[ORION] 16 | compare apples and oranges

[SAGI]

Minggu Porseni telah tiba. Kalau biasanya Porseni akan diadakan setelah ulangan semester, kali ini berbeda. Mengingat ini adalah semester genap dan setelah ulangan semester nanti anak kelas 3 pasti akan langsung disibukkan dengan persiapan UN mereka, maka Porseni di semester genap dimajukan menjadi setelah mid semester.

Setelah pembukaan Porseni pagi tadi, kini kelas terasa lengang. Hanya beberapa anak yang terlihat duduk santai di tempat mereka, ada yang bergibah dan ada yang molor. Aku sendiri sedang menunggu Edo dan Abu sambil ikut bergibah juga.

“Gi, lo deket ya sama si anak baru itu?” subjek pembicaraan berubah dari Mpok Sumi yang katanya mau menceraikan satu suaminya untuk kawin lagi menjadi aku dan Orion.

“Yaelah lo, bukan deket lagi, dia sama Sagi kan emang mantanan. Ya kan, Gi?”

Semua orang menatapku membuatku sedikit salah tingkah. “Kok malah bahas gue sih? Jadi Mpok Sumi gimana? Jadi cerai-kawinnya?”

“Lo alihin pembicaraan artinya emang bener kan?”

“Gila, Gi, kalian berdua mantanan terus sekarang jadi temen baik?”

Aku mengerutkan keningku dengan refleks. “Emang mantan gak boleh temenan?”

“Bukan gak boleh, tapi gak bisa!” kata Nia dengan semangatnya.

“Maksud lo? Bisa kok, buktinya gue sama Orion sampe sekarang masih temenan baik.”

Nia menggoyang-goyangkan telunjuknya ke kiri dan kanan. “Mantan yang masih bisa berteman dengan baik itu cuma ada dua kemungkinan. Pertama, keduanya gak pernah bener-bener saling jatuh cinta. Kedua, rasa cinta itu masih ada, entah itu di hati keduanya atau cuma di hati satu pihak!”

Aku tidak bisa berkata apa-apa setelah mendengar pernyataan Nia. “Lo becanda!”

“Adduh, Gii… ini gue serius se-serius-seriusnya! Jadi, lo sama Orion kemungkinan yang keberapa?”

"Eh tapi bukannya lo sama Edo ya?"

Mata teman-temanku yang lain semua terpaku padaku, tatapan penuh penasaran dan tuntutan untuk aku segera menjawabnya. Tapi sungguh, saat ini aku benar-benar bingung.

“A—astaga, gue lupa harus nyari Edo sama Abu! Guys, gue duluan ya, bye!” aku mendirikan badanku dengan cepat, berpamitan dan langsung kabur keluar kelas sebelum mereka semua sempat menahanku.

Aku tentu saja berbohong perihal mencari Edo dan Abu, orang tadi saja aku sedang menunggu mereka dikelas. Tapi aku tidak punya pilihan lain, aku harus kabur dari mereka semua.

Aku berjalan di koridor dengan kepala yang penuh dengan kata-kata Nia tadi yang terus terngiang-ngiang. Apa perkataan Nia memang benar ya? Tapi masa sih?

Saat aku masih sibuk berpikir yang membuat kepalaku pusing, aku tiba-tiba menabrak sebuah tubuh keras membuat langkahku terhenti dan kepalaku mendongak.

“Orion?”

“…Pertama, keduanya gak pernah bener-bener saling jatuh cinta. Kedua, rasa cinta itu masih ada, entah itu di hati keduanya atau cuma di hati satu pihak!”

Kalau memang seperti itu, aku dan Orion di kemungkinan yang keberapa?

◐◐◐

Pada akhirnya aku menghindari Orion ketika ia mengajakku untuk menemaninya makan di kantin. Aku beralasan harus ke basecamp Esemu dan mengatakan akan menyusul setelahnya.

Aku berjalan melewati kelas Edo dan kepalaku refleks menoleh untuk melihat apakah ia ada atau tidak. Aku penasaran ia kemana karena sedaritadi pesanku tidak dibalas olehnya satupun setelah ia bilang akan menghampiriku di kelas.

