Sebelum Kereta Menjemput

Aku mencintaimu.

Dua kata itu tertinggal di tenggorokan Kancil saat ia hendak pulang kampung. Mulanya, ia memutuskan untuk membawa dua patah kata itu ke hadapan Sinah saat mereka duduk berdua di atas jembatan penyeberangan. 

Laki-laki itu ingat benar. Januari adalah musim hujan baru di kota ini. Nyaris tiap sore sampai malam, langit bersimbah air dan angin, membuat jalanan becek dan para mahasiswa mengumpat. Sinah waktu itu baru saja selesai kerja kelompok untuk tugas mata kuliah umum di indekos temannya. Dia kirimkan pesan kepada Kancil, bertanya apakah dia sedang sibuk atau tidak.

Tentu saja, Kancil yang sedang jadi asisten dosen menjawab tidak.

Bagi pria semester tiga itu, Tuhan telah memberikan anugerah di tengah-tengah hujan yang datang silih berganti. Ia jengkel tak bisa mampir ke tongkrongan kawannya. Kesal pula karena ribet mengenakan jas hujan yang dibagi menjadi dua: bagian baju dan celana. Belum lagi jemurannya yang tak kering-kering, padahal ia selalu mandi, mencuci baju, sekaligus menjemurnya di atas jam dua belas malam.

Sebenarnya sudah tinggal menghitung hari ia akan pulang kampung. Jika bukan karena permohonan surat keterangan aktif kuliah, Kancil mungkin sudah pulang seminggu atau dua minggu setelah nilai-nilai mata kuliahnya keluar. Tapi, Ibunya sudah berpesan. Kalau ia tak segera menuntaskan surat tersebut, tunjangan Ibunya bisa-bisa dicabut. Ia juga harus putar otak, cari cara supaya uang kuliah tunggalnya bisa bergeser kelompok, walaupun cuma satu tingkat saja.

Maka dari itu, di sela-sela kesibukannya, ia selalu mencari celah untuk mengajak Sinah berkeliling kota. Mungkin ke alun-alun, meniup gelembung bersama, mewarnai poster, makan telur gulung, atau menyaksikan parade malam minggu. Tapi sering sekali gagal. Kancil tak tahu, di jurusan yang diambil Sinah, apakah ujian selalu datang mendekati akhir semester. Sebab setahu laki-laki itu, di jurusannya sendiri, liburan selalu datang lebih awal. Setidaknya bagi mereka yang tak perlu mengulang.

Pagi ini, Sinah mengabari kalau dirinya akan pulang.

Tepat satu jam sebelum kereta meninggalkan kota. Ya, sebenarnya, Sinah sudah memberitahu Kancil bahwa dia akan kembali ke kampung halaman minggu ini. Tapi dia tak pernah menyebut kapan. Laki-laki itu lantas bertanya-tanya. Mengapa Sinah tak membiarkan Kancil mengantarnya? Apa jangan-jangan Sinah diantarkan oleh pria lain? Atau teman kosnya yang mengantarnya?

Dengan degup jantung yang semakin tak keruan, Kancil memberanikan diri untuk bertanya di Whatsapp. Tak sampai lima belas detik, notifikasinya berkicau.

Sampean soale sibuk, Mas, aku ora wani nganggu.

Tangan Kancil seketika membeku. Jari-jemarinya sudah tak kuat menyentuh layar gawai. Rasanya seisi bumi mau jatuh ke jurang. Kancil menghela napas berat. Ia tahu dan mengakui, tak mudah membagi waktu antara asistensinya, kuliahnya, dan Sinah. Banyak chat di Whatsapp yang ia balas sehari sekali. Termasuk milik Sinah.  Tapi ia bisa apa? Dari awal, tak ada pengakuan di antara mereka berdua. Tak ada serah terima bunga mawar, tak ada panggilan sayang, dan tak ada genggaman tangan. 

Harusnya hati laki-laki itu tak pernah merasa kehilangan seperti ini. Mestinya ia tak usah menaruh ekspektasi terlalu tinggi pada sesuatu yang tak pasti. Namun, dadanya masih berapi-api. Masih ada yang belum tersampaikan. Selama ini, dua kata itu telah terhenti di ujung tenggorokan, menanti lidah untuk melembutkan dan meluncurkannya.

Tinggal tiga puluh lima menit lagi, dan Kancil tak tahu apakah Sinah peron stasiun atau tidak. 

Kedua mata laki-laki itu tertuju pada kunci motor yang tergeletak di atas meja belajar. Tangannya gemetaran. Digenggamnya gawai kuat-kuat. Jantungnya berdegup kencang.

Persetan.

Hari ini juga, ia akan menjadikan Sinah miliknya dengan dua kata itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top