⭐Chapter 1🌼

Happy reading....
.
.
.
.


Mahasiswa terlambat, dosen marah dan ceramah.

Dosen terlambat, mahasiswa diam, pasrah, terima nasib.

Ya, itulah yang terjadi kini. Tepat di pojokan kelas, aku dan dua kawanku sedang berbincang ria sembari menunggu kedatangan dosen yang entah kapan akan muncul. Sepertinya kami akan kembali diberi harapan palsu. Ketua kelas sudah menghubungi dosen yang bersangkutan dan mengatakan bahwa beliau akan masuk. Namun, kenyataannya, waktu untuk mata kuliah ini telah berlalu setengah jam, tapi batang hidung dosen itu belum juga terlihat.

Jika menghadapi keadaan seperti ini, biasanya aku akan menuju perpustakaan untuk mengerjakan tugas, membaca buku, atau sekadar numpang menggunakan wifi. Tetapi kali ini aku tak bergairah melihat deretan huruf-huruf yang ada dalam buku. Mengingat kejadian kemarin yang tak mengenakkan, aku jadi malas ke perpustakaan. Ah, aku ingin segera melupakan kasus perundungan itu. Untuk sejenak aku butuh ketenangan. Dan di sinilah aku, di pojok kelas, saling bertukar cerita dengan kedua sahabatku; Kinar dan Justin.

"Eh, udah ada kabar belum tentang moderator debat capres dan cawapres yang kedua?" tanya Justin bersemangat. Bosan mendengar ulasan make up yang terus-menerus dibahas Kinar, Justin akhirnya beralih topik ke dunia politik.

"Sok peduli politik lo! Padahal biasanya juga bodo amat," sindir Kinar yang kini tengah sibuk memoles wajahnya dengan bedak. Padahal gadis cantik itu tak perlu memakai banyak riasan. Sebab kulit putih mulusnya sudah cukup membuatnya terlihat menawan. Ya, berbeda denganku tentunya.

"Yee ... enak aja. Ini penting, Nar. Menyangkut masa depan Indonesia. Hidup paslon 01 dan 02!" Pria itu menyeru sembari mengepalkan tangan tanda semangat, melakukan kampanye dadakan di dalam kelas.

"Dasar labil, pilih yang mana?" tegur Kinar yang kini melapisi bibirnya dengan lipstik.

"Rahasia, dong," jawab Justin santai. Sementara teman-teman sekelas hanya geleng-geleng kepala melihatnya.

"Bodo amat. Gue golput," ujar Kinar tak acuh.

"Aduh, Justin, nggak usah kampanye di sini." Aku mulai jenuh mendengar masalah politik. Aku memang sama sekali tak tertarik pada dunia yang telah membesarkan nama kakekku itu. "Kamu bikin kelas ini tambah rusuh," lanjutku sarkastis.

"Aduh ... Neng Teratai yang baik hati dan rajin menabung, ini penting untuk masa depan Indonesia." Justin mengepalkan tangannya lagi. Ah, terserah mereka saja.

Tak memedulikan teguranku, Kinar dan Justin masih terus berdebat. Aku akhirnya hanya bisa memutar bola mata malas. Jika seorang pria dan seorang gadis berdebat, tebak sendirilah siapa yang akan menang. Apalagi jika yang dihadapi adalah gadis secerewet Kinar Alfiani.

Aku hanya diam sembari menopang dagu dan memainkan kerudungku, menggulung-gulung ujung kain tak berdosa itu. Aku mulai bosan dengan suasana yang menyebalkan ini. Memang seharusnya tadi aku ke perpustakaan. Lebih berfaedah dibanding bergosip apalagi membahas calon presiden. Sama sekali tak menarik perhatianku. Ya, walaupun aku tahu risiko jika aku pergi ke sana. Orang-orang asing yang tak pernah melihatku itu akan terkejut melihat wajahku; lagi dan lagi. Selalu saja seperti itu jika aku bertemu orang baru.

Di tengah perdebatan dua sahabatku yang masih berlangsung, dan juga kecamuk pikiranku, Rio—Ketua Himpunan—memasuki kelas dan mendatangiku. "Ra, surat-suratnya udah lo antar belum?" tanya Rio terkesan buru-buru.

"Udah kok, Yo," jawabku langsung.

"Oh, bagus deh kalau gitu." Pria berkacamata itu manggut-manggut. "Makasih, ya."

"Iya, Yo, sama-sama."

"Oh ya, laporan kemarin ada sama lo, kan? Besok lo bawa, ya."

"Oke, siap!" seruku. Jabatanku sebagai sekretaris himpunan memang mengharuskanku berhadapan dengan surat-surat dan sejenisnya. Walaupun begitu, aku senang melakukannya. Lagi pula, sebentar lagi masa jabatan kepengurusanku akan berakhir.

"Rio!" panggil Andre, teman sekelas Rio yang kebetulan lewat di depan kelas. "Ciee ... deketin si Ara mulu," cibirnya asal.

"Apaan sih, lo? Sekretaris gue ya wajarlah." Rio menanggapi dengan nada tak suka. Sementara aku hanya diam menunjukkan ekspresi datar seperti biasa. Aku seharusnya sudah bisa menebak, di mana ada Andre di situ ada kericuhan. Pria itu memang merupakan pembuat onar kelas kakap di jurusanku. Aku tahu, dia akan menghina sebentar lagi. Tunggu saja.

