10. You're The Apple of my Eyes
[Selamat berbuka :D]
***
"Suga-saaan, kami menang!" Pemuda beta bersurai jingga menghambur diri ke pelukan Koushi. Koushi tertawa geli dan memberi usapan pada surai Hinata-- adik kelasnya yang memiliki serangan mematikan; duet dengan Kageyama Tobio.
"Otsukare, Hinata!" Hinata memampang cengir manis pada wajahnya. Tak lama kemudian, rombongan gagak lain pun menyusul.
"Suga-saaan!"
Si jabrik libero (Nishinoya) dan si botak (Tanaka) ikut menghampiri Koushi, ngode untuk meminta apresiasi yang ia lakukan pada Hinata. Pasang mata mereka berbinar-binar, mengingatkan Koushi pada anjing imut yang ia tidak sengaja ia temui sepulang sekolah. Koushi selalu peka dengan hal seperti ini, maka diulurkan tangan yang tadi memeluk Hinata untuk mengusak rambut mereka. Masing-masing satu tangan untuk para beta itu.
Pupil Nishinoya membesar seperti kucing, entah mengapa dia mendengkur-- padahal berasal dari kawanan gagak. Sedangkan Tanaka, si cepak itu menyunggingkan senyum, memamerkan deretan gigi putihnya; khas Koushi. Koushi terkekeh, manis sekali kedua adik kelasnya ini.
Dua alpha yang berbeda jenis (normal dan resesif) tiba di depan Koushi yang sedang memanjakan anak-anak gagaknya. Yang satu bersurai hitam pendek, yang satu bersurai kecokelatan panjang. Sawamura Daichi dan Azumane Asahi adalah nama mereka. Koushi melirik, seringai usil sengaja dipasang di bibirnya, "Wow, kalian mau diusap juga?"
Keduanya mengangguk pelan, agaknya malu dengan kemauan sendiri. Koushi membelalak, tidak menyangka ternyata keusilannya tidak dibantah. Astaga, ada apa dengan dua teman seangkatannya ini? Bertingkah seperti adik kelasnya yang imut saja. Meski begitu, Koushi memasang cengir hingga matanya menyipit; manis. Pertanda bahwa dia tidak menolak permintaan imut dari dua sahabatnya. Kedua tangannya ditarik dari Tanaka dan Nishinoya, beralih ke dua surai berbeda namun terasa halus.
"Kalian sudah berjuang keras! Manajer magang kalian ini sangat bangga, lho!"
Keduanya terdiam sejenak, lalu ikut memasang cengir yang sama. Kiyoko dan Yachi menyunggingkan kurva kala melihat kejadian manis itu.
"Sekarang, tinggal mengalahkan Ushiwaka!" Hinata sudah cukup lama mendeklarasikan perangnya dengan Ushijima Wakatoshi-- salah satu ace voli terbaik di Jepang. Jadi, menurutnya ini adalah kesempatan yang bagus. Rekan-rekannya yang lain menyetujui pernyataan Hinata sembari mengepalkan tangan mereka ke atas. Kecuali Asahi dan Yachi yang tersentak, terlihat ragu untuk mengalahkan Shiratorizawa. Dan, inilah saatnya Koushi beraksi.
Pemuda perak itu memasang ancang-ancang, dan, "Negativity, be gone!!" Perut Asahi disenggol keras dengan kakinya. Sementara, Yachi mendapat usapan lembut dari sang senpai; supaya gadis beta itu tidak gugup lagi. Asahi meringis, Yachi ber-eh.
"Itte, Suga! Iya, iya, aku tidak negatif lagi!"
"W-watashi mo! A-aku janji tidak akan b-berpikiran negatif lagi!!" Yachi mengatakan janji, Koushi mengaitkan jari kelingkingnya dengan si kouhai imut. "Nah, sudah janji beneran, ya!"
