⭐Chapter 4🌼
Happy reading....
.
.
.
.
"Kita pamit dulu, ya." Pria itu menarik tanganku keluar ruangan. Meninggalkan para manusia di dalam sana yang sedang kebingungan.
Ia membawaku ke parkiran, di samping mobil putihnya. Saking kagetnya, aku bahkan tak sadar ia menggenggam tanganku sejak tadi. Aku langsung menepisnya. "Bukan mahram!" seruku. Baiklah, kesadaran baru saja kembali. Jangan bilang aku plinplan.
"Maaf, nggak sengaja," ujarnya santai. "Eh, sebenarnya sengaja sih, biar lebih meyakinkan," lanjutnya mengoreksi.
"Kamu orang yang kemarin, kan?" tanyaku langsung.
"Iya."
"Kamu kenapa?"
"Kenapa apa?"
"Kenapa ngelakuin hal tadi?"
Pria itu terdiam sejenak, menatap mataku dengan serius. "Ya, biar mereka berhenti menghina kamu."
Aku mengerutkan kening. Masih belum mengerti. "Memangnya kamu siapa? Kita kan nggak saling kenal."
"Tapi aku kenal kamu, kok," jawabnya terlampau santai.
"Kamu siapa?" tanyaku semakin penasaran.
"Aku anterin pulang, yuk! Sebentar lagi kamu akan tahu aku ini siapa."
Aku menggeleng cepat. "Aku nggak mau dibonceng cowok."
Pria beralis tebal itu menghela napas pelan. Kemudian tersenyum. "Naik mobil, Teratai. Nggak boncengan. Di mobil kan tempat duduknya ada jarak."
"Tunggu! Kamu tahu dari mana nama aku?" Aku masih mendesak. Sebab rasa penasaranku semakin tinggi.
"Kamu banyak nanya, ya." Pria itu membuka pintu mobilnya. "Ayo masuk."
Aku hanya diam. Tak ada niat bergerak sedikit pun. Bagaimana mungkin aku mau masuk ke mobil orang asing? Bagaimana jika ia ingin menyulikku? Lalu mengirimku ke luar negeri untuk jadi TKW?
"Aku nggak bakalan nyulik. Aku juga bukan penyalur TKW," ujarnya santai.
Bagaimana manusia ini bisa mengetahui isi pikiranku?
"Aku nggak bisa baca pikiran, cuma nebak aja, kok. Kalau tebakanku benar, jangan kamu kira aku ini cenayang," ocehnya tak henti.
Aku kembali tertegun. Tetapi dengan cepat aku menyadarkan diri. Aku masih teguh pendirian, tak mau masuk ke dalam mobilnya.
Pria itu menghela napas berat. Seperti orang yang mulai lelah. "Gimana sih biar kamu percaya? Aku ini bukan pembohong. 'Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta.' Surah An-Nahl ayat seratus lima."
"Hah?" Untuk ke sekian kalinya aku melongo dibuatnya. Aku bahkan tidak tahu ayat yang baru saja ia baca.
"Ha ho ha ho, ayo, aku anterin pulang." Pria dengan kaki jenjang itu semakin melebarkan pintu mobil di samping kemudi. "Ayo masuk."
Aku yang masih bingung berjalan perlahan menuju pintu mobil. Tunggu, kenapa aku tiba-tiba percaya padanya?
"Aku bukan penghafal Al-Qur'an, itu hafalan adik aku di sekolah. Aku ngajarin dia sampai akhirnya aku ikutan hafal," jelasnya diikuti cengiran kuda. Aneh sekali orang ini.
Tanpa ba-bi-bu lagi, aku pun masuk ke dalam mobil pria itu. Entah apa yang terjadi padaku. Aku tiba-tiba percaya padanya. Mudah-mudahan ia memang bukan penyalur TKW. Mungkin sekarang aku akan memanggilnya 'pria aneh'?
Nuansa bintang menyambutku di dalam mobil. Mulai dari gantungan kaca, stiker, sampai bantal-bantal kecil berbentuk bintang ada di dalam mobilnya.
Semua ini ... mengingatkanku pada seseorang.
