Chapter 14: Keras Kepala
Aku seperti sedang menjalani hukuman. Haiva masih dingin. Ia belum kembali seperti sosok yang kukenal selama ini. Setiap kali kucoba mendekati, ia menghindar. Banyak alasan ia sampaikan. Banyak cara ia lakukan agar aku tidak leluasa bersamanya.
Demi rasa bersalah, aku membiarkan Haiva bersikap seperti yang ia inginkan. Biarlah aku akan bersabar sampai ia mau bicara padaku. Barangkali ia butuh waktu untuk mengendalikan perasaan. Aku pun memberinya kesempatan baginya untuk berpikir. Aku yakin, ia tak akan membiarkan rumah tangga kami berantakan.
Semalaman aku memikirkan sikap Haiva dan membayangkan betapa ngerinya jika Viola harus menjalani hukuman gantung. Tahu-tahu aku terbangun saat matahari sudah meninggi. Tak kutemukan Haiva di sebelahku. Kupikir ia sedang berada di kamar Elfish, namun tak kutemukan ia di sana, hanya anak semata wayang kami yang sedang asyik bermain pedang-pedangan.
“Ibu ke mana?” tanyaku.
Elfish menghunusku dengan pedang mainan. “Siapa kau?”
Aku mencoba menenangkan hati. Elfish tak boleh merasakan kegelisahanku. Aku pura-pura takut kepadanya. “Ampun, Prajurit! Aku penyusup yang kelaparan!”
“Makanlah!”
Aku tertawa. Mana ada prajurit sebaik itu. “Siap, Prajurit!” Aku meninggalkan Elfish menuju ruang tengah.
Di atas meja makan telah terhidang menu sarapan dan segelas susu. Aku sedang tidak berselera. Namun demi mendapati secarik kertas tertindih piring perungu, aku bergegas, mendekati meja makan.
Kuambil secarik kertas, lalu membacanya: Aku menghadiri sidang. Haiva.
Haiva tak pernah sekalipun keluar rumah tanpa seizinku. Kali ini diam-diam ia pergi, menghadiri sidang. Jika tidak terikat dengan syarat yang diajukan Viola, aku pasti ke sana sekarang.
Aku terduduk lemas di atas kursi. Menu sarapan hari ini seharusnya menggugah selera. Nasi lemak, lalapan dan sambal tomat tersaji di atas meja. Itu menu sarapan kesukaanku. Namun, aku tak ingin menyentuhnya. Memandangnya saja membuat perutku mual.
Sekarang pasti sidang sedang berlangsung. Entah bagaimana nasib Viola. Semoga saja hakim punya alasan kuat untuk mengurangi hukumannya. Namun jika tidak ada yang meringankannya, Viola harus menerima vonis maksimal, yaitu hukuman mati.
Kuremas rambut cepakku. Tak bisa kubayangkan bagaimana perasaanku jika nanti Viola dijatuhi hukuman mati. Aku tak sanggup membayangkan ia harus menghadapai tiang gantungan. Tidak, ia tidak boleh mati dalam keadaan terhukum seperti ini. Ia tak berhak mendapatkan ini. Ia tak bersalah. Seharusnya aku yang dipersalahkan.
“Kau tidak makan, Penyusup?” Sebilah pedang teracung ke dadaku. Elfish memasang wajah tegas. Aku tak menyangka ia akan mengawasiku.
“Aku tidak lapar!”
“Harus lapar!”
“Kalau tidak lapar?”
“Aku tebas pakai pedang ini!”
Aku tertawa. Kusingkirkan pedang dari dadaku. Kupeluk Elfish erat-erat. Ia seorang prajurit yang tampan dan lucu. Ia baru saja menghiburku dengan tingkahnya. Ia seperti ibunya yang pandai menyulap suasana tidak nyaman menjadi menyenangkan dalam sekejap.
Seharian aku berusaha menepiskan ketakutan-ketakutan yang menguasai hati dengan bermain bersama Elfish. Aku percaya, keadilan akan tegak. Aku yakin Viola akan bebas dari dakwaan yang tidak seharusnya ia terima. Aku juga percaya, Haiva tidak akan tinggal diam. Ia tak akan membiarkan Viola dijatuhi hukuman mati. Ia pasti akan melakukan sesuatu. Ia banyak akal dan selalu bersikap tenang, tidak gegabah.
Namun kadang aku takut, perasaan kecewa dan cemburu akan membuat Haiva apatis, meskipun pada akhirnya kusangkal ketakutanku. Ia bukan orang yang mementingkan diri sendiri dan tak acuh kepada kezaliman. Ia pasti tahu apa yang harus dilakukan.
Menjelang sore, aku mengajak Elfish jalan-jalan menunggang kuda. Ia sangat senang bisa berdua saja dengan ayahnya. Ia bukan anak manja. Pasti ia akan senang bisa lepas dari pelukan ibunya dengan menjadi lelaki tangguh.
Kami berkeliling istana, memacu kuda dengan kecepatan sedang. Elfish kutempatkan di depan. Sesekali kubiarkan ia mengendalikan tali kekang. Ia sangat senang karenanya. Gigi depannya yang habis separuh terkuak saat tertawa lebar.
“Aku ingin menjadi prajurit kavaleri, Ayah!” teriaknya senang.
Aku tertawa riang. “Kau pasti bisa, Elfish. Kau harus belajar dari sekarang.”
“Aku sedang belajar sekarang!”
“Hahaha! Iya, kau sedang belajar sekarang!”
Dua putaran berkeliling istana sudah cukup menyenangkan Elfish. Kami pulang ke rumah. Kudapati Haiva sedang melamun di teras.
“Kau sudah pulang?” tanyaku sambil memberi isyarat kepada Elfish agar langsung masuk rumah.
Elfish memeluk ibunya sebentar, kemudian masuk rumah, meninggalkan kami berdua.
Haiva langsung memelukku erat. Ia menangis sesenggukan. Tubuhku lemas, menduga ia akan memberitahukan kabar buruk. Kubiarkan ia menuntaskan tangisnya.
Setelah tangis Haiva reda aku membimbingnya ke kamar, menguncinya rapat-rapat agar Elfish tak mengganggu kami.
“Bagaimana hasil persidangan?” Aku berharap-harap cemas, tak sabar ingin segera mengetahui nasib Viola.
Haiva menyeka air mata. “Viola bersikeras kalau bendera itu miliknya. Ia mengulang kembali cerita seperti kesaksian kemarin.” Ia memelukku kembali.
Tubuhku terasa lemas. Hatiku pedih. Haiva memang belum memberitahukan vonis apa yang diterima Viola, tetapi mendengar ucapannya tadi, aku pesimis.
“Untuk apa ia melakukannya?” ratap Haiva masih dalam pelukanku. “Sedalam itukah cintanya padamu, Hanz? Ia bukan manusia. Ia malaikat. Oh, bukan! Ia manusia bodoh yang keras kepala!”
Kurasakan tubuh Haiva berguncang hebat. Pelukannya semakin erat. Airmatanya membasahi telingaku.
“Sidang sudah selesai?” tanyaku penasaran.
Haiva melepaskan pelukannya. Ia memandangku sedih. “Aku sudah membujuknya sebelum sidang dimulai agar ia mencabut pengakuannya. Biarlah aku akan meminta pengampunan Raja dengan mengakui kesalahanku kepadanya. Itu akan meringankan hukumanku dan membebaskan Viola dari dakwaan yang tidak pernah dilakukannya. Tapi ia menolak!”
“Apa vonis hakim?”
“Viola dijatuhi hukuman maksimal!” Haiva menutup wajah menggunakan kedua telapak tangan. Tangisnya kembali pecah.
Kupeluk Haiva erat-erat. Tanpa sadar airmataku menetes. Perasaan bersalahku semakin menemui titik puncak. Semua berawal dariku, dan akan kuakhiri dengan melakukan sesuatu untuk menebus kesalahan.
“Izinkan aku menemui Viola sekarang!” pintaku.
Haiva mengangguk, masih dalam pelukanku.
“Terima kasih, Haiva!”
***
Viola menyambut kedatanganku dengan senyum. Sikapnya membuat hatiku semakin pedih.
“Kau menagih juga!” ujar Viola seolah tanpa beban. Ia mengelus-elus jeruji besi sambil terus mempertahankan senyum. “Kau sudah penuhi syarat kedua.”
“Kenapa kau melakukannya?” tanyaku kesal.
“Jangan bahas soal itu lagi, aku sudah mengatakannya kemarin!”
“Kau bodoh, Vio!”
Senyum Viola semakin lebar. “Aku memang bodoh, tetapi aku cukup cerdas untuk menangkap sinyal cintamu, Hanz!”
Kekesalanku sedikit berkurang karena Viola menyebut namaku.
“Kau mencintaiku bukan? Sekali saja, katakan kepadaku agar aku bisa mati dengan damai! Aku sudah minta izin kepada istrimu agar memperbolehkanmu mengucapkan kata cinta kepadaku untuk terakhir kali. Ia mengizinkan, Hanz. Jadi katakanlah!”
Aku tak habis pikir, kenapa Viola bisa setenang ini menghadapi kematian.
“Kau mau mengatakannya atau tidak?”
Aku bergeming, membenci situasi ini. Aku ingin mengatakan bahwa aku mencintanya dalam keadaan lapang, bukan dalam situasi seperti sekarang ini.
“Tidak mengapa kalau kau tidak mencintaiku, Hanz.” Viola membuang muka. “Aku tak menyesal. Setidaknya aku pernah merasa bahagia berada di dekatmu. Itu cukup bagiku.”
Viola menjauhiku. Ia duduk di sudut sel, menekuk lutut sambil memandangku. Entah terbuat dari apa hatinya bisa sampai setenang ini.
“Pulanglah, Hanz! Tak ada lagi yang ingin kudengar darimu,” desis Viola. Senyumnya meredup. Ia membuang muka ke dinding.
“Aku mencintaimu, Viola!” ucapku lantang. “Kau harus menurutiku sekarang jika benar kau juga mencintaiku!”
Viola menyeringai. “Jadi cintamu bersyarat?”
“Bukan, tetapi kau harus membuktikannya.”
“Belum cukupkah bukti yang sudah kuberikan, Hanz? Besok aku akan menjemput kematian demi dirimu!”
“Itu belum cukup!”
“Katakan apa yang harus kulakukan agar bukti cintaku cukup buatmu?”
“Kau harus meminta pengampunan Raja. Akui kalau kau sudah mengarang cerita. Jelaskan semua, dan kau akan mendapatkan keringanan hukuman.”
“Kau egois, tapi manis!” Viola terkekeh. “Aku tidak mau meski kau paksa sekalipun.”
“Kau keras kepala!”
“Semua karenamu, Hanz!”
“Iya. Semua salahku. Jadi biarkan aku menebusnya!”
Viola menggeleng. “Pulanglah! Ingat, kau harus memenuhi syarat ketiga besok. Seorang perwira pantang ingkar janji bukan?”
“Vio!”
Viola bungkam. Ia membaringkan tubuh, miring ke kanan, memunggungiku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top