"Suga ..." Asahi tidak digubris Koushi, hatinya jadi agak terguncang. Pilih kasih sekali sahabat omeganya ini.
"Kerja bagus, kalian!" Ukai Keishin, pelatih mereka mendatangi mereka sembari memegang satu kantong plastik berisi pisang. "Nah, makanlah. Nanti saat pulang, kutraktir ramen. Kalau menang, ditraktir yakiniku sama sensei kalian."
"U-ukai-san!?" Takeda Ittetsu, guru pembimbing klub voli Karasuno menyuarakan enggan pada janji asal-asalan Ukai itu. Takeda tahu jelas kalau nafsu makan anak-anak didiknya ini sangat besar, bisa-bisa dia tidak akan makan selama sebulan.
Ukai menyeringai usil, Takeda menahan diri untuk tidak menimpuk beta di depannya. Saat dia hendak mengatakan kebenaran mengenai traktiran yakiniku, semua anak didiknya sudah terlanjur percaya. Timbul rasa tidak enak dari hati guru kikuk itu. Takeda tersenyum tipis, membatin tidak apa sesekali.
"Semangat! Maju ke final bonus yakiniku!!" Daichi dan Koushi berucap bersamaan. Diikuti dengan suara "OUU!!" dari masing-masing anggota.
Setelah itu, mereka melanjutkan langkah untuk keluar stadion, diiringi celoteh dan berbagai canda tawa. Koushi tersenyum, namun hati kecilnya tetap merasa gelisah. Rasanya, hatinya menjadi lebih penuh- dipenuhi oleh rasa khawatir pada Oikawa Tooru. Menimbang-nimbang, akhirnya Koushi memutuskan untuk berbalik arah dari arah jalan keluar gedung.
"Suga?!"
"Gomen, Daichi! Kalian duluan saja!"
Koushi berlari meninggalkan rombongan gagak. Daichi tetap memandang punggung mungil Koushi yang semakin lama semakin menghilang, dimakan oleh jarak. Sepasang iris segelap arang itu sayu, tersirat khawatir di dalamnya.
Bagaimanapun juga, Koushi adalah sahabatnya sedari kelas 1. Hanya terdapat 12 omega dari sekian ratus murid di Karasuno, dan Koushi adalah salah satunya. Dan di gedung ini, hanya terdapat 4 omega. Jumlah alpha lebih mendominasi; 16 orang. Sebagai sahabat dekat, Daichi khawatir pada sahabatnya yang merupakan omega ini. Apalagi jika mengingat tingkah laku pecicilan Koushi.
Pundak Daichi ditepuk oleh Asahi, lelaki bersurai panjang itu menggelengkan kepalanya, memberi isyarat untuk tidak mengkhawatirkan Koushi. Daichi tersenyum dan mengangguk, lalu melanjutkan perjalanan mereka menuju luar gedung.
***
Oikawa menyenderkan tubuhnya di pohon besar yang berada di luar gedung. Dia sedang menunggu teman-temannya yang sedang mampir ke minimarket untuk membeli makanan kecil. Iwaizumi sudah menyeretnya untuk ikut (sahabatnya ini sudah mengetahui sisi baik-buruk Oikawa), namun keras kepala Oikawa mengalahkan paksaan keras Iwaizumi.
Oikawa meneguk minuman ion pocara sweat hingga air tersebut mengalir dari dagunya. Sesudahnya, Oikawa menggenggam erat-erat botol plastik itu. Bawah bibirnya digigit kencang, darah hampir muncul karenanya. Alisnya menukik, iris hazelnya memancarkan masygul.
Kenapa? Batinnya. Dikalahkan oleh Kageyama, dan secara tidak langsung juga kalah lagi oleh Ushijima Wakatoshi. Hatinya dipenuhi amarah, namun matanya tidak mencerminkan hal yang sama. Air menetes sendirinya dari sana. Cairan bening itu mengalir menuruni pipi pemuda malang itu hingga membasahi tanah yang ia pijak.
