02
Kingyosō Ajisai datang di musim semi layaknya badai. Senyum cerah, ketuk langkah sepatu berirama, suara cempreng memekakkan telinga.
Namun, bukan berarti Ango tak menyukainya. Dalam ruangan sempit yang dikelilingi rak-rak buku, Ajisai menjadi mentari kecil penghilang penat. Gadis itu akan diam saat bekerja, tapi begitu pena diletakkan, suaranya membahana dalam ruangan. Dia suka berbicara dan Ango akan mendengarkan. Ango memang tak suka pekerjaannya diganggu, tapi dia tidak benci suara.
Sakaguchi-senpai-adalah sebuah panggilan sayang. Ajisai memang awalnya bekerja dengan Ango sebelum menjadi asisten Dazai. Rasanya agak sepi, ketika musim panas datang membakar, tapi hati menjadi sedingin es akibat perpisahan yang tidak penting ini.
Ango membuka mata. Dia harus sadar diri. Dia mata-mata, tidak selayaknya merasakan cinta apabila menghambat kerja.
Pandangannya beredar ke sekeliling ruang kantor. Matanya pastilah berhalusinasi; ada sosok-sosok buram Ajisai berkeliaran di sini. Otaknya belum sepenuhnya bangun dari tidur dan saat telah tersadar, Ango merutuki ini.
Dalam ruang kantor ini, terasa kepingan-kepingan eksistensi Ajisai dalam benak-silau bagai mentari, hangat tapi membakar.
Benar, membakar.
Sama seperti hati Ango yang terbakar hangus saat memikirkan, mereka tidak akan bertemu lagi.
Ango menutup mata lagi, mengenyahkan pikiran itu. Sekarang jam 2 pagi dan dia tidak punya waktu untuk ini.
... Dia hanya tidak ingin memikirkan ini.
.
.
.
Ango pernah berpikir, menjadi seorang Kingyosō Ajisai pastilah menyakitkan. Gadis itu adalah sebuah entitas yang konstan-tak berubah; tiada maju, tiada mundur, tiada berubah bentuk. Tetap menyengir tanpa dosa apalagi beban dunia.
Tersenyum, bahkan ketika posisi Ango sebagai mata-mata telah ketahuan. Dia tetap tersenyum, meski mengetahui kenyataan dan paham bahwa mereka tak bisa bersama.
Ango menatapnya untuk terakhir kali, dalam sebuah restoran keluarga tempat pertama kali mereka makan siang bersama. Gadis itu melahap makanannya dengan tenang, bersikap seolah dia tidak tahu bahwa Ango adalah seorang mata-mata, meski kenyataan berkata sebaliknya.
"Senpai enggak makan? Nanti omurice-nya dingin, lho," tegur Ajisai dengan santai, sebelum meneguk segelas minuman cola. Gadis itu masih setia dalam bersikap bodo amat; dalam bersikap sok tidak tahu, padahal paham segalanya, "Padahal aku sudah susah payah meminta izin pada Bos dan Pak Kepala Taneda untuk mengajakmu makan sebelum rapat. Ayolah, senpai harus makan banyak! Tegang itu bikin capek, lho."
Seperti biasa, suara cempreng itu mencerocos tanpa henti. Nada yang seringan bulu itu justru membuat ulu hati Ango terasa semakin tertiban batu imajiner. Dengan sedikit gemetar, Ango meletakkan kembali sendok yang dipegangnya, lalu menatap Ajisai yang kini terdiam.
"Kenapa?" tanya Ango lirih, siratan pedih dalam matanya tampak setajam pecahan beling, "Kenapa ... kamu menemuiku?"
Tidak ada jawaban. Keheningan sejenak menyelimuti, Ajisai sendiri menghentikan makannya. Dia tidak menduga akan ditanyai seperti itu, lebih-lebih dari pria semacam Ango. Perempuan ceroboh, Ango pikir. Siapapun akan bertanya begitu bila dirinya dikunjungi secara mendadak ketika menghadapi masa hukuman.
Sepersekian detik berlalu, hingga akhirnya perempuan itu tersenyum secerah mentari dan menjawab, "Karena aku lapar."
Brengsek. Ango benci dibercandai seperti itu. Dengan tegas, pria itu mencengkeram tangan sang gadis dengan erat, membuat sendok yang digenggam jemari lentik itu terjatuh membentur meja. Ajisai meringis, tapi Ango tidak bergerak.
"Hentikan ini," Ango bergumam lirih, menatap Ajisai dengan pedih berkilat-kilat bagai halilintar dalam matanya, "Berhenti bersikap seperti ini. Aku ingin tahu kebenarannya."
Ango tidak memohon. Dia terlalu congkak sekaligus rapuh untuk itu. Mengucapkan permohonan ialah hal terakhir yang diinginkannya.
Di lain sisi, Ajisai hanya terdiam, balas menatapnya. Iris itu menatapnya dalam, sebelum ditutup perlahan. Dengan bibir bergetar dan suara serak, perempuan itu berbisik lirih,
"Jangan pergi."
Detik kemudian, dua pasang bibir saling beradu, meraup oksigen satu sama lain dengan rakus selayaknya malaikat yang tengah mencabut nyawa.
.
.
.
Ango pergi. Ajisai menatapnya dengan mata kepala sendiri, ketika sosoknya hilang bersama Taneda. Gadis itu bahkan tak mampu terpaku di tempat; Mori yang berada di belakangnya sudah menyuruh untuk segera kembali ke kantor.
Sang kepala Port Mafia menatap gadis itu ketika dirinya berbalik dan mulai berjalan. Sang pria tahu kenyataannya; Ajisai ingin pergi, kabur menyusul Ango. Namun, Mori tak mungkin membiarkan wanita bertanggung jawab seperti itu hilang dalam genggaman. Ajisai paham itu, Mori apalagi.
Keduanya berlalu, sosok mereka hilang ditelan keramaian kota Yokohama.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top