"Jangan bengong, nanti kerasukan." Pria itu tiba-tiba sudah di sampingku memegang setir.
"Kamu siapa, sih?" tanyaku lagi.
"Aku? Duta sampo baru, pengganti Anggun," jawabnya asal.
Aku menghela napas. Memilih untuk diam menatap pemandangan melalui kaca jendela. Lama-lama aku kesal sendiri bicara dengan orang ini.
Hening cukup lama. Hingga akhirnya pria itu membuka suara. "Ngomong-ngomong, aku nggak tahu rumah kamu di mana," ujarnya tenang. Aku langsung mendelik padanya, tetapi ia malah fokus menatap jalanan.
"Kalau nggak tahu, nggak usah sok mau nganterin pulang," kesalku.
"Justru karena nggak tahu, makanya harus nawarin antar pulang, biar jadi tahu. Kamu nggak tahu modus laki-laki zaman sekarang?" balasnya tak mau kalah.
"Berarti kamu lagi modus nih?"
"Enggak," sergahnya cepat, "cuma mau tahu rumah kamu aja."
Aku lagi-lagi terdiam. Ah, harusnya aku tak meladeninya. Aku pun segera menyebutkan alamatku. Suasana kembali hening setelah itu.
Aku membuka tas, mengambil ponsel yang sudah kulupakan sejak tadi. Ada lima panggilan tak terjawab dari Kinar, dan tiga pesan dari gadis itu juga. Aku lupa bahwa sejak kelas tadi aku mengaktifkan mode silent. Pantas saja telepon dari Kinar tak terdengar.
Woy, terkejoed aku terheran-heran. Itu tadi siapa, Ra? Lo dimana sekarang? Angkat telfon dong...
Itu tadi siapa? Beneran pacar lo? Kok gue nggak tahu? Kok wajahnya familiar?
Pernah ketemu gue nggak? Kayaknya gue pernah lihat dia.
Pesan bertubi-tubi dari Kinar membuat otakku kembali dipenuhi tanda tanya. Ternyata bukan cuma aku, Kinar bahkan merasa familier dengan pria di sampingku ini. Aku menengok, menatap kembali wajahnya dengan saksama.
"Kenapa?" tanyanya yang mulai sadar sedang ditatap.
Aku berpikir sejenak. Jika aku kembali bertanya tentang dirinya, ia pasti tak akan menjawab dengan serius. Aku pun memutuskan untuk bertanya hal lain.
"Kamu nggak takut sama aku?" serangku.
Pria itu tersenyum. "Takut? Pertanyaan aneh."
"Kamu nggak kaget waktu pertama kali lihat aku, padahal biasanya orang-orang bakalan jauhin aku. Mereka takut, jijik, merasa aneh, dan—"
"Udahlah!" selanya. "Nggak usah bahas hal yang nggak penting."
Aku baru saja ingin membalas ucapannya, tetapi urung karena dering telepon yang menggema ke seluruh sudut mobil. Pria itu merogoh sakunya, mengeluarkan ponsel dari sana.
"Astaga!" serunya ketika melihat nama sang penelepon. Aku ingin bertanya, tapi kurasa itu bukan urusanku.
"Halo, Assalamualaikum."
"Ya ampun. Sorry, Bro. Gue lupa, beneran."
"Oke deh, tapi gue mampir bentar aja, ya. Gue lagi sama teman soalnya."
Aku sedikit menyeringai ketika ia menyebut kata 'teman'. Teman dari Hongkong? Kita bahkan belum berkenalan.
"Oke. Siap. Waalaikumsalam."
"Bahaya nyetir sambil nelfon," peringatanku. Bukan karena aku peduli padanya, aku hanya peduli pada keselamatanku sendiri.
"Iya, maaf," ucapnya singkat. Tak berceloteh seperti tadi. "Kita mampir di kafe dekat sini dulu, ya. Nggak lama. Cuma mau balikin buku temen."
"Oke."
***
Mobil putihnya akhirnya singgah di sebuah kafe. Aku baru sadar, ini adalah kafe yang sering diceritakan oleh Kinar. Kafe yang sedang hits di kalangan anak muda, terutama untuk yang gemar berfoto. Banyak sekali spot foto di sini.
