[ORION] 4 | a storm in a teacup

Hari insidennya...

[Sagi]

ESOKNYA aku berjalan masuk kedalam kawasan sekolah sendirian. Kakiku menginjak satu demi satu ubin putih yang banyak diantara bagiannya sudah pudar akibat ulah sepatu-sepatu yang setiap hari menginjaknya. Kalau bisa dibilang, diantara semua benda, ubin termasuk salah satu benda terkuat. Setiap hari diinjak tapi diam saja, tidak berteriak memaki atau berdiri memukuli. Kemudian mereka retak, kalau retaknya masih sedikit akan dibiarkan saja, mereka tetap diinjak. Tapi ketika ia sudah rusak parah, ia dibuang lalu digantikan dengan ubin baru. Huh, kasihan sekali ubin itu. Aku penasaran ia punya dosa apa dimasa lalu.

Bicara soal ubin, sebelum sampai dikelas aku pasti melewati kelas Edo dulu. Aku menoleh dan mendapatinya sedang duduk dibangkunya, seperti biasa buku terbuka lebar didepannya. Tapi ia tidak membacanya, kepalanya mendongak kedepan, berbicara dengan seorang perempuan yang aku sendiri tidak kenal. Yang jelas ia cantik, perempuannya ya bukan Edonya.

Untuk sejenak, aku menatap Edo. Cantik, bercanda!

Sebuah pikiran terlintas diotakku. Sesuatu yang sudah kupikirkan dari semalaman. Tidak ingin terlalu lama menetap, aku kembali melangkahkan kakiku memasuki kelasku sendiri. Untuk informasi aku duduk di deretan paling depan di baris kelompokku yang berada dua dari ujung jendela. Aku duduk tanpa melakukan apa-apa kecuali bernapas dan berpikir. Sekali lagi pikiran itu mengusikku.

Kasih tau Edo gak ya?

Aku terus dan terus melamun, menatap kosong kedepan kearah ubin yang masih kuat, sepertinya karena ia enggan diganti. Lamunanku buyar ketika sebuah tangan menyergap tanganku tiba-tiba membuatku terlonjak dan langsung mengalihkan pandangan dengan panik.

"Hai, Gi."

Aku menghela napas lega mendapati seorang cowok tinggi putih yang menyapaku dengan senyum cerahnya di pagi hari. Kukira tadi si ubin yang tiba-tiba bangkit dan ingin memukuliku karena membicarakannya.

Setelah perasaanku sudah normal, aku kembali menatap orang disamping mejaku itu. Sang ketua OSIS yang entah kenapa 3 hari belakangan ini selalu kutemui, dimana saja, ditempat yang berubin ataupun tidak.

Daniel menyodorkan sebuah buku yang sepertinya ia sembunyikan dari tadi dibelakangnya. Aku melihat sampulnya dan langsung mengenali buku itu. "Ini buku yang gue ceritain kemaren. Lo bilang lo tertarik jadi gue putusin buat minjemin lo hari ini. Dan tenang, gak ada biaya sewa!"

Walau ragi, aku mengulurkan tangan menerima buku itu dari tangan Daniel dengan sebuah senyum kecil untuk membalas cengiran senangnya. Aku menatap buku bersampul biru tua dan bertulis 'Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini' itu sebelum kemudian kembali pada Daniel.

"Makasih banyak kak." Aku tulus meski tetap saja, agak canggung menerimanya.

Aku mulai melirik ke kiri dan kanan dan tanpa sadar menemukan pandangan orang-orang yang tertuju pada kami berdua. Ini membuatku semakin gugup, aku tidak terbiasa dengan perhatian dari orang-orang begini. Beda dengan Daniel tentu saja yang aku yakin sudah terbiasa mengingat jabatannya disini dan wajahnya yang kuakui tampan itu.

Aku memiliki telinga yang cukup tajam bagi ukuran seorang manusia. Dari yang kudengar, mereka bergosip. Ada beberapa yang mengatakan Daniel menyukaiku, ada yang mengatakan kami berdua saling menyukai bahkan sudah berpacaran dan ada pula yang mengatakan maaf karena ia baru saja kentut tanpa suara.

