[ORION] 20 | take it or leave it
[AUTHOR]
Orion, Edo, Sagi dan Bundanya—Gigi, kini duduk mengelilingi meja makan.
“Oh, ternyata bajunya Anton pas sekali di badan kalian ya,” begitulah sambutan Bunda Gigi ketika pertama melihat Orion dan Edo keluar dengan baju yang sudah terganti.
“Oh ya, Edo, gimana kabar Mama Papa kamu?” Bunda Gigi menatap Edo di seberangnya.
“Baik, baik, Tante. Tante sendiri bagaimana?”
“Baik dong. Kamu masih peringkat satu di sekolah ya?” Edo mengangguk dengan malu-malu. “Wah, sepertinya Sagi harus banyak belajar dari kamu ya. Kamu perhatiin Sagi ya disekolah.”
“Bundaa…” Sagi langsung menyahut tidak terima. “Sagi juga pintar tau!”
Bunda Gigi tertawa. “Bunda tau, maksud Bunda cuma ingin biar Edo lebih bisa bantuin kamu kalo misal ada pelajaran yang gak kamu ngerti.”
“Bisa kok, tante, bisa,” Edo tersenyum sopan.
“Tuh kan, Edo nya aja gak keberatan.”
“Saya juga mumpung ada disini, hitung-hitung bayaran saya karena sudah diizinkan menginap.”
“Wah, benar! Yasudah, kamu bebas dari uang sewa,” seru Bunda Gigi bercanda, ia kemudian mengalihkan perhatiannya pada Orion. “Eh, Orion ya? Kamu gimana?”
“Uang sewanya, tante?”
Bunda Gigi sontak tertawa dengan balasan polos Orion. “Enggak, itu saya cuma bercanda, kok. Kamu lucu banget, sih.”
Orion tertawa kikuk sambil menggaruk tengkuk belakangnya. Ia tidak biasanya menjadi kaku seperti Edo begini, tapi suasana yang dirasakannya saat ini benar-benar asing baginya.
“Oh ya, itu muka kamu kenapa?” Bunda Gigi memerhatikan dengan wajah khawatir.
Tangan Orion refleks terangkat berusaha menutupi sedikit wajahnya. “Gak pa-pa tante, tadi cuma jatuh dari pohon sama Edo.”
“Eh, jangan bilang gak pa-pa,” tangan Bunda Gigi sudah terangkat menyentuh bagian pipi Orion yang nampak membiru dan memperhatikannya. “Aduh, sakit banget ya, nak? Kenapa belum diobati?”
Untuk sejenak Orion nampak terpaku dengan perlakuan Bunda Gigi tadi. Kini Bunda Gigi sudah tidak menyentuh wajahnya tapi kehangatan sentuhan itu tetap ia rasakan. Entah bagaimana, mata Orion seketika terasa memanas.
“Sagi, setelah makan kamu bersihin dan obati luka Orion dulu ya.”
“Tapi, Bunda…”
“Kamu itu ya, lukanya Edo kamu bersihin tapi Orion enggak. Jadi teman gak boleh pilih kasih gitu. Kasian kalau luka Orion infeksi nanti, dia pasti gak bisa bersihin lukanya sendiri.”
Gak bisa apanya, orang dia udah mahir, Sagi menggerutu dalam hati.
Sagi cemberut lalu mengalihkan wajahnya pada Orion. Cowok itu pasti kini menatapnya dengan mengejek karena Bunda Gigi membelanya. Tapi yang Sagi sadari, Orion masih bergeming di tempatnya dengan ekspresi aneh.
Orion kenapa? Sagi mulai kembali berpikir. Gak mungkin kepincut pesona Bundanya, kan?
“Eh aduh, terlalu banyak ngomong sampe lupa makan. Maaf ya maaf, kalian pasti lapar,” suara Bunda Gigi terdengar kembali. “Ayo, ayo dimakan, ini resep ikan bakar kesukaannya Sagi, loh. Sagi tuh kalo lagi ngambek, Bunda buatin ini langsung gak ngambek lagi.”
Mata Sagi membulat. “Bunda, kenapa diceritain?”
Bunda Gigi tertawa tergelitik. “Kalian semua makan ikan, kan? Tante gak mau sombong, tapi masakan tante tuh number one!”
Mendengar penuturan Bundanya barusan, Sagi teringat sesuatu, “Eh, Bunda Ori—”
“Wah, ikan bakarnya bener seenak itu, tante? Saya yang nyobain pertama kali gak pa-pa, kan?” ucapan Sagi terpotong dengan seruan Orion yang tiba-tiba.
“Kamu ya, tante terharu gini jadinya. Boleh dong, kamu ambil saja.”
Orion mulai mengambil bagian dari ikan bakar tersebut dan memindahkannya di piringnya. Baru saja ia ingin menyuapkannya dengan nasi, Bunda Gigi menahannya.
“Eh, tunggu dulu. Ini tulangnya masih ada. Aduh, sebegitu laparnya ya kamu sampe gak liat tulang. Kalau keselek gimana? Sini, Bunda bantu keluarin tulang-tulangnya.”
