01

"Sakaguchi-senpai, Sakaguchi-senpai."

"Hmm."

"Senpai, Senpai."

"Apa?"

"Kalau orang ngomong, lihat mukanya dong, Senpai."

Sakaguchi Ango nyaris menghela napas saat mendengar pernyataan tersebut. Memang tidak salah, tapi saat ruang kerjanya berantakan oleh dokumen laporan para almarhum anggota Port Mafia yang baru-baru ini meregang nyawa, Ango sungguh tak punya waktu untuk bersikap formal. Sambil menahan diri untuk tidak melotot, Ango menatap gadis yang asal duduk di depannya.

"Apa yang ingin kamu bicarakan, Kingyosō-san?" Ango bertanya dengan nada lelah, secara implisit berkata bahwa dia tidak punya waktu untuk mengobrol. Namun, Kingyosō Ajisai hanya terkekeh. Dia paham betul ucapan bisu sang pria, tapi memutuskan untuk berpura-pura bodoh. Dasar perempuan licik.

"Lihat ini," Ajisai berkata, menyodorkan sebuah gelang emas asli bertatahkan batu-batu ruby kecil ke wajah Ango, "Ada fakir miskin bodoh yang mau saja menjual benda ini dengan harga seribu yen. Aku yakin dia asal menjualnya padaku karena ditendang keluar toko perhiasan akibat berbadan bau dan berpakaian compang-camping. Kasihan sekali, ya? Padahal tadi aku cek, gelangnya dari emas asli, lho. Eh, Sakaguchi-senpai, menurutmu mana yang lebih kena rugi: si fakir atau toko perhiasan?"

... Penjelasan tidak penting macam apa ini.

"Dua-duanya rugi," Ango menanggapi dengan sebuah jawaban netral, jelas tak mau memperpanjang obrolan ini. Namun, satu hal mengusiknya dan membuat dia bertanya, "... Dari mana kau tahu si fakir ditendang keluar toko perhiasan?"

"Oh, aku melihatnya langsung dari kafe di seberang jalan."

Sementara Ajisai terkekeh mengingat kejadian itu, Ango hanya mampu tersenyum miris. Antara meratapi nasib karena selalu dikelilingi manusia berotak rada-rada dan mempertanyakan kenapa asisten Dazai satu ini sama gilanya dengan sang pemuda. Bila kepala Port Mafia bukanlah pria jenius yang sangat taktis, Ango pasti sudah mengira bahwa sang bos besar ini melakukan kesalahan dengan memberi Ajisai jabatan sebagai sekretaris Dazai.

Ah, melelahkan. Sungguh melelahkan. Kalau begini, bisa-bisa Ango harus lembur lagi. Kalau diingat-ingat, kapan terakhir kali dia makan masakan rumah? Ah, sudahlah, jangan dipikirkan. Nanti malah lapar.

"Sakaguchi-senpai!"

"A—pa lagi?"

Ango nyaris meledak. Untung berhasil ditahan pada detik-detik terakhir. Semua orang yang sudah melihat Ango murka sungguhan pasti tahu betapa mengerikannya sang pria kalau sudah siap meledak.

"Aku enggak ada kerjaan," Ajisai berkata ceria, mengambil sebagian map-map berisi dokumen dari depan Ango, kemudian mengeluarkan sebuah pena dari saku kemeja, "Kubantu kerja, ya!"

Ango mengerjap. Orang macam apa yang malah bekerja saat mendapat waktu luang yang sangat sedikit? Aneh sekali. Namun, itu bukan berarti Ango tidak menghargai. Pria itu mengangguk singkat, memberi izin kepada bantuan yang mendadak datang.

Dalam hati, Ango diam-diam bersorak. Akhirnya, hari ini tidak perlu lembur lagi.

.
.
.

"Ango, Ango!"

"... Apa?"

Ango lelah kuadrat. Kenapa sekarang orang sinting nomor satu (baca: Dazai) malah mendatanginya? Setahu sang pria, kemarin semua laporan penting sudah diberikan oleh Ajisai.

Dazai menyengir tanpa dosa, menunjukkan gelang bertatahkan batu ruby dalam genggamannya. Dia bertanya, "Aku enggak tahu kamu suka pakai aksesoris."

Ango mengerutkan kening. Itu punya Ajisai.

"Memang enggak," Ango mengonfirmasi, mengalihkan pandangan ke arah layar ponsel yang baru dikeluarkan, "Pasti Kingyosō-san lupa bawa pergi kemarin. Sebentar, ya."

***

Kingyosō Ajisai

Kingyosō-san
Gelangmu ketinggalan di kantorku

Gelang?

You send a photo
Yang ini

Ohhh
Buat kamu aja (๑ơ ₃ ơ)
Eh eh
Tahu enggak, makna batu ruby dalam zodiak? Itu batu untuk capricorn lho
Maknanya cocok deh buat kamu (σ≧▽≦)σ

Enggak tahu
Lagipula, aku ini libra, bukan capricorn

....
YAELAH BEDA ZODIAK DOANG
POKOKNYA UDAH BUAT KAMU AJA ヽ(`⌒´)ノ

***

Bibir Ango tertarik ke atas sedikit, membentuk senyum yang terlalu tipis untuk dilihat. Namun, bukan Dazai namanya kalau tidak melihat sesuatu yang biasanya tak diacuhkan orang.

Sang eksekutif muda mengerjapkan mata, kemudian tersenyum penuh teka-teki sambil memiringkan kepala.

"Hei, Ango, aku punya pertanyaan ...."

.
.
.

Ango terdistraksi. Berkat kunjungan dan pertanyaan aneh Dazai, dia tidak mampu bekerja dengan benar. Biasanya, dia tak akan mengacuhkan ucapan-ucapan aneh dari sang eksekutif mafia, tapi kali ini berbeda.

Dazai hanya bertanya satu hal, tapi Ango butuh waktu nyaris satu menit untuk menjawabnya. Sebab, wajah seseorang tersirat dalam benak ketika pertanyaan itu dilontarkan.

Ango tak tahu mengapa hal itu bisa terjadi, tapi dia tahu satu hal: seharusnya, tak boleh ada wajah manapun muncul dalam benaknya.

Seharusnya.

Ango meletakkan pena di sebelah kertas dokumen, akhirnya menyerah dalam menyelesaikan pekerjaannya. Dia menyandarkan punggung pada kursi, menutup mata dengan frustrasi.

Dia mata-mata. Dia mata-mata. Saat misi infiltrasinya telah selesai, dia harus membuang segala bukti keberadaannya. Membuang segala barang, juga segala memori dan perasaan.

Lantas ... lantas ....

"Hei, Ango, aku punya pertanyaan .... Kalau misalnya kamu hilang dan enggak akan pernah kembali, apa yang akan kamu tinggalkan kepada orang lain?"

... Lantas mengapa ketiadaan terdengar semenyakitkan ini?

Ango membuka mata perlahan, mendapati gelang emas bertatahkan ruby tergeletak di sisi meja.

Wajah yang sama, untuk kesekian kalinya, terbesit lagi.

*
*
*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top