Chapter 13: Tiga Syarat
Haiva dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari segala dakwaan. Aku bersyukur, namun sisi lain hatiku menyimpan kegelisahan yang teramat dalam. Sejak Viola bersaksi kemarin, ia lebih banyak diam, hanya bicara seperlunya.
Aku kehilangan senyum Haiva. Aku tidak lagi mendapatkan kehangatan yang selalu ia berikan. Ia lebih sibuk menemani Elfish dan cenderung menghindariku. Malam pertama tinggal di istana rasanya seperti berada di dalam penjara.
Situasi ini tidak boleh berlarut-larut. Bangun pagi, aku langsung memeluknya dari belakang. Ia masih terpejam, berbaring dalam posisi memunggungiku. Entah ia sudah bangun atau memang masih tidur, yang pasti ia tidak merespon, bergeming seperti patung.
“Haiva.” Kubisikkan nama Haiva lirih.
Hening.
“Maafkan aku, Istriku!” Kubelai rambut Haiva.
Haiva belum merespon. Namun aku merasakan detak jantungnya berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Tampaknya ia sudah terbangun sebelum aku memeluknya.
Kuraih jari-jari Haiva, meremasnya dengan lembut. “Bicaralah, Haiva. Makilah aku. Marahilah. Ungkapkan semua kekesalanmu, asal jangan kau diamkan aku.”
Haiva membalikkan badan. Matanya sembab. Hidungnya berair. Sepertinya ia telah menangis sejak lama. Ia menatapku, seolah ingin menumpahkan semua perasaannya namun tidak bisa.
Kusungging senyum kepada Haiva, berusaha mendinginkan perasaannya.
“Kau masih bisa tersenyum pada saat satu leher sedang terancam tali gantungan? Kau hanya memikirkan diri sendiri. Kau tidak menunjukkan kepedulian sama sekali kepada seseorang yang rela mati demi menyelamatkan istrimu.” Nada bicara Haiva menunjukkan bahwa ia sangat marah kepadaku.
“Aku tak paham maksudmu.”
“Viola!” Nada Haiva meninggi. “Dia, orang yang mencintaimu, gadis yang telah bersaksi palsu pada persidangan. Tidakkah kau mengenalnya?”
Aku berusaha tenang, meski hatiku gelisah. Aku menduga ia sudah bisa menebak hubunganku dengan Viola, setidaknya nalurinya sedang berfungsi, mengendus kelakuanku di belakangnya selama ini.
“Aku tak ingin membahas apa hubunganmu dengannya. Aku hanya minta kau peduli pada keselamatan jiwanya. Dia perempuan sepertiku, seperti ibumu. Kau akan diam saja, Perwira?”
Kalimat Haiva sangat menampar. Aku merasa tersudut. Kuakui, ia benar. Aku lebih mementingkan utuhnya pernikahan, alih-alih melakukan sesuatu untuk menghindarkan Viola dari tiang gantungan. Namun aku tidak seapatis seperti dugaannya.
“Kenapa diam, Perwira?”
Sakit rasanya. Seolah hatiku sedang tertusuk-tusuk pisau tajam, mendengar istriku memanggilku dengan sebutan perwira.
“Kenapa?” desak Haiva.
“Aku tak mengerti dengan semua ini, Haiva. Kemarin kau mengaku kalau bendera itu adalah bendera yang ditemukan Elfish. Kau meminta maaf karena telah berbohong padaku, mengatakan telah membakarnya padahal menyimpannya. Lalu tiba-tiba Viola bersaksi di persidangan bahwa ia yang melempar bendera tersebut ke dalam rumah ini.”
Haiva membuang muka.
“Kalau pengakuannya benar, tentu saja aku akan membiarkan pengadilan memutuskan hukuman yang setimpal untuknya. Apakah aku salah?”
Haiva bergeming, tak memandangku sama sekali.
“Kau ingin mendengarkan pengakuanku sekarang? Kau siap mengetahui kebenaran hubunganku dengan Viola, Haiva?”
“Aku sudah tahu!” Haiva menatapku tajam. “Kau sering berdua-duaan dengannya di telaga Ayoman sebelum pulang ke rumah.”
Aku menelan ludah. Pahit rasanya. Jadi Haiva sudah tahu? Lalu, kenapa ia tak pernah menunjukkan kecemburuan sama sekali? Kenapa ia masih bisa bersikap lembut kepadaku? Seharusnya ia melakukan sesuatu yang sekiranya dapat menghentikanku dari mengkhianatinya. Tunggu, aku ingat sekarang. Dua malam lalu ia menunjukkan sikap aneh. Apakah itu ada hubungannya dengan Viola?
“Ia cantik bukan? Ia cerdas, enerjik, dan seorang gadis sempurna!”
Aku menunduk dalam-dalam. “Maafkan aku, Haiva!”
“Aku sudah memaafkanmu sejak lama, Perwira!”
“Berhentilah memanggilku perwira,” pintaku. Perasaanku campur aduk, antara merasa bersalah sekaligus kesal. “Aku suamimu. Jangan perlakukan aku seperti orang lain.”
Haiva menangis, menutupi wajahnya menggunakan telapak tangan.
Aku menjadi serba salah. Aku merasa bingung, masih tak mengerti dengan semua pengakuan Haiva. Ia mendadak seperti orang asing di mataku. Banyak hal yang masih belum kuketahui tentangnya. Namun kusadar, ini salahku, bukan salahnya. Sejak menikahinya, telah kututup mataku atas masa lalunya. Sehingga mau tak mau, aku harus menerima semua ini dengan lapang.
“Aku tidak ingin mengkhianati cintamu, namun kuakui aku sering berdua-duaan dengannya di telaga Ayoman. Aku salah, menuruti perasaan nyamanku padanya. Maafkan aku, Haiva!”
Tangis Haiva semakin menjadi. Ia membenamkan wajah pada bantal. Kubiarkan ia tenggelam dengan perasaannya. Tak ada yang bisa kulakukan selain memelihara perasaan bersalah.
***
Di sudut sel, Viola menekuk lutut, menangkupkan kedua telapak tangan pada betis. Pandangannya terbentur ke dinding penjara. Ia tak mau aku temui. Aku hanya bisa mematung dari luar jeruji. Sudah berkali-kali aku membujuknya agar mau bicara, tapi jangankan mengucapkan sepatah kata, memandangku pun ia tak sudi.
Sebentar lagi ia akan disidang dengan dakwaan berlapis. Ia dituduh bersalah telah memiliki bendera klan Violin. Ia juga dituduh telah memfitnah anggota istana. Untuk tuduhan terakhir, ia terancam hukuman mati.
“Jadi kau benar-benar tidak mau bicara kepadaku?” Aku tak mau menyerah. Aku akan tetap di sini sampai ia mau bicara.
Viola bergeming. Seolah ia tak mendengar ucapanku. Seolah ia tak menganggapku ada.
“Katakanlah sesuatu, jangan diam, Vio!”
“Perwira!” Prajurit penjaga menghampiriku. Ia membungkuk hormat. “Mohon maaf, waktu Tuan sudah habis.”
“Beri aku waktu sampai ia bicara, Prajurit!” Aku meninggikan suara.
Prajurit mundur, berlalu dari hadapanku.
“Kenapa kau melakukan ini, Vio? Kenapa kau harus melakukan kesaksian palsu? Kenapa tak kau biarkan istriku dihukum atas perbuatannya sendiri? Jika benar kau ingin menyingkirkannya, seharusnya kau tak mengakuinya.” Aku tak tahan lagi untuk menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan. Aku kehabisan akal untuk bisa berbicara empat mata dengannya.
Viola tetap bergeming. Hanya berkedip, memandang dinding dengan sorot dingin.
“KENAPA, VIO?” Aku berteriak sekuat tenaga. Kupukul jeruji menggunakan kepalan tangan kanan. Memiliki perasaan bersalah kepada dua orang perempuan yang kucintai adalah situasi paling tidak nyaman yang pernah kurasakan sepanjang hidup.
Aku merasa bersalah kepada Viola, telah menyeretnya dalam permainan api. Api itu kini membakarku, membakar istriku, dan membakarnya. Semua terbakar. Semua terluka. Semua salahku.
“Aku akan bicara kepadamu asal kau mau memenuhi tiga syarat, Perwira.” Viola berkata lirih tanpa memandangku.
Aku bernapas lega. “Katakan apa syaratnya?”
Viola menoleh, memandangku sendu. “Syarat pertama, kau harus memaafkanku telah membuat istrimu tahu kalau aku mencintaimu.”
“Kau sebut itu sebagai syarat? Kau tak perlu meminta maaf untuk itu. Semua salahku. Kau korban dari ketidakberdayaanku mengendalikan perasaan ini, Vio.”
Viola tak acuh. “Syarat kedua, jangan hadiri persidanganku.”
Itu syarat yang cukup berat.
“Syarat ketiga.” Viola menatapku lekat-lekat. “Jangan saksikan hukuman gantungku. Cukuplah kau tahu, aku akan melakukan apa saja untuk membuatmu bahagia, meski harus mengorbankan jiwa.”
“Viola!” lemas rasanya lututku mendengar kalimatnya. Hatiku remuk redam. Jadi ia melakukan ini demi menyelamatkan Haiva? “Kamu bodoh, Vio! Kamu tak seharusnya melakukan ini. Istriku akan baik-baik saja tanpa perlu kau serahkan jiwamu dengan cara seperti ini!”
“Cinta memang suci, tapi membutakan! Selepas ini jangan pernah lagi mengkhianati kepercayaan istrimu. Jadikan ini pelajaran untukmu, Perwira!”
“Aku mencintaimu, Viola! Ini bukan soal mengkhianati. Ini tentang perasaan. Aku tak pernah memintanya. Rasa itu datang sendiri.”
Viola bangkit. Ia mendekatiku. Tatapan matanya menusuk, serasa menembus jantungku. “Kau pikir aku memintanya? Rasa ini juga datang sendiri!”
“Iya.”
“Waktumu sudah habis, Perwira!” senyum Viola terkembang. “Kita akan bicarakan nanti selepas sidang, sebelum hukuman dijatuhkan kepadaku. Penuhi syaratmu dulu, setidaknya kau bisa memenuhi syarat pertama.”
“Aku memaafkanmu, meskipun aku tak pernah menganggapmu bersalah. Kau dengar?”
Viola mengangguk. “Masih ada dua syarat!”
Aku mendengus.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top