Bunda Gigi mengeluarkan beberapa tulang dari daging yang Orion ambil tadi. Setelah tulangnya tersingkir semua, Orion langsung menyantapnya dengan lahap. “Wah, enak, tante! Kalau tante buka restoran pasti laku, tan.”
“Aduh, iya kan? Temen-temen tante juga banyak bilang gitu, loh. Ya ampun, kamu ini bikin tante malu terus saja,” Bunda Gigi tertawa malu. “Oh ya, Edo sama Orion gak perlu panggil tante ah, bunda aja.”
“Bu—bunda?” Edo langsung tergagu.
“Iya, Bunda saja. Kan kalau begitu rasanya tante benar-benar punya dua anak cowok.”
“Bunda…” Orion juga mengulangi dengan suara pelan, di bibirnya nampak senyum kecil. “Bunda.”
“Nah, iya, begitu. Edo kamu juga, ya?”
Edo tersenyum kikuk. “Iya, Bunda.”
“Wahh, tante rasanya senang banget. Yaudah, ayo, ayo, di makan. Edo sama Sagi, ayo sayang di makan.”
“Emm, Bunnndaa,” Orion kembali bersuara membuat Bunda Gigi kembali menoleh padanya. “Masakan Bunda enak, kalau nanti saya kesini untuk coba masakan Bunda lagi, boleh gak?”
“Ohh, boleh banget dong. Kamu nanti datang langsung saja kesini. Pasti Bunda masakin."
“Kalau Edo juga boleh, Bunda?” Edo menyahut tidak ingin dikalah.
Bunda Gigi tersenyum. “Kalian semua anak Bunda, ya masa gak boleh. Datang saja.”
Sagi melihat Edo dan Orion yang nampak bahagia mendengar jawaban Bunda Gigi. Kenapa sekarang terkesan kedua cowok itu sedang memperebutkan perhatian Bundanya?
Orion yang merasa sangat senang mulai kembali memakan makanannya dengan lahap. Sagi melihat itu mengerutkan kening.
Bukannya Orion itu tidak suka makan ikan?
◐◐◐
[SAGI]
Aku dan Edo kini berada di ruang tengah. Rencananya ingin belajar bersama.
Orion? Rebahan di kamar. Dia paling tidak suka disuruh belajar.
“Kamu tau gak cara dapetin rumus ini tuh gimana?”
Aku menggeleng. “Rumusnya aja kalo kamu gak ngasih tau aku gak bakal tau, gimana ceritanya aku tau cara dapetin rumusnya?”
Edo tertawa kecil. “Perhatiin baik-baik. Nah, disini kita kan punya rumus, ini kalau dijabarkan kebawah, X itu berasal dari jumlah…”
Aku terus memerhatikan penjelasan Edo. Gila saja, biasanya orang pintar hanya akan memberitahu cara menggunakan rumus, tapi kalau diajar Edo, dia akan menjelaskannya dari akar, ya seperti bagaimana prosesnya sampai rumus itu dipatenkan seperti itu.
Ditengah-tengah usahaku untuk menjawab soal, Orion datang dan langsung menyodorkan kotak P3K di depanku. Aku mendongak dan menatapnya dengan bingung.
“Sagi, kata Bunda obatin luka gue.”
“Ogah!”
“Gue bilangin bunda lo!” dia mengancam. Apa-apaan dia!
Aku membuang muka dan kebetulan wajahku langsung menghadap pada sosok Edo. Sebuah ide cemerlang terlintas seketika.
“Edo, kamu obatin lukanya Orion.”
Wajah Edo langsung berubah. “Kenapa harus saya?”
“Heh, sejak kapan si curut ini ganti nama jadi Sagi?” Orion menimpali, tentu saja ikut protes.
Aku menghela napas. “Kamu obatin Orion atau aku gak ijinin kamu tinggal lagi disini?” ancamku. Aku tahu aku jahat, tapi aku tidak bermaksud seperti itu sebenarnya. Aku hanya mau mengancam.
Edo menatapku memohon tapi kemudian aku menggeleng dengan tegas yang akhirnya membuat ia menghela napas pasrah. Edo menyetujuinya, sekarang tinggal si keras kepala Orion.
“Jangan harap gue bakal pasrah kayak dia!” kata Orion dengan tegas ketika aku menatapnya. “Kalo lo gak mau obatin gue, entar gue bilangin sama Bunda.”
“Yaudah, bilang aja sana. Kalo kamu laporin aku, aku juga bakal laporin ke Bunda kalo sebenarnya luka kamu itu bukan karena jatoh dari pohon,” aku tersenyum puas pada Orion yang wajahnya seketika berubah.
“Jadi, diobatin Edo atau dilaporin ke Bunda?” tanya ku dengan penuh kemenangan.
to be continued...
Anyway saya mau minta saran. Lebih bagus pake pov sagi atau author pov aja?tq
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top