"Eh, tapi Rio sama Ara cocok lho kalau diperhatiin." Teman Andre ikut berkomentar.

"Muka-muka jodoh, ya?" timpal Andre dengan tawanya.

"Iya, Ndre. Mirip. Sama-sama brewokan. Ha ha ...."

Andre langsung menjentikkan jarinya. "Bener banget, Bro! Ha ha ha ...."

Dua makhluk itu tertawa sejadi-jadinya. Membuat seisi kelas memberikan tatapan kesal ke arah mereka.

"Eh, lo ngapain sih ngomongin orang? Pergi sana! Berisik!" Kinar sudah sebal mendengar ocehan Andre dan kawannya yang sok terkenal itu. Alih-alih berhenti, mereka malah semakin tertawa.

Aku menatap Rio. Pria itu terlihat menahan amarah. Sebenarnya tak ada yang salah dari Rio. Pria itu cukup tampan, bertubuh atletis walaupun tak begitu tinggi, berkulit putih, serta memiliki otak yang cerdas tentunya. Ditambah lagi ia berasal dari keluarga berada. Namun, kedekatannya dengan seorang Teratai sering menyeretnya ikut menjadi bulan-bulanan. Padahal, kedekatanku dan Rio hanya sebatas rekan kerja, hanya sebagai ketua dan sekretaris. Tetapi teman-teman malah menganggap hal yang berbeda, dan menjadikan itu bahan gunjingan. Sebab menurut mereka, gadis sepertiku tak pantas bersanding dengan Rio. Hidup kami berkebalikan.

"Eh, Cecunguk, pergi sana! Sok ngomentarin orang, kayak lo berdua ganteng aja," sindir Justin tajam. Membuat Kinar dan teman-teman lain tertawa lepas, kecuali aku. Dan Rio.

Satu per satu teman-teman sekelasku mulai menyindir mereka dengan nada sarkas. Merasa kesal, Andre dan kawannya pun meninggalkan kelas. Berjalan songong dengan rokok di tangan. Benar-benar menyebalkan. Kebanyakan gaya, padahal IP semester mereka tak pernah mencapai angka tiga. Ditambah lagi sifat yang tak baik sebagai mahasiswa, semakin menambah nilai minus mereka.

"Nggak usah dimasukin ke hati, Ra, tahu sendiri kan Andre emang gitu," ujar Rio saat melihatku terdiam.

Aku menatap Rio, lantas tersenyum dan mengangguk. Pria itu pun pamit pergi, meninggalkan diriku yang kembali menyembunyikan wajah murung di balik senyum palsu. Tak ada yang tahu jika hal seperti ini sudah menjadi sifat alamiku; cepat tersinggung dan sakit hati. Namun, hal itu tak akan berlangsung lama. Sebab aku tak suka mengingat hal yang menyakitkan.

***

Selesai kelas, aku memutuskan untuk langsung pulang ke rumah. Padahal Justin dan Kinar mengajakku nonton di bioskop, ditraktir pula, tetapi aku menolak dengan halus. Lama-kelamaan aku merasa tak enak jika selalu ditraktir kedua sahabatku yang kaya raya itu. Aku menuju parkiran dan mengambil motor matic-ku yang sudah butut. Tubuhku yang ringkih membuatku agak kesulitan menggerakkan motor. Butuh beberapa menit hingga motor itu keluar dari parkiran.

Aku hendak memakai helm ketika mataku melihat seorang pria turun dari sebuah mobil putih tak jauh dari parkiran. Aku memicingkan mata, seakan-akan merasa familier dengan wajah pria itu. Kayak kenal, tapi siapa, ya?

Pria dengan setelan celana jins dan kemeja kotak-kotak biru itu mendekatiku. "Assalamualaikum," ucapnya.

Aku sempat terdiam beberapa detik. Menatap wajah tampannya. Pria ini sepertinya keturunan Arab.

"Assalamualaikum." Pria itu mengulang salamnya. Kali ini suaranya lebih keras.

"Eh, waalaikumsalam," jawabku sedikit gelagapan.

Pria itu tersenyum tipis, lantas bertanya, "Mau nanya, ini Fakultas Ekonomi bukan?"

"Iya, ini Fakultas Ekonomi," jawabku ramah. Kali ini aku sedikit menunduk, menjaga padanganku yang mulai membabi buta. Ingin rasanya aku menatap wajahnya terus-menerus.

"Kamu mahasiswi di sini? Jurusan apa?"

"Iya. Ekonomi akuntansi."

"Semester berapa?"

"Semester enam."

Pria yang terlihat seumuran denganku itu manggut-manggut. Ia menatapku sejenak, kemudian tersenyum. Aku tak mengerti mengapa ia tersenyum. Pria itu kembali berterima kasih dan akhirnya pamit pergi. Ia kemudian berlalu, meninggalkan diriku yang masih kebingungan memikirkan siapa makhluk berwajah tampan itu. Wajahnya familier, atau hanya perasaanku saja? batinku masih bertanya-tanya.

Tak ingin dipusingkan oleh hal itu, aku pun menyalakan mesin motor dan melaju meninggalkan pelataran kampus.

⭐⭐🌼🌼

4 Februari 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top