"Ayo masuk," ajaknya.
"Enggak," tolakku langsung.
"Kamu harus cobain cappuccino di sini. Kamu masih suka cappuccino, kan?"
Deg!!
Aku kembali dibuat diam mematung. Apa mungkin dia memang cenayang? Cenayang yang menjelma menjadi pria kaya? Dari mana dia tahu aku suka cappuccino? Ya, itu memang minuman kesukaanku. Walaupun aku hanya bisa membelinya sesekali. Sebab aku lebih memilih untuk menabung dibandingkan membeli cappuccino di kafe seperti ini. Kecuali jika para sahabatku mau berbaik hati mentraktirku.
Aku menatap pria itu intens. Dengan tatapan mata serius. "Kamu siapa sih sebenarnya? Dari mana kamu tahu kesukaanku?" tanyaku dengan nada yang tak kalah serius.
"Eee ... itu kata Anggun," jawabnya gelagapan. Aku mengernyit. Menatapnya dengan penuh intimidasi. "Anggun, teman kamu tadi, dia ngomong kalau kamu suka cappuccino. Kebetulan tadi aku nanya sama dia," lanjutnya berusaha menjelaskan.
"Udah, ah! Ayo turun!" Tanpa menunggu jawabanku, pria itu segera keluar dari mobil. Aneh, sepertinya ada yang dia sembunyikan dariku.
Ah, kenapa aku tak bisa mengingat apa pun?
***
Sekitar lima belas menit aku menunggu di dalam mobil, pria itu tak kunjung keluar dari kafe. Karena merasa bosan, aku pun memutuskan untuk menyusulnya. Aku bisa saja langsung kabur dari sini, tetapi entah kenapa tak kulakukan. Salah satu alasannya, mungkin karena aku masih penasaran dengan pria itu. Sebelum masuk, aku menutupi wajahku dengan kerudung yang aku kenakan.
"Wah, siapa nih, Bro?" tanya pria berjaket.
"Eh, maaf. Kelamaan, ya." Pria aneh bin menyebalkan itu langsung berdiri ketika melihatku. "Gue duluan ya. Kasihan temen gue lama nungguin."
"Teman apa teman?" goda teman-temannya kompak.
"Kok mukanya ditutupin? Nggak usah malu," ujar yang berambut ikal.
Aku hanya berdiam diri. Mengumpat dalam hati atas kebodohanku sendiri. Seharusnya aku memang tidak masuk ke dalam kafe ini.
"Aw!!" pekikku. Seseorang tiba-tiba saja menabrak tubuhku dari arah belakang.
"Maaf, Kak. Nggak senga ... ja." Gadis dengan seragam SMP itu menatapku dengan mata membelalak. "Maaf. Nggak sengaja, Kak," ulangnya dengan kepala menunduk. Setelah itu ia pun segera berlari pergi tanpa menunggu jawaban dariku.
Aku mengusap bahuku yang sedikit terasa sakit. Mendadak suasana kafe terasa hening. Aku menatap sekelilingku. Semua mata tertuju padaku. Bahkan si pria aneh dan dua temannya ikut menatapku.
Mataku membulat sempurna begitu aku menyadari sesuatu. Lipatan kerudung yang menutupi wajahku terbuka saat aku ditabrak tadi. Mati aku!
"Tang, lo nggak salah? Ini beneran teman lo?" tanya pria berjaket.
Pria berambut ikal tertawa sinis. "Ini cowok yang menjelma cewek, ya?"
"Kok brewokan, sih? Kumisan pula. Ini cewek atau cowok?"
"Yang bener dong lo kalau nyari temen. Masa yang kayak gini, sih!"
Tubuhku sudah gemetar sejak tadi. Napasku mulai memburu. Butiran bening mulai mengganggu penglihatanku. Dan pria aneh ini diam saja menatapku?
"Dia bukan temen gue!" sahutnya tiba-tiba.
Si pria aneh itu ... sekarang ia mengatakan bahwa aku bukan temannya?
⭐⭐🌼🌼
23 Februari 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top