[ORION] 13 | (bad) dream comes true
Sagi duduk merosot di kursi rumah sakit. Tatapannya kosong, matanya merah. Ia sudah berhenti menangis sedari beberapa saat yang lalu tapi sorot kesedihan di matanya tidak kunjung berlalu. Tentu saja, bagaimana bisa ia tidak sedih saat ketakutan terburuknya menjadi nyata hari ini?
Hari sudah menjelang gelap saat itu. Edo sudah selesai diberi penanganan pertama dan kini sedang melakukan pemeriksaan lanjutan. Katanya Edo kecapaian tapi mereka khawatir ada sesuatu yang lebih serius dari sekadar kecapaian itu, sesuatu yang berhubungan dengan fungsi otak Edo.
Tangan Sagi meremas satu sama lain memikirkan kembali kata-kata dokter tadi. Tidak, dokter itu bisa saja salah, kan? Sagi memohon dalam hati, memohon agar kata-kata dokter sebelumnya adalah salah besar. Ia harap, dokter salah mengira, ia harap Edo baik-baik saja atau setidaknya ia harap ini hanya mimpi semata. Lagipula, itu masih perkiraan, belum tentu benar kan? Iya, itu perkiran yang bisa saja salah. Mana mungkin sih, Edo yang selama sehat saja bisa tiba-tiba sakit. Iya, Edo akan baik-bai…
Tes…
Satu tetesan air mata itu mengawali tetesan-tetesan lainnya yang jatuh diatas remasan tangan Sagi. Berusaha berpikir positif malah membuatnya semakin muram.
Gadis itu mulai menangis dalam diam, tidak mempedulikan tangannya yang mulai basah oleh ulahnya sendiri.
Sampai, sebuah tangan besar menangkup tangannya, menghentikan remasannya. Sagi mendongak sedikit dan menemukan seseorang sedang berlutut didepannya.
“O—orion…”
Orion menghela napasnya manatap Sagi. Ia lebih merasa seperti bersyukur sudah menemukan gadis itu daripada ikut sedih dengan kesedihannya. Di wajah cowok itu tidak ada ketegangan ataupun kesedihan apapun, hanya terlihat santai seperti biasanya.
Tangan Orion lalu berusaha melepas remasan Sagi, sedikit keras dan sedikit memaksa sampai tangan itu terpisah.
“Gue bilang apa soal kebiasaan lo ini?” tanya Orion dengan sedikit kerutan di dahinya, sangat nampak kalau ia tidak menyukai kebiasaan Sagi satu itu. “Jawab.”
“Ja—jangan biasain mainin tangan kalo lagi kayak gini.”
“Karena disaat lo banyak pikiran, lo gak sadar kebiasaan itu buat lo luka. Minta maaf!”
Sagi mengangguk patah-patah. “Maaf."
“Hapus air mata lo dulu. Gue gak suka.”
Sagi menurut sekali lagi. Tangannya terangkat menyapu pipinya, menghilangkan bekas air matanya disana. Orion memerhatikan semuanya sampai saat tangan gadis itu kembali turun diatas pangkuannya.
“Liat gue,” kata Orion dan Sagi mengangkat perlahan pandangannya.
“Edo bakal baik-baik aja.”
“Tapi—”
“Edo.bakal.baik-baik.aja!” Orion menekan setiap ucapannya. “Tanem pikiran itu di otak lo maka Edo bakal beneran baik-baik aja.”
Mata Sagi mengedip beberapa kali. Bagaimana Orion bisa tahu kalau ia selalu memikirkan sesuatu yang buruk di otaknya? “Edo… Edo akan baik-baik aja.”
“Gitu lebih baik,” senyuman kini terukir di bibir Orion. “Lagian, orang kayak Edo biasanya mati tua,” orang brengsek kayak Edo maksud gue, batin Orion berkata.
Mata Sagi membulat lebar. “Orion, ngomongnya!”
“Apa? Bukannya itu kata-kata penghibur ya?”
Sagi mendelik, kata-kata itu memang penghibur khas Orion. Tapi entah kenapa ia tidak merasa terhibur sama sekali. Tangannya sekali lagi terangkat untuk menyeka air matanya, anehnya setelah berbicara dengan Orion, ia merasa jadi lebih baik. Iya, Edo akan baik-baik saja.
“Udah mendingan kan?” Sagi mengerutkan keningnya, ini Orion bisa baca pikiran orang atau gimana?
Tapi, ada sesuatu yang baru saja Sagi sadari. Sepertinya ia tadi terlalu banyak pikiran sampai tidak menyadarinya.
“Kamu abis berantem lagi?” tanya Sagi dengan nada marah.
Ujung bibir Orion terlihat membiru, bahkan darah yang sudah mengering masih terlihat sisanya disana. Pun dengan pipi dan pelipisnya, terlihat lebam disana.
“Dipukulin bukan berantem.”
“Sama siapa?!”
“Ada, orang.”
“Siapa?! Seneng banget sih dapet luka! Terus, udah dibersihin?”
Orion menggeleng. “Lo langsung manggil jadi gue kesini."
Sagi menghela napasnya tidak habis pikir dengan Orion. Malah nyalahin lagi. “Kamu tunggu disini, aku beli plester dulu.”
Senyum Orion tertarik pelan-pelan, “Sekalian green sands lime ya. Haus,” dan Sagi membalasnya dengan delikan.
◐◐◐◐
[Sagi]
Aku kembali dengan sebuah bungkusan di tanganku. Kulihat Orion duduk ditempatku sebelumnya. Matanya lurus, menatap kosong dinding putih didepannya.
Untuk sejenak, aku berdiri tanpa suara, memerhatikannya yang selama itupun juga tidak bergerak sama sekali. Bahkan ia tidak sadar aku sudah kembali. Orion kenapa?
“Orion," ia berbalik dengan cepat dan sebuah senyum tercipta, rautnya berbeda 180 derajat dari sebelumnya. Ia nampak baik-baik saja.
Aku dan Orion berakhir duduk berhadapan. Yang pertama kulakukan adalah membersihkan luka sobekan di ujung bibirnya.
“Jadi gegara berantem kamu ngilang tadi? Gak lama bibir kamu jadi selebar joker tau gak!”
“Luka lama belum sembuh malah nambah yang baru.”
“Seneng banget buat khawatir orang sih!”
Aku mulai mengomel, seperti kebiasaanku saat mengobati luka Orion. Tapi seperti kebiasaan cowok itu juga, ia hanya tersenyum atau diam atau menyengir mendengar omelanku lalu pergi dan mengulang kebiasaan berantemnya itu.
Yang aku herankan dari Orion adalah ia tidak pernah meringis atau terlihat merasa kesakitan saat aku mengobati lukanya. Padahal, biasanya dalam cerita atau drama pemeran lelaki akan melakukan itu. Kenapa Orion tidak?
“Kamu gak ngerasa sakit?”
“Apanya?”
“Lukanya.”
“Oh, sakit.”
“Kenapa gak ngeluh?”
“Masih bisa ditahan.”
Aku yang akan menempelkan plester pada ujung bibir Orion memutuskan menempelnya dengan keras dan menekannya dengan sengaja.
“Aduduhh!”
“Tahan!” kataku ketus membuatnya mendesis. Biar saja, biar dia tahu rasa.
Tidak perlu waktu lama, aku sudah selesai dengan semua luka Orion, termasuk mengoleskan salep pada lebamnya. Aku merapikan semua bahan yang tadi kubeli di apotek kedalam plastik dan menyerahkannya pada cowok itu. “Aku tau ini gak bakal jadi kali terakhir kamu berantem, anggep aja persediaan. Aku sengaja beli lengkap.”
Orion melihat sebentar bungkusan ditanganku kemudian menggeleng sambil kembali menatapku. “Lo simpen. Gue kan kalo abis berantem datengnya ke elu.”
“Siapa bilang aku mau nerima kamu lagi abis ini?”
“Ya terserah, gak nerima pun gue bakal tetep dateng. Gue tau lo gak bakal tega.”
Aku mendesis kesal pada Orion lalu menarik kembali sodoran tanganku sedangkan ia dengan santainya kembali meminum minuman kaleng yang tadi kubelikan. Saat itulah aku menandai sesuatu aneh yang lain. Itu,, ditelinganya ada apa? Tunggu sebentar, itu kan…
“ORION KAMU NINDIK TELINGA KAMU?!!”
“Uhukk.. Uhuukkk…” Orion tersedak dalam minumnya. Ia mengelap kasar bibirnya lalu menoleh padaku dengan kesal. “Bisa gak usah tereak gak sih Sa? Gue kaget!”
“Kamu nindik telinga kamu?!!” aku mengulangnya tidak kalah terkejut tapi kali ini lebih pelan.
Senyum Orion terkembang, ia menyentuh telinga kananya yang tertindik. Bahkan tidak cuma satu, ia menindiknya dua kali?! “Hooh, keren gak?”
DAN DIA BERTANYA APAKAH ITU KEREN DENGAN SANTAINYA?!
Aku refleks memijit keningku dengan frustasi. Aku menyerah, aku menyerah menghadapinya.
“Sa kenapa lo? Atau mau gue ajakin juga lain kali? Gue kayaknya pengen nindik lagi nih.”
“MAU NINDIK APA LAGI ITU UDAH DUA ORION?!!!”
to be continued...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top