Chapter 12: Bendera Klan Violin

“Ayaahh!” Elfish berlari menyongsongku begitu aku sampai di depan rumah yang disediakan istana. Ia memelukku erat sambil menangis sesenggukan.

Aku biarkan Elfish memelukku, meskipun penasaran kenapa ia menangis. Ia bukan anak cengeng. Ia sangat tangguh, berkali-kali terjatuh dan berdarah, tetapi ia tak berani menunjukkan airmatanya.

“Ibuuu!” Elfish meraung.

“Ibu memarahimu?”

Elfish menggeleng. “Ibuuu!”

Aku menjadi penasaran. Ia tak akan menangis seperti ini saat dimarahi ibunya, paling hanya merajuk tanpa airmata. Pasti ada sesuatu yang tidak beres. “Kenapa dengan ibu?”

“Ibu dibawa prajurit!” Tubuh Elfish bergetar.

Kulepas pelukan Elfish. Setengah berjongkok kuseka airmatanya. Aku menduga ia takut ibunya akan meninggalkannya. Sebagai seorang putri angkat Raja sudah wajar kalau istriku dikawal prajurit. “Dibawa prajurit bagaimana? Kau bisa menceritakannya?”

Airmata Elfish terus mengalir. “Ibu ditangkap, Ayah!”

Aku kaget setengah mati. “Ditangkap bagaimana?” tanyaku cemas. Apa salah Haiva?

“Hormat, Perwira!”

Aku menoleh ke samping. Kudapati seorang prajurit sedang membungkuk hormat kepadaku. Aku berdiri, bermaksud meminta penjelasan darinya. “Apa yang terjadi dengan istriku, Prajurit?”

Prajurit menegakkan tubuh. “Putri Haiva sekarang berada di dalam tahanan, Perwira.”

“Bawa aku ke sana!” perintahku.

“Siap, Perwira!”

Kugendong Elfish. Kami mengekor prajurit yang akan membawaku menemui Haiva. Sepanjang perjalanan benakku dipenuhi pertanyaan-pertanyaan. Semuanya dugaan bercampur ketakutan. Pasti ada yang tidak beres.

Sampai di ruang tahanan perempuan, para prajurit penjaga memberi hormat kepadaku.

“Di mana istriku, Prajurit?” tanyaku tidak sabar. Nada suara kutinggikan.

Seorang prajurit penjaga menghadapku. “Silakan, Perwira!” Ia mengajakku memasuki sebuah sel khusus.

Elfish langsung menghambur menuju ibunya yang berada di dalam jeruji besi. Haiva tampak berkaca-kaca. Ia mendekat ke jeruji, menyongsong anak kami. Sepasang anak dan ibu itu saling berpegangan tangan sambil menangis.

Sambil mengelus rambut Elfish, Haiva memandang sedih kepadaku. Aku mendekatinya dengan perasaan tidak keruan.

“Kau baik-baik saja, Haiva?” kubelai rambut panjang Haiva.

“Maafkan aku, Hanz. Maafkan aku!” Haiva meraih tangan kananku, meremasnya dengan lembut. Airmatanya berurai.

“Ada apa? Apa yang terjadi denganmu?” Kuremas kuat-kuat jemari Haiva.

Haiva menunduk. Airmatanya terus mengalir, membasahi pipi. Mimiknya menyiratkan kalau ia merasa bersalah.

“Katakan, Istriku!”

Haiva masih bungkam. Alih-alih menjawab, ia memeluk Elfish dengan jeruji sebagai penghalang.

Aku semakin penasaran, ingin segera tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Namun aku tak sanggup mendesak Haiva untuk menjelaskannya. Kubiarkan ia menangis. Aku akan menunggu sampai ia siap bicara.

“Maafkan aku, Hanz!” mohon Haiva.

“Iya. Aku memaafkanmu. Tapi jelaskan apa yang terjadi. Aku mencemaskanmu. Kau tahu itu!” Perasaanku meluap. Nada bicaraku meninggi, bukan karena marah kepada Haiva, tetapi karena tidak sanggup menahannya.

“Aku telah berbohong kepadamu, Hanz. Aku menyimpan bendera yang pernah ditemukan Elfish. Aku tidak membakarnya! Maafkan aku!” Tangis Haiva pecah. Suaranya menyayat hati.

Aku mendesah tertahan. Sungguh tak kupercaya apa yang baru saja kudengar. Haiva mengaku telah membohongiku. Tiba-tiba saja aku merasa seperti tidak mengenalinya. Sepuluh tahun menikah denganku, baru kali ini aku merasa tersakiti olehnya.

“Kenapa kau menyimpannya? Kenapa?” Suaraku parau akibat menahan emosi.

Haiva membuang muka, alih-alih menjawab pertanyaanku.
***

Aku tertunduk lemas di kursi pengunjung. Beruntung Elfish mau dibujuk agar tetap tinggal di kamar ditemani dayang-dayang istana, jika tidak, perasaanku semakin tidak keruan.

Tiga hakim duduk berjejeran di balik meja hijau. Di sebelah kanan dua jaksa saling berbisik. Di sebelah kiri, Haiva tertunduk dengan kedua tangan terikat. Aku memandangnya sedih. Meskipun aku kecewa kepadanya karena telah membohongiku, tetapi ia adalah istriku. Aku menyayanginya. Aku tak mau hal buruk menimpa dirinya.

Hakim ketua berdeham, membuat beberapa pengunjung memusatkan perhatian kepadanya. Aku membetulkan posisi duduk, menunggu sidang dengan hati berdebar-debar. Kiranya hukuman apa yang akan diterima Haiva? Oh, aku menjadi teringat dengan beberapa terdakwa yang pernah kutangkap dengan dakwaan serupa. Mereka dihukum penjara, paling ringan dua tahun, paling lama 10 tahun. Sunguh ngeri aku membayangkan jika itu menimpa istriku.

“Mohon perhatiannya. Diharap tenang selama persidangan berlangsung,” Hakim Ketua berbicara dengan nada sedang namun bertenaga. “Dengan ini sidang kami buka!”

Tok! Tok! Palu diketok Hakim Ketua.

“Silakan Jaksa untuk melakukan penuntutan!” Hakim memandang ke arah para jaksa.

Hindar, seorang jaksa senior berdiri. Aku tidak asing dengannya. Ia selalu menjadi jaksa penuntut pada persidangan di mana para terdakwanya sebagian besar adalah pemberontak yang aku tangkap.

“Terima kasih, Yang Mulia. Di hadapan kami, terdakwa bernama Haiva, 35 tahun, telah tertangkap tangan menyembunyikan bendera klan Violin. Terdakwa secara nyata, dengan kesadaran sendiri, tanpa tekanan, mengakui telah sengaja membawa, menyembunyikan bendera klan Violin ke dalam istana. Perbuatan terdakwa melanggar undang-undang tentang keamanan dan kedaulatan negara pasal 13 ayat 2 yang menyatakan; barangsiapa yang dengan sengaja menyimpan, membawa, menyembunyikan, dan mengetahui tanpa melaporkan, dikenai hukuman tahanan selama 10 tahun. Sehelai bukti bendera dan dua orang saksi telah siap dihadirkan. Maka dengan ini kami menuntut terdakwa bersalah dan dimohon majelis hakim untuk menjatuhkan hukuman maksimal. Terima kasih.” Jaksa Hindar duduk selepas melakukan penuntutan.

Kusandarkan punggung pada kursi. Kulihat Haiva semakin menunduk. Aku yakin ia tahu, aku sedang mengikuti persidangan.

“Tuan Jaksa bisa menghadirkan bukti dan saksi?”

Lembing, jaksa muda yang reputasinya sedang naik daun berdiri. “Ada yang Mulia!” Ia berjalan, mendekati para hakim sambil membawa sebuah bukti bendera. Ia menyerahkannya kepada Hakim Ketua.

Aku sangat mengenal bendera berwarna dasar biru dengan logo bergambar biola di tengahnya. Di bawahnya tertulis: Violin. Aku berkali-kali menyitanya. Namun tak pernah menyangka sebelumnya, istriku sendiri akan tersangkut kasus gara-gara bendera tersebut.

“Perkenankan kami menghadirkan dua orang saksi, Yang Mulia!” mohon Lembing.

“Silakan!”

Lembing kembali ke tempat duduk. Ia menengok ke belakang menyuruh seseorang untuk menempati kursi kosong di depan hakim. Seorang lelaki yang kutebak sebagai petugas kebersihan istana dengan langkah mantap menduduki kursi.

“Tuan, silakan bersaksi,” Hakim Ketua mempersilakan. “Ceritakan kronologinya.”

“Baik, Yang Mulia!” Saksi mengangguk hormat. “Tadi siang aku sedang membersihkan teras kediaman Putri Haiva. Tanpa sengaja aku menemukan bendera klan Violin di dekat kursi. Tiba-tiba Putri Haiva keluar dari rumah, memintaku untuk mengembalikan kepadanya. Terpaksa kukembalikan. Kemudian aku ceritakan perihal tersebut kepada seorang prajurit. Hanya itu yang kutahu, Yang Mulia.”

“Apakah benda ini yang Tuan Saksi maksudkan?” Hakim merentangkan bendera, menunjukkannya kepada saksi.

“Benar, Yang Mulia” jawab Saksi.

Haiva memandangku. Wajahnya menyiratkan penyesalan. Aku membalasnya dengan senyum, mencoba menguatkannya. Namun hal itu membuat matanya berkaca-kaca.

“Baik. Tuan Saksi, silakan kembali ke tempat duduk.” Hakim Ketua mempersilakan.

Saksi meninggalkan kursi, kembali ke tempat duduknya. Tak berselang lama, Viola menyeruak, berjalan menuju kursi di depan hakim.

Aku terkejut. Benarkah ia akan bersaksi memberatkan Haiva? Aku tak menyangka Viola akan melakukannya. Ia sempat melirikku dengan tatapan yang tak kumengerti.

Viola menduduki kursi dengan tenang.

Di sebelah kanan, kulihat Haiva memandang Viola dengan pandangan terkejut. Dari sorot matanya, aku curiga ia mengenal gadis itu.

“Nona, silakan bersaksi!” ucap Hakim ketua.

“Baik, Yang Mulia. Aku sedang melintas ketika Putri Haiva ditangkap para prajurit. Aku tidak tahu apa kesalahannya. Kemudian aku mengikutinya dari belakang. Sampai di ruang investigasi aku meminta kepada prajurit agar dijadikan saksi,” ucap Viola.

“Nona Saksi tahu kalau terdakwa menyimpan bendera ini?” Hakim Ketua menunjukkan bukti kepada Viola.

“Tahu!”

“Tahu dari mana? Padahal Nona Saksi datang pada saat terdakwa sudah ditangkap?”

“Karena aku yang melemparkan bendera tersebut ke dalam rumahnya!” jawab Viola tegas.

Aku terkejut mendengar pengakuan Viola. Benarkah apa yang dikatakannya? Apa motifnya? Jika berniat ingin mencelakakan Haiva, kenapa ia mengakuinya? Sandiwara macam apa ini?

Kulihat Haiva terperangah. Ia memandang Viola tanpa kedip.

Para pengunjung gaduh. Mereka sepertinya terkejut. Lebih terkejut lagi adalah kedua Jaksa.

Hindar segera berdiri. Wajahnya pucat. “Mohon maaf, Yang Mulia! Bukan itu yang saksi katakan saat interogasi. Ia baru saja mengatakan sesuatu yang berbeda antara kesaksian saat interogasi dengan saat persidangan!”

“Kami hanya akan menggunakan kesaksian dalam persidangan!” tegas Hakim Ketua.

Hindar menunduk kecewa. Ia mengempaskan pantat ke kursi sambil memandang kesal kepada Viola.

“Teruskan, Nona Saksi!”

“Aku mengintip dari kejauhan, menunggu reaksi Putri Haiva. Namun tiba-tiba ada seorang anak lelaki kecil keluar sambil berlari, mengibar-ibarkan bendera tersebut. Anak itu terjatuh. Ia masuk ke rumah. Bendera tersebut terbiar di luar. Tak lama, datanglah petugas kebersihan istana.” Viola menjelaskan. Nadanya mantap, tak kudengar ada nada keraguan.

“Jadi bendera tersebut milik Nona Saksi?”

“Benar, bendera tersebut milikku!”

“Kenapa Nona Saksi melemparkannya ke kediaman terdakwa?”

“Karena...” Viola menunduk. Ia terdiam cukup lama.

“Karena apa, Nona Saksi?” desak Hakim Ketua.

Viola memandang Haiva. Haiva membalas dengan raut kecewa.

“Jawab, Nona Saksi!” Hakim Ketua meninggikan suara.

“Karena aku ingin memfitnah Putri Haiva! Aku mencintai suaminya.”

Bagai disambar petir, badanku mengejang. Sungguh sulit dipercaya pengakuan Viola. Kepalaku serasa mau pecah memikirkan situasi ini. Aku malu sekaligus merasa bersalah kepada Haiva.

Haiva berdiri. Matanya melotot tajam. Telunjuk tangan kanannya teracung lurus ke arah Viola. Aku baru melihat ia semarah itu. “Dia bohong, Yang Mulia! Dia mengarang cerita. Dia....”

“Harap tenang, Nyonya Terdakwa!” hardik Hakim Ketua.
Masih menunjukkan wajah marah, Haiva duduk. Ia memandangku tajam. Aku menunduk, merasa bersalah kepadanya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top