekat untuk duduk di kursi yang ada di sebelahnya.
"Biru?"
Panggilan itu sontak membuat Biru yang sedang memainkan ponsel mendongak. Matanya bersitatap sebentar dengan manik coklat milik Venus, sebelum akhirnya ia memutuskan pandangan dan bangkit mengambil minum.
"Minum dulu,"
Venus mengangguk dan menerima minuman yang disodorkan Biru, "Kok Biru ada disini?"
"Tadi ada yang lain juga, tapi masih pada keluar."
"Masih sakit?" tanya Biru membuat Venus menggeleng.
"Cuma pusing dikit."
Biru reflek mengusap kepala gadis itu, "Biar cepet sembuh, gue sembuhin pake kekuatan alien."
Venus terkekeh mendengarnya, "Venus percaya kok, Biru kan emang migrasi dari planet uranus."
"Oh ya Biru, maaf ya soal kemaren, Venus nggak bermaksud ngomong gitu."
"Tenang aja, emang faktanya juga gitu." ucap Biru sambil berjalan menuju keluar bilik.
"Biru mau kemana?"
"Mau ngasih tau Langit, biar dia kesini jagain lo."
Venus mengangguk dan tersenyum. Tapi baru sebentar Biru menghilang, cowok itu sudah kembali lagi dengan sedikit terburu-buru. Tangannya dengan gesit menutup kelambu yang membatasi setiap bilik. Membuat mereka berdua tidak bisa terlihat dari luar.
"Biru kenapa? ada apa?"
"Hantu." jawab Biru sekenanya.
"Biru, serius!"
"Diem dulu Ven, nurut sama gue," ucap Biru sambil mengenakan earphone ke telinga gadis itu, ia nyalakan juga lagu dari ponselnya dengan volume lumayan keras.
Biru mendengarkan obrolan dua orang di sebelah bilik dengan serius. Tangannya sibuk menutup kedua telinga Venus dengan mata yang tidak sedetik pun melepaskan pandangan dari manik coklat di hadapannya.
Dan Venus berharap, suara di luar sana memang tidak seharusnya ia dengar.
Dilihatnya Biru baru saja mengatakan sesuatu, terlihat dari gerakan mulutnya. Hanya saja Venus tidak mengerti kata apa yang barusan meluncur. Ia hanya bisa membalas sorot mata hitam kebiruan itu dengan perasaan tidak karuan.
Satu kata yang entah kenapa muncul saat ini adalah,
Terimakasih, Biru.
Ada suara yang
tidak ingin Biru dengarkan
pada telingamu, Venus.
Tapi maaf,
Aku pun tidak tau apa
maksud dari tindakannya
barusan.
Entah ingin menyakitimu
atau justru menyelamatkanmu.
Tapi jika aku jadi Biru,
aku tak akan membiarkanmu dalam ketidaktahuan seperti ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top