Chapter 11: Memainkan Biola

Aku memasuki ruangan singgasana Raja dengan dada berdebar-debar. Bukan sekali ini saja aku menghadapanya, namun baru sekarang aku merasa gugup. Ini karena semua pasang mata yang berada di ruangan ini sedang menyorot ke arah kami. Kami menjadi pusat perhatian karena akan melakukan sesuatu yang baru dalam sejarah Javadip.

Aku berjalan paling depan. Haiva dan Elfish mengekorku. Sampai di hadapan Raja aku membungkuk. Aku yakin anak dan istriku melakukan hal serupa.

“Duduklah!” perintah Raja. Suaranya masih berwibawa untuk usianya yang mendekati 70 tahun.

Aku bersimpuh. Kutengok, Haiva dan Elfish juga melakukan seperti apa yang kulakukan. Aku menunduk, menunggu protokoler selanjutnya.

“Tuan Raja.” Perdana Menteri membungkuk hormat kepada Raja. “Haiva, istri Hanz, perwira yang gagah berani, akan mengikuti sayembara. Mohon perkenankan ia menunjukkan kemampuannya untuk menghibur Tuan Raja.”

“Ambil biolanya!” perintah Raja, entah kepada siapa.

Pandanganku fokus ke lantai, tidak berani memandang ke sekeliling. Dadaku semakin berdebar tak menentu. Kuharap Haiva akan setenang seperti pembawaannya selama ini.

“Haiva!” panggil Raja.

“Hamba, Tuan Raja!”

Suara Haiva terdengar cukup tenang. Ini membuatku sedikit lega.

“Tunjukkan keahlianmu! Silakan mainkan lagu apa saja!” perintah Raja.

Haiva melewatiku, berjalan setengah beringsut. Aku beranikan diri mengangkat dagu. Sampai di hadapan Raja, ia menengadahkan kedua tangan sambil kepalanya menunduk.

Raja menyerahkan biola. Haiva menerima penuh penghormatan. Ia menciumnya, seperti mencium bibirku. Aku tak tahu seperti apa wajahnya ketika ia melakukan itu, namun aku tebak ia pasti memejamkan mata, menghormati benda yang ia anggap suci.

“Berdirilah! Mainkan biola itu dengan hatimu!” perintah Raja.

Haiva mengangguk hormat kepada Raja, Perdana Menteri, dan kepada semua yang hadir di ruangan ini. Ia melempar senyum kepadaku. Senyumnya seolah ingin meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja. Aku membalas senyumnya untuk menyemangatinya.

Ruangan hening. Setiap pandangan memusat kepada Haiva. Ia tampak percaya diri. Tak kulihat beban sedikit pun pada wajahnya. Pembawaannya sungguh tenang. Aku pun menjadi tenang. Setidaknya, kecemasanku berangsur berkurang.

Haiva memegang leher biola menggunakan tangan kiri. Ekor biola ia tempatkan pada leher. Sementara bagian bawahnya ia tempatkan pada tulang selangka dan menahannya menggunakan rahang.

Tangan kanan Haiva mengayun busur rambut, berjarak satu ruas jari di atas papan nada. Jari-jari tangan kirinya siap pada posisi. Perlahan ia menggesek dawai. Satu nada melengking panjang. Bunyinya menyayat hati.

Semua yang hadir di ruangan ini terkesima, tidak terkecuali Raja. Aku yakin, mereka baru kali ini mendengar suara biola. Aku yang selama ini hanya bisa melihat gambarnya, menahan napas, mendengar nada yang diciptakan Haiva.

Tiga kali kudengar nada panjang dengan lengkingan tinggi. Haiva berhenti sejenak. Ia menarik napas dalam-dalam. Selepasnya dengan lincah ia memainkan sebuah lagu dengan tempo lebih rapat dari sebelumnya. Di pertengahan ia mempertunjukkan kemahiran, memainkan nada tinggi dan rendah secara cepat.

Aku merasa takjub. Begitu pun dengan semua yang berada di ruangan ini, mereka tersihir nada-nada yang diciptakan Haiva. Hanya Elfish yang tampak santai. Ia menganggap biasa suasana sakral ini.

Satu lagu baru saja selesai. Raja bertepuk tangan sambil berdiri. Semua yang ada di ruangan ikut berdiri, memberi penghormatan kepada Haiva. Tubuhku terasa berat saat kuberdirikan. Apa yang kulihat dan kudengarkan serasa mimpi saja. Tanpa sadar airmataku meleleh.

“Sebuah lagu yang sangat menyentuh!” Raja tersenyum, tampak puas. Ia melangkah mendekati Haiva. “Kau baru saja menyayat hatiku sekaligus memain-mainkan degub jantungku dengan kelincahan jari-jarimu.”

Haiva mengangguk hormat.

“Tegakkan tubuhmu!”

Haiva menegakkan tubuh, pandangannya tertunduk ke lantai.

“Angkat dagumu!”

Pelan-pelan Haiva mengangkat dagu. Ia menyungging senyum kepada Raja.

Raja menyentuh rambut Haiva. “Mulai hari ini kau kuangkat sebagai putri!”

Perdana Menteri bertepuk tangan, diikuti semua yang berada di ruangan ini. Aku mematung, tak bisa melukiskan bagaimana bahagianya perasaanku saat ini. Di sebelahku Elfish malah mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan.

“Kau sudah berkeluarga, Putriku?”

Raja menanyakan sesuatu yang sudah ia ketahui jawabannya. Pasti ia memiliki maksud tertentu.

Haiva mengangguk hormat. “Sudah, Tuan Raja.”

“Keluargamu ada di sini?”

“Iya, Tuan Raja!”

Raja mengedarkan pandangan ke sekeliling, baru berhenti ketika sampai kepadaku. Ia memandangku dengan sorot teduh. Tangannya menunjuk ke arahku dan Elfish. “Itukah suami dan anakmu?”

Haiva menolah ke arahku dan Elfish. “Benar, Tuan Raja.”

Raja menatap Haiva selayak seorang ayah menatap anak perempuannya. “Kalian keluarga yang luar biasa. Suamimu adalah perwira kebanggan Javadip. Dan anakmu seorang lelaki cerdas.” Raja memandang ke arah Elfish.

Elfish celingukkan, seolah tidak menyadari sedang menjadi pusat perhatian. Aku menyenggol lengannya. Ia menoleh kepadaku. Segera saja aku memberinya isyarat agar memandang Raja.

“Kemarilah, Nak!” Raja merentangkan kedua tangannya, meminta Elfish agar mendekat.

Elfish menatapku, seolah meminta pendapat.

“Menghadapalah kepada Tuan Raja,” suruhku.

Elfish mengangguk. Ditatapnya Raja sejenak. Dengan langkah ragu ia mendekati Raja. Raja langsung memeluknya erat.

Airmataku kembali meleleh. Sungguh aku bahagia. Dua orang yang sangat kusayang baru saja membuatku bangga.

Raja melepaskan pelukannya. Dielusnya rambut Elfish dengan lembut. “Siapa namamu?”

“Elfish!”

Raja mengacak rambut Elfish. “Anak cerdas! Kau boleh kembali kepada ayahmu.”

Setengah berlari Elfish kembali ke tempatnya. Ia cengar-cengir, menatapku riang. “Kenapa ayah menangis?”

Airmataku semakin deras mengalir.
***

Selain dinobatkan sebagai pemenang sayembara, Haiva diangkat sebagai putri angkat Raja. Tak terlukis bagaimana bahagianya hati kami. Kebahagiaan kami semakin lengkap ketika sebuah rumah telah disiapkan untuk kami tinggali. Sementara penyerahan hadiah akan dilakukan besok.

Dikawal beberapa prajurit, aku pulang ke rumah, mengambil baju dan barang-barang penting lainnya. Sebelum sampai ke kereta, aku berpapasan dengan Viola yang tampaknya sengaja mencegatku.

“Tuan Perwira!” Viola mengangguk hormat.

Aku merasa aneh diperlakukan seperti itu oleh Viola. Kami tidak biasa bersikap formal. Barangkali karena sekarang aku baru saja mendapatkan kehormatan dari Raja, entahlah.

“Selamat aku ucapkan,” ucap Viola.

“Terima kasih,” balasku pelan. Kulempar senyum kepadanya, namun ia hanya membalasnya dengan senyum sekadarnya.

“Putri Haiva sangat cantik!” Viola tak menatapku saat mengatakan itu.

Hatiku menjadi tak menentu. Ada perasaan bersalah kepadanya. “Terima kasih, Viola!”

“Mohon maaf, mengganggu perjalanan Tuan!” Viola mengangguk hormat. Selepasnya ia berlalu dari hadapanku tanpa sekalipun memandang wajahku.

Aku bergeming, memandang kepergiannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top