Kageyama dan Ushijima sialan. Orang yang diberkahi spesial khusus harusnya musnah dari bumi. Pemuda itu melempar botol pocara yang tersisa sedikit dengan emosi. "Ukh!! Kurang ajar!"
Sendu semakin terdengar. Tangannya menggenggam kain baju di bagian dadanya. Rasanya sesak, perih, seperti ditusuk oleh beribu-ribu jarum; membuatnya tersiksa dibanding langsung mengakhiri penderitaannya. Ya Tuhan, mengapa dirinya tidak diberkahi spesial dengan voli darimu? Dirinya begitu menyukai voli, lebih dari siapapun. Lebih dari Kageyama, lebih dari Ushijima. Tapi, mengapa mereka? Mengapa Engkau memberikan mereka berkah dibanding dirinya?
"Kalau Oikawa, Oikawa yang merangsang bakat itu tumbuh. Itu hebat karena tidak semua orang bisa melakukannya. Tidak semua orang bisa berdedikasi pada satu hal segila dirimu. Menurutku, kau ini terlalu merendah, Oikawa."
"Jika diibaratkan, Kageyama adalah bunga udumbara! Terus, Oikawa adalah bunga matahari."
"Memang. Tapi, menurutku bunga matahari lebih bagus. Dia berusaha keras mengejar matahari untuk tetap bertahan hidup. Seperti Oikawa, dedikasimu terhadap bola voli itu terlalu besar! Seperti ... kalau kau tidak bermain voli, kau akan mati, begitu!"
Oikawa mendengus. Bunga matahari lebih hebat apanya? Bunga udumbara jelas jauh lebih unggul dibanding bunga manapun. "Suga-chan jangan sok menghiburku ..." Lirihnya. Pedih, hatinya bagaikan diiris oleh pisau kenyataan. Hatinya seperti diiris untuk dijadikan hidangan sebagai persembahan pada si surai bluberi dan seekor sapi.
Wajah Oikawa lecap, lengket karena air mata yang tumpah secara deras. Kedua belah pipinya terasa dingin, sekujur tubuhnya berkondisi sama seperti pipinya. Hingga, rasa hangat menyapa kedua belah pipi ketika sepasang tangan meraihnya; mengusap lembut. Oikawa menaikkan pandangannya, bertemu dengan pasang hazel dengan satu titik hitam manis di bawah sebelah kanan.
"Sakit, ya?"
Dia menyunggingkan senyum, bukan seringai jahil- melainkan senyum teduh dan tulus. Jemari lentiknya mengusap kedua pipinya perlahan. Jemarinya bertekstur kasar, namun itulah yang membuatnya terasa lembut di pipi.
Pemuda surai monokrom yang terlintas kata-katanya dalam batin, Sugawara Koushi.
Oikawa menepis tangan Koushi. Tidak sudi diberi ketenangan batin oleh orang yang merangkap sebagai pihak lawan sekaligus pemuda aneh nan tengil yang tidak ia sukai. Lelaki kecokelatan itu terang-terangan mendecih, mengusir Koushi lewat bahasa mulut yang tidak jelas.
Koushi tidak akan peka dengan hal seperti ini, dia akan tetap melakukan apa yang harus dia lakukan. Tangannya merogoh saku, meraih sapu tangan berwarna biru langit miliknya dan mengusap pipi sang alpha yang basah tidak karuan. Oikawa diam, tidak menggubris perlakuan Koushi karena ia terlalu lelah untuk sekedar meladeni pemuda yang ia kenali sebagai pribadi menyebalkan.
"Oikawa,"
Oikawa tidak merespon.
"Oikawa!"
Oikawa lagi-lagi tidak merespon. Matanya beralih dari Koushi.
"OIKAWA!"
Koushi menarik paksa dua pipi Oikawa untuk menghadap dