Chapter 7: Pengesahan Undang-Undang

Tuan Loyo bergerak cepat. Ide untuk memproduksi biola secara masal langsung ia ajukan ke Dewan Rakyat. Hari ini ia menyerahkan mandat kepada 3 menteri untuk memaparkan rancangan undang-undang di hadapan para wakil rakyat. Aku diminta untuk mendampinginya. Namun karena bukan pejabat yang berkepentingan, aku tidak diperkenankan mengikuti sidang pleno.

Aku menunggu di bangku kayu panjang, dekat pintu masuk. Sejak pagi hingga siang hatiku gelisah. Aku berharap Dewan Rakyat akan segera mengesahkan undang-undang seperti yang diajukan pemerintah.

Jika undang-undang tersebut disahkan, semoga pelarangan menyimpan atribut atau segala sesuatu larangan yang berkaitan dengan biola ikut dicabut. Di dinding kamar anakku ada lukisan biola. Haiva juga mengaku bisa memainkan biola. Itu membuatku diliputi kecemasan selama dua hari terakhir. Aku tak mau keluargaku terkena masalah.

Pintu terbuka. Beberapa orang keluar. Mereka staf dari beberapa kementerian. Satu di antaranya Viola. Mendadak aku bersemangat.

“Perwira!” Wajah Viola tampak kusut. Sepertinya hari ini sangat berat baginya. “Tuan di sini rupanya?”

Dalam situasi banyak orang, Viola selalu formal. Bagaimanapun juga, levelku di atasnya. Sejujurnya aku lebih suka ia memanggil dengan menyebut nama saja.

“Aku menunggu Perdana Menteri,” jawabku. “Kau punya pekerjaan lain?”

Viola menggeleng. “Pekerjaan satu minggu sudah aku selesaikan dalam setengah hari ini. Aku bebas tugas sampai sore nanti. Cuma besok akan menjadi hari yang berat. Baru saja rancangan undang-undang disahkan dewan.”

Perasaan gembira seketika menjalari hatiku. Akhirnya ide Perdana Menteri mendekati kenyataan. Aku tidak sabar untuk mengetahuinya secara rinci. Sebenarnya ingin sekali aku bertanya banyak kepada Viola, namun waktunya kurang tepat. Aku harus tetap berada di sini ketika Tuan Loyo keluar dari ruang dewan nanti.

“Baik, Perwira. Aku pulang dulu!”

“Iya.”

Viola melirikku sekilas, lantas berlalu dari hadapanku. Sikapnya sedikit berbeda dari hari-hari sebelumnya. Ia tampak kurang bersemangat. Keceriaannya berkurang. Aku tidak tahu, apakah pekerjaannya sangat berat atau ini ada hubungannya dengan jawabanku padanya tadi malam.

“Perwira!” Seorang prajurit membungkuk hormat kepadaku. “Tuan ditunggu Perdana Menteri di dalam.”

Kubetulkan posisi jubah. “Ayo jalan, Prajurit!”

Prajurit menegakkan badan, menungguku bergerak lebih dulu. Aku berjalan, memasuki ruangan dewan.
***

Aku baru melihat Tuan Loyo segembira ini. Ia sedang tertawa lebar, dikelilingi para menteri. Mereka melingkari sebuah meja bundar yang di atasnya terdapat berbagai macam hidangan berkelas.

Aku membungkuk, memberi hormat kepada Tuan Loyo.

“Hanz Mahardika!” Tuan Loyo berdiri, menyambutku gembira. Tangannya terulur mengarah kepadaku. Pandangannya beredar ke arah para menteri. “Tuan-tuan, dialah yang mencetuskan ide untuk memproduksi biola secara masal!”

Satu per satu para menteri berdiri. Mereka membungkuk, membalas hormatku. Aku merasa tersanjung sekaligus canggung. Menurutku ini sesuatu yang berlebihan mengingat mereka adalah para menteri, sedangkan aku hanya perwira.

“Silakan duduk, Perwira!” perintah Tuan Loyo.

Aku mendekati meja dengan dada berdebar-debar. Kududuki kursi kosong yang kebetulan posisinya tepat berhadapan dengan Tuan Loyo.

“Tadi Dewan Rakyat dengan suara bulat telah mengesahkan undang-undang pembuatan biola secara masal, sekaligus merevisi undang-undang pelarangan menyimpan biola,” beritahu Tuan Loyo. Ia masih terus memperlihatkan kegembiraan. “Ini adalah sejarah bagi bangsa Javadip. Kelak kita akan mendapati biola dijual bebas seperti buah-buahan!”

Para menteri tertawa. Entah mereka melakukannya karena menjaga perasaan Tuan Loyo, atau memang ada yang lucu dari ucapan Perdana Menteri. Biola memang barang langka. Jangankan bagi bangsa Javadip, bagi bangsa lain yang tidak melakukan pelarangan pun, biola tidak mudah dijumpai. Sehingga akan menjadi sesuatu yang menarik jika benar biola kelak mudah dijumpai layaknya buah-buahan.

Seperti yang pernah kudengar dari Viola, biola adalah salah satu alat musik kuno yang belum punah. Keberadaannya dicari para kolektor seni, alih-alih dimainkan sebagai alat musik. Harganya sangat mahal. Di beberapa negara Asia Timur biola dijadikan benda yang harus dilindungi.

Javadip melarang keberadaan biola, murni disebabkan faktor politik. Pada masa lalu negara sangat alergi terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan pemberontak. Padahal menurut Viola, sebelum pengikut klan Violin yang tinggal di Javadip memberontak, jumlah biola terbanyak berada di negara ini. Konon jumlahnya mencapai puluhan. Entah ke mana biola-biola itu sekarang.

“Negara telah menyiapkan anggaran besar. Besok akan diadakan sayembara untuk mencari orang-orang yang ahli membuat biola. Mereka akan digaji tinggi, bukan hanya untuk membuat biola tetapi juga menularkan ilmunya kepada generasi muda,” lanjut Tuan Loyo.

Aku ingin bertanya kepada Tuan Loyo, apakah pencabutan larangan terhadap biola hanya sebatas kepada alat musik saja atau juga segala sesuatu yang berkaitan dengan biola, seperti gambar, lukisan, pahatan, dan lain-lain. Namun karena situasinya kurang tepat, aku mengurungkannya.

“Selain itu...” Tuan Loyo menatapku. “Raja akan mengumumkan sayembara untuk mencari pemain biola. Biola akan menjadi musik resmi negara. Tidakkah itu sesuatu yang menghebohkan? Aku tidak sabar melihat reaksi para pemberontak. Kuharap mereka marah besar. Hahaha!”

Para Menteri serentak tertawa. Mereka seperti robot saja. Barangkali kalau Tuan Loyo menangis, mereka akan ikut menangis.

Selagi Tuan Loyo berhenti bicara, aku menggunakan kesempatan ini untuk bicara. “Sebagai prajurit, aku gembira dengan pengesahan undang-undang ini, Perdana Menteri. Diharapkan ini akan menjadi serangan dahsyat terhadap klan Violin.

“Benar, Perwira! Inilah yang aku sebut sebagai perang urat syaraf. Kita jatuhkan mental mereka dulu, baru kalahkan dengan senjata. Tetapi kuharap mereka sudah hancur sebelum kita menghunus pedang. Hahaha!”

Para menteri kembali tertawa, menimpali Tuan Loyo. Aku tersenyum, melihat kelucuan mereka.

“Mohon maaf, Perdana Menteri. Izinkan aku bertanya mengenai pencabutan larangan terhadap biola.” Aku menundukkan kepala sebagai bentuk permohonan maaf telah menyela Tuan Loyo.

“Pencabutan hanya berlaku pada alat musiknya saja. Selain itu masih dilarang!” jawab Tuan Loyo tegas.

Aku menelan ludah. Mendadak aku teringat lukisan biola di dinding kamar anakku. Hatiku menjadi gelisah karenanya.
***

Tidak kujumpai Viola pada telaga Ayoman. Gadis itu seharusnya sudah duduk di atas pematang bambu, menatap telaga atau memandang langit pada malam seperti ini. Entah berada di mana ia sekarang.

Pikiranku melayang kembali kepada kejadian kemarin malam, di sini. Serta-merta hatiku menjadi gelisah memikirkannya. Jika ia memiliki perasaan yang sama denganku, pasti ia sedang menanggung kecewa. Ah kenapa aku begitu percaya diri ia juga menyukaiku. Ia tahu, aku sudah berumah tangga.

Dengan kecerdasan dan kecantikannya, Viola bisa mendapatkan lelaki lajang yang kedudukannya lebih tingi dariku. Kenapa pula aku harus berharap kepadanya. Kenapa pula aku harus gelisah memikirkan perasaannya.

Srek! Srek!

Reflek tangan kananku menyentuh gagang pedang. Mata kuedarkan ke sekitar. Pendengaran kupasang baik-baik. Sejauh ini belum ada sesuatu yang mencurigakan.

Aku bergerak menjauh dari telaga menuju semak-semak. Pedang kutarik setengah selongsong. Mendadak semak bergoyang-goyang. Kulihat sesosok bayangan berkelebat, menjauh dari balik semak. Aku segera mengejarnya.

Langkahku lebih panjang dari sosok tersebut. Sambil berlari, kucabut pedang dari selongsong. Ketika jarakku tinggal dua langkah darinya, ia terjerembab. Dengan sigap kuhunus pedang ke lehernya.

Sosok tersebut menoleh. “Perwira!”

“Viola?” Meskipun terkejut, aku masih menghunus pedang. Sudah lazim seorang prajurit untuk selalu waspada terhadap apa pun dan siapa pun, termasuk kepada seseorang yang dikenal.

“Kau tidak ingin menjauhkan pedang dari leherku, Perwira?” Napas Viola terengah-engah. Wajahnya pucat.

“Kenapa kau mengendap-endap?”

“Aku Viola, Perwira!”

“Kau belum menjawab pertanyaanku!”

Viola menunjukkan wajah kecewa. “Aku memerhatikanmu dari balik semak. Apa itu salah?”

“Kalau merasa tidak bersalah kenapa lari?”

Viola menyingkirkan pedang dari lehernya. Dengan berani ia menatapku. “Memerhatikan orang yang kusukai itu bukan kesalahan. Merindukan lelaki yang sudah beristri juga bukan kesalahan. Aku tidak memintanya, Perwira! Rasa itu datang sendiri! Jika bisa, aku ingin membunuh rasa ini. Tapi aku tidak bisa! Kau dengar? Aku tidak bisa!”

Pedangku jatuh. Lemas serasa tubuhku mendengar ucapannya yang menyayat hati. Jadi benar ia menyukaiku? Oh, sekarang ia menangis!

“Maafkan aku, Vio!” Aku mengulurkan tangan kepada Viola, bermaksud membantunya berdiri.

Alih-alih menyambut uluran tanganku, Viola meraih pedang yang tergeletak di sampingnya. Ia mengacungkannya kepadaku. “Bunuh saja aku dengan pedang ini, Perwira! Itu lebih baik dari pada aku mati menanggung rasa yang selalu gagal kubunuh!”

Aku membuang pandangan ke langit. Dadaku terasa sesak.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top