Yang terakhir tadi namanya Sumiati, mirip Ibu kantin yang punya 4 suami.

"Emm, oh ya Gi." Fokusku kembali pada Daniel, melupakan sejenak tentang kata maaf Sumsum—panggilannya. Aku menatap Daniel dengan tatapan tanya dan menunggu.

"Soal ajakan gue waktu itu... kalo minggu ini, lo bisa kan?"

Adduhh! Aku tanpa sadar mengeluh dalam hati. Selama ini aku sudah mencoba menghindari pembicaraan soal ini. Aku bukannya bermaksud tidak baik, tapi untuk orang sepertiku yang pacaran seperti penyakit cacar, alias sekali seumur hidup, pergi dengan cowok yang belum beberapa hari ini kukenal pasti akan menjadi sangat awkward.

Aku sebenarnya sudah memikirkan ini dan memutuskan mencobanya, "Emm, kak, saya... ehh, Edo boleh ikut gak?"

Dan dapat kulihat perubahan di raut wajahnya yang sangat cepat. Pasti tidak boleh.

"Gue sebenernya gak mau bilang ini, tapi lo taukan kalo sekarang ini gue lagi usaha buat deketin lo? Dan dari logika lo, kalo gue ajakin lo jalan buat PDKT, apa masuk akal kalo lo malah ajak sahabat lo sekalian?"

Aku menggigiti bibirku, kali ini karena gugup dan kemudian aku hanya bisa menggelengkan kepala, "Gak masuk akal kak."

"Nah, lo tau sendirikan berarti jawabannya?"

"Y—yaudah kak.. saya, kosong kok minggu ini."

Suaraku kecil tapi aku yakin Daniel bisa mendengarnya. Seketika raut wajahnya yang tadi kembali, "Beneran? Sumpah? Jadi lo mau gue ajakin jalan minggu ini?"

Aku terkejut dengan suara kerasnya, hey, orang-orang nanti akan mendengar! Tapi belum cukup sampai situ ia membuatku terkejut dan semakin menjadi perhatian, tangannya dengan cepat meraih satu tanganku diatas meja dan menggenggamnya, mengguncang-guncangkannya tanpa pikir.

"Eh eh, ka-kak ini tangannya, anu, lepas dulu..." aku berusaha menyadarkan Daniel dengan sangat kikuk dan mencoba melepaskan tanganku dari genggamannya. Bisikan dari sekitar semakin besar membuatku semakin panik.

Saat masih berusaha melepas genggaman itu, pintu kelasku tiba-tiba ada yang menggebrak dengan kencang menimbulkan suara yang sangat keras.

"BRENGSEK! LEPASIN TANGAN KOTOR LU DARI SAGI!!"

Teriakan lantang penuh keberanian itu sontak membungkam kelas dan menarik segala perhatian. Tidak terkecuali aku dan Daniel yang goncangan tangannya sudah terhenti namun tetap saja tanganku masih digenggamnya.

Tapi tidak, itu bukan hal penting untuk saat ini. Yang terpenting adalah sosok yang menggebrak keras pintu kelas. Mataku yang menoleh menemukannya.

Diambang pintu yang terbuka lebar, sesosok lelaki jangkung dengan setelan kasualnya, memakai sepatu hitam dan celana jeans berwarna senada dengan robekan di lututnya. T-shirt putihnya ia balut dengan kemeja flanel biru gelap yang semua kancingnya ia biarkan terbuka dan lengan baju yang dilipat asal sampai siku.

Wajah yang sedikit tan itu memancarkan aura mematikan. Tangannya, kulihat, mengepal dikedua sisi tubuh. Sedang matanya? Mata itu menyorot bagaikan silet yang dijadikan ujung anak panah dan langsung diarahkan lurus pada Daniel didepanku. Tatapan yang seakan berkata, 'gue matiin lo sekarang juga!'.

"BAJINGAN! GUE BILANG LEPASIN TANGAN LO DARI MANTAN GUE, BANGSAT!!!"

to be continued...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top