Aku melihat bangku Edo yang kosong dan mulai mengerutkan kening. Kalau tidak di kelas, Edo ada dimana? Kulihat salah satu teman kelas Edo yang cukup aku kenal berjalan keluar kelas dengan teman-temannya.

“Maya, lo liat Edo gak?”
“Oh, ada tuh di dalem, lagi tidur.”
“Tidur?”

“Iya, kayaknya kecapean abis mid kemaren, dia akhir-akhir ini suka tidur di kelas. Lo masuk aja.”

Aku mengucapkan terima kasih pada Maya dan mereka semua pun berlalu. Kerutan di keningku semakin dalam, tidur di sekolah bukan kebiasaan Edo.

Aku memutuskan mengikuti ucapan Maya dan masuk kedalam kelas. Kuedarkan pandanganku dan akhirnya aku menemukan sesosok tubuh mirip Edo dengan kepala dan kedua tangan diletakkan diatas meja. Aku mendekatinya sampai aku tahu itu benar-benar Edo.

Untuk sejenak aku memperhatikannya. Edo terlihat tidur dengan pulas dan aku tidak tega untuk membangunkannya. Sebenarnya ada apa dengan Edo akhir-akhir ini? Kenapa ia bersikap tidak seperti biasanya?

Aku masih memerhatikan Edo dengan seksama saat tiba-tiba mata Edo mulai bergerak dan sedetik kemudian mulai membuka. Aku sedikit terlonjak saat iris mata coklat itu menatap lurus langsung padaku. Selama beberapa menit mata kami terpaku satu sama lain.

Sebuah senyum hangat kemudian tercipta di bibir Edo. Ia mulai mengangkat kepalanya dari atas meja dan sedikit meregangkannya. Edo kemudian terlihat menggaruk tengkuk belakangnya, hal yang ia lakukan ketika ia merasa malu.

“Kamu sudah lama ya? Maaf, semalam saya begadang padahal hari ini saya ada beberapa lomba.”

Aku tertawa kecil. “Kamu ikut debat lagi ya?”

“Iya, basket juga.”

Aku mengangguk-anggukkan kepalaku. “Semangat!”

Edo tersenyum kecil. “Emm, kamu akan mendukung saya, kan?”

“Pasti dong! Masa enggak? Eh tapi kecuali kalo kita jadi lawan di debat nanti loh ya.”

“Iya gak pa-pa, itu sudah cukup untuk saya.”

Aku tersenyum, Edo memang dari dulu adalah sosok yang sangat tidak banyak maunya. Beda sekali dengan Orion. Ah, kenapa Orion lagi, sih?

“Oh ya, kamu udah makan?” aku bertanya berusaha mengalihkan pikiranku.

“Belum, kamu?”

“Sama, kan nungguin kamu? Terus Abu mana?”

Edo seperti baru teringat akan sesuatu, ia kemudian meraih ponselnya diatas meja yang tadi ia tiduri dan mengeceknya. “Abu sudah mulai bertanding, katanya kita duluan aja.”

“Oh yaudah, yuk?”

Aku dan Edo kemudian melangkah berniat untuk keluar kelas. Tapi ketika kami sampai di pintu, seseorang yang kukenal sebagai teman kelas Edo mencegat kami.

“Do, dipanggil Pak Anton di ruang guru,” Pak Anton adalah wali kelas Edo.

Edo mengangguk mengerti kemudian beralih menatapku dengan rasa bersalah. Aku tersenyum mengerti, “Kamu pergi dulu aja, aku tunggu di kelas, ya?”

“Maaf, ya. Kalau lama nanti saya chat.”

“Santai,” aku mengangguk dan Edo berlalu.

Setelahnya aku keluar dan bermaksud kembali ke kelasku sendiri saat tiba-tiba sosok Orion membuatku terkejut karena sudah berdiri tepat di samping pintu.

“Apa sih, Orion? Katanya mau ke kantin.”

“Apa sih, Sagi? Katanya mau ke basecamp Esemu.”

Aku kicep, tertangkap basah sedang berbohong. Tangan Orion kemudian tiba-tiba menarik tanganku dan membawa langkahku mengikutinya.

“Gak usah ngelak lagi, mau lo ke basecamp lo kek, mau ke rahmatullah kek, intinya lo temenin gue makan dulu.”

Aku pasrah sampai kami berdua sampai dikantin. Orion memesan makanan untuk dirinya sendiri dan kembali duduk di depanku tanpa beban.

“Kenapa harus ajakin aku sih? Kamu kan bisa makan sendiri.”

“Gue gak suka di ganggu.”

Keningku mengerut dengan jawaban tidak jelas dari Orion.

“Kalo gue makan sendiri, ada aja cewek yang dateng tawarin buat nemenin. Kalo lo di depan gue, seenggaknya mereka tau gue udah gak sendiri.”

Aku kembali diam setelah Orion menjelaskan. Orion mulai mengambil sendok dan memasukkan saus sambal cukup banyak kedalam mie-ya.

“Sakit perut, tau rasa.”

Orion hanya tertawa kecil dan mengaduk mie-nya. “Lo ikut lomba apa?”

“Tarik tambang sama debat”

Orion menaikkan sebelah alisnya kemudian memerhatikan lenganku. Ia kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya, “Gak salah sih, lengan lo emang besar dan mulut lo banyak bacot.”

Aku membulatkan mata kemudian mengulurkan tanganku dan memukul kencang lengannya.

"See? Pukulan lo juga kenceng," tawa Orion membesar. “Gue ikut lomba basket, futsal sama voli.”

“Siapa?”

“Gue.”

“Yang nanya! HAHAHA!” aku tertawa dengan puas. “Aku gak nanya ya kamu ikutan lomba apa aja.”

“Tapi gue mau lo tau. Gue mau lo dukung gue setiap gue ada lomba.”

Aku berdecak. “Bakalan banyak yang dukung kamu walaupun aku gak ada,” ucapku mengingat Orion termasuk siswa paling populer saat ini.

Alis Orion mengerut seperti tidak setuju. “Gue gak mau yang lain, gue mau didukungnya sama lo.”

“Emang aku apanya kamu! Aku juga punya kepentingan kali!”

Orion diam sejenak sambil matanya menatap lurus padaku. “Kalo Edo yang lomba, lo bakalan dukung dia gak?”

“Ya pastilah!”

“Tuh kan!” Orion membongkar posisinya dengan wajah protes. “Terus kok gue enggak?”

“Emang kamu Edo, hah?”

Orion mencondongkan tubuhnya kedepan, kedua tangannya ia lipat diatas meja dan matanya menatap tajam kearahku. “Dukung gue juga!”

“Enggak!”

“Dukung.gue!!!”

“En-ggak!! Kamu makan aja cepet kenapa sih!” aku membuang muka.

Orion diam, tidak membalas lagi tapi bisa kurasakan saat ini ia sedang menatapku. Aku menolehkan kembali wajahku padanya dan benar saja, saat ini ia memasang wajah cemberutnya, dengan alis mengerut dan bibir yang sedikit dimonyongkan. Ia seperti anak kecil!

Aku mendesah kecil. “Yaudah, yaudah, aku bakal dukung. Puas?!”

Wajah cemberut Orion seketika terhapus dan digantingan dengan wajah berbinar. Kemudian dengan senyum lebarnya ia mulai memakan makanan di piringnya.

Tanpa sadar, mataku memerhatikannya untuk beberapa lama. Bukan karena aku ngiler melihatnya makan dengan lahap, hanya saja aku tanpa sadar melakukan itu dengan sebuah senyum kecil terukir di bibirku.

“Kenapa natap gue? Gue cakep, ya?”

Aku tersentak dengan pertanyaan itu dan dengan cepat mengalihkan pandanganku tanpa mengatakan apa-apa.

“Oh iya, ketua kelas yang gak tau siapa namanya itu nawarin gue ikut lomba nyanyi.”

Kepalaku teralih kembali dengan cepat. “Nia? Jadi dia udah nanya ke kamu? Terus kamu bakalan ikut kan?”

Aku yang memberitahu Nia tentang bakat musik Orion.

Orion menggeleng. “Gue tolak, males.”

Bahuku merosot bersamaan dengan embusan napas panjangku. Harusnya aku sudah bisa menduga hal ini. Orion mana mau disuruh-suruh.

“Tapi,,, gue bisa berubah pikiran. Asalkan…”

“Asalkan apa? Bilang aja, apapun itu!” aku sungguh berharap Orion mau melakukan ini.

Orion lalu menatapku lebih lekat, senyum bersarang di bibirnya. “Asalkan lo lebih dukung gue daripada Edo!”

Aku mendatarkan wajahku. “Apa sih Orion, orang lagi serius juga."

“Kenapa sih tiap gue serius lo selalu bilang gue becanda?”

“Ya karena aku gak bisa bedain bercanda dan seriusnya kamu!”

“Gue serius! Dukung gue lebih dari Edo!” Orion kali ini memukul meja cukup keras, matanya menyorot tajam padaku.

“Dukungan aku buat kamu sama Edo sama, jadi gak usah gini!”

“Enggak! Gue gak mau disama-samain! Biar itu 1 persen, dukungan lo buat gue harus lebih dari yang lain!”

“Ihh, kamu kenapa sih! Kayak anak kecil aja!”

“Iya atau enggak?” Orion tertap bersikeras.

Aku menatap Orion dengan kesal sebelum kemudian aku membuang muka. Sungguh, aku sudah tidak tahu lagi harus membalas Orion seperti apa, dia selalu membuatku sakit kepala.

Dan disaat keheningan menyelimuti kami berdua, saat itulah muncul seseorang yang tidak aku sangka.

Aku melirik dan menemukan Gladys, cewek tempo hari yang dengan terang-terangan menyatakan ketertarikannya pada Orion. Ia dengan santainya duduk di samping Orion sambil menatap bergantian pada kami berdua. Melihat gelagatnya ini, entah kenapa membuatku berpikir sifat dia dan Orion hampir mirip satu sama lain.

“Orion, lo gak mau pesanin gue makan?”

Orion tidak merespons bahkan melirik saja tidak. Matanya masih menatap tepat padaku sebelum beberapa detik kemudian ia bangkit dari duduknya dengan wajah kesal dan pergi begitu saja seperti orang sedang emosi.

Aku menatap tubuh Orion yang makin mengecil dengan kerutan kebingungan. Orion itu kenapa sih? Masa marah cuma karena hal sepele seperti tadi?

“Lo sama Orion udah kenal lama?”

Kepalaku beralih pada Gladys dan aku mengangguk dengan kaku. Kupikir ia sudah pergi melihat Orion pergi. Gladys mengangguk-anggukkan kepalanya kemudian tangan terbukanya terulur padaku. “Hp lo bentar.”

Aku mengerutkan kening. “Buat apa?”

Gladys nampak menghela napas dan sedikit mencondongkan tubuhnya kearahku lalu langsung mengambil ponsel di saku bajuku. Ini membuatku terkejut apalagi ia melakukan itu semua dengan sangat santai dan kini ia nampak menarikan jarinya diatas layar ponselku seperti itu adalah ponselnya sendiri.

Aku belum sempat protes saat tangannya kembali terulur untuk memberikanku ponselnya. “Nomor gue ada di dalem dan gue juga udah dapet nomor lo, ntar kalo gue nelfon, angkat ya!”

Gladys menampilkan senyum manisnya yang membuat wajahnya bahkan terlihat lebih cantik. Setelah itu ia berdiri dari duduknya dan langsung berlalu tanpa mengatakan apa-apa lagi.

Aku memerhatikan punggung Gladys dengan tatapan yang sama dengan tatapan yang kulemparkan pada Orion beberapa saat yang lalu.

Tidak salah lagi, Gladys adalah versi cewek dari Orion.

to be continued...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top