Chapter 2: Amerika dan Rusia

Viola menarik sepasang kaki dari telaga. Ia menggeser badan, menghadapku. Ketika ia memutuskan berhenti memandang telaga, biasanya selepasnya ia akan membicarakan sesuatu yang menurutnya menarik. Selalu begitu, setiap kali kami bertemu di sini.

Aku pun mengikuti seperti yang Viola lakukan. Kutarik sepasang kaki, mengambil posisi berhadapan dengannya. Aku duduk bersila, sementara ia menekuk kedua lutut, merapatkannya, lantas meletakkan kedua telapak tangan pada lutut.

“Aku tertarik dengan ucapanmu tadi, tentang dulu pernah ada manusia yang pernah sampai ke bulan.” Viola menggerai rambut ke belakang. Angin malam terus memain-mainkannya. Pada musim kering seperti sekarang, angin bertiup kencang dan sangat lembab.

Kurapatkan belahan jubah, mengurangi hawa dingin. “Kau lebih tahu dariku. Bukankah kau ahli sejarah?”

“Aku ingin tahu pendapatmu. Menurutmu apakah itu mungkin? Aku sering bertanya seperti itu dalam hati.”

“Kenapa kau tidak yakin?”

“Literatur tentang bulan yang ada di librari istana semua disusun oleh orang Javadip. Sejarah itu ditorehkan orang Amerika kuno. Padahal mereka hanya menganggapnya sekadar legenda. Kadang aku curiga, para penyusun literatur di negara kita sedang mencari sensasi saja.”

Aku tak mengerti kenapa orang secerdas Viola akan berpikiran seperti itu. Barangkali benar kata orang bahwa semakin pandai seseorang, ia akan merasa bodoh. Semakin banyak pengetahuan didapat, semakin merasa kurang ilmunya.

“Bagaimana menurutmu, Perwira?”

“Kau bertanya kepada orang yang tak tahu banyak soal pendaratan manusia di bulan. Aku seorang prajurit. Aku hanya tahu soal mempertahankan kedaulatan negara.”

“Pasti kau punya pandangan!”

“Aku hanya ingin memandangmu.”

Viola membuang muka ke arah telaga. Aku tahu, ia sedang tidak ingin mendengar rayuanku. Ia sedang serius.

“Peristiwa itu terjadi pada pertengahan abad ke-20, mendekati milenium ketiga. Pada saat itu memang manusia sedang berada pada puncak tertinggi peradaban. Konon mereka bisa saling bicara hanya dengan perantara sebuah benda seukuran telapak tangan. Antara satu orang dengan yang lainnya bisa bertatap muka dari jarak yang sangat jauh. Dari literatur yang kubaca, Amerika menjadi negara paling maju. Pertanyaannya, kenapa sekarang mereka menjadi negara paling terbelakang?”

Pertanyaan Viola jelas tidak bisa aku jawab. Ia lebih paham mengenai sejarah dan peradaban. Maka aku hanya bisa mengangkat sepasang bahu.

“Ayolah, Perwira! Berikan pendapatmu!”

Aku mendesah panjang. Sepanjang yang kutahu, Amerika dulu sebuah negara adi daya. Mereka menguasai perekonomian dunia dan senjata canggih. Mereka bersekutu dengan negara-negara lain untuk menekan kekuatan kecil yang tidak sejalan dengan pandangan mereka.

Ketika itu, Javadip hanya bagian dari sebuah pulau di Nusantara. Nama ‘Javadip’ diambil dari kata Jawa Dipa, salah satu pulau berpenduduk padat di Indonesia, di mana ibukota negara berada di dalamnya. Sekarang Javadip menjadi negara paling maju di bumi. Wilayahnya tidak hanya sebatas pulau Jawa, tetapi meliputi seluruh Nusantara, ditambah dengan sebagian Asia Tenggara. Meskipun kemajuan ini masih belum seberapa dibanding dengan Amerika kuno.

“Aku hanya prajurit. Jadi pengetahuanku hanya berkisar soal sejarah peperangan.”

“Kau pasti tahu, pendaratan manusia di bulan tak lepas dari bagian perang dingin antara Amerika dan Rusia. Mereka bersaing dalam segala hal.”

Aku protes. “Perang dingin bukan perang fisik, itu pertama. Kedua, perang itu bukan antara Amerika dengan Rusia, tetapi antara Amerika dengan Uni Soviet.”

“Sama saja. Rusia adalah negara utama dari Uni Soviet! Dan perang dingin tidak bisa dilepaskan dari perang fisik. Mereka berlomba-lomba menciptakan senjata. Mereka memang tidak perang secara langsung. Tetapi mereka bersaing memperebutkan pengaruh negara-negara kecil yang sedang konflik.” Viola tidak mau kalah. Ia memang pandai berargumen. Ia selalu siap berdebat dengan siapa saja.

“Kau benar!” Aku malas berdebat atas sesuatu yang menurutku tidak penting.

“Seharusnya kau tahu, sebelumnya Amerika telah kalah dari Rusia dalam hal teknologi terutama soal penjelajahan ke luar angkasa. Tak lama setelah Rusia berhasil mengirim manusia pertama ke luar angkasa, tiba-tiba Amerika membalasnya dengan mendaratkan manusia pertama ke bulan. Zi Yang, seorang penulis dari Asia Timur dalam literaturnya berpendapat bahwa Amerika tidak pernah mendaratkan manusia ke bulan. Itu kebohongan besar!”

Aku mulai mengantuk mendengar penjelasan Viola. Aku sama sekali tidak tertarik dengan sejarah pada periode milenium kedua. Kemajuan peradaban masa itu seperti dongeng saja. Aku juga tidak yakin kalau waktu itu mereka bisa memusnahkan jutaan manusia hanya dengan sebuah senjata yang disebut nuklir.

Satu hal yang masih membuatku tidak habis pikir adalah kenapa peradaban mengalami anti klimaks. Jika dulu perlatan perang sangat canggih, kenapa sekarang manusia berperang mengendarai kuda dan menggunakan senjata pedang? Jika dulu manusia pernah mengalami puncak tertinggi peradaban, di mana bekas-bekas runtuhannya? Jika dulu bumi dihuni oleh milyaran manusia, kenapa Javadip sebagai negara berpenduduk terbesar di bumi hanya dihuni oleh ratusan ribu orang? Benarkah kemusnahan disebabkan senjata nuklir?

“Aku bahkan menganggap puncak peradaban manusia pada masa itu sebagai sesuatu yang dilebih-lebihkan,” ujarku tak bermaksud memancing polemik.

Tetapi Viola tidak pernah mau kalah. Ia akan mempertahankan apa yang menurutnya benar. Ia menarik napas dalam-dalam.

“Itu pendapat pribadi. Kau harus menghargainya!” kataku sebelum ia sempat mendebatku.

Viola mendengus. Aku yakin, ia tak suka aku menghentikan perdebatan sebelum ia sempat mengeluarkan semua argumentasi.

“Sudahlah, tak penting membahas sesuatu yang masih belum pasti kebenarannya,”ujarku.

Meskipun aku tahu Viola masih belum puas, tapi ia seorang yang mahir mengendalikan diri.  Ia juga pandai menghargai pendapat orang lain. Sehingga, sekarang ia lebih memilih diam.

“Aku menemuimu untuk menanyakan sesuatu yang cukup penting. Aku bisa melakukannya besok, tetapi aku tak akan bisa tidur jika belum mendapatkan kejelasan sekarang.”

“Soal apa?” Dagu Viola tertumpu ke lutut. Sepertinya ia mulai mengantuk. Matanya berair. Intensitas kedipannya semakin rapat.

“Biola!”

Mendadak Viola mengangkat dagu. Ia menatapku sekarang. Mimiknya menyiratkan keterkejutan. Aku sudah menduga, ia akan bereaksi seperti itu. Biola adalah sesuatu yang sangat tabu dibicarakan di Javadip.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Setelah memastikan tidak ada orang selain kami, aku mendekatkan bibir ke telinga kiri Viola. “Bagaimana cara untuk mendapatkan biola?” tanyaku setengah berbisik.

“Aku tidak tahu!” Viola menjawab tegas.

Kutatap lekat-lekat sepasang mata Viola., mencari kejujuran di sana. Sepertinya gadis itu memang tidak sedang berbohong.

“Kenapa kau menanyakan itu?”

Aku menggeleng. Tidak mungkin kujawab pertanyaan Viola secara jujur. Ini adalah tugas khusus. Aku ditugaskan Tuan Loyo, perdana menteri, untuk mencari tahu. Tugas ini bersifat rahasia.

“Kenapa?”

“Baru akan  kujelaskan kalau kamu tahu jawaban atas pertanyaanku.”

Viola membuang muka ke telaga. Dengusannya menimbulkan uap yang tampak seperti asap.

“Namamu mirip dengan biola!” jawabku asal.

Wajah Viola mendadak pucat. Ia menatapku dengan sorot tak suka. “Hanya karena namaku mirip, kau yakin kalau aku bisa menjelaskan segala sesuatu tentang biola?”

“Sebuah nama pasti memiliki arti. Setidaknya orang tuamu memiliki maksud tertentu.”

Viola menegakkan badan. “Jika disuruh memilih, aku tak mau namaku Viola! Aku tak suka namaku dikait-kaitkan dengan benda yang hanya menyebutnya saja sudah membuat semua orang sensitif. Kau tahu bukan, menyebut biola di sini lebih menjijikan dari kotoran hewan?”

“Baik, maafkan aku!”

Viola kembali membuang muka ke telaga. “Jika pertanyaanmu berhubungan dengan tugas negara, aku akan bantu untuk mencari jawabannya.”

“Iya. Sekali lagi maafkan aku.”

Viola menoleh. Ia mengangguk.

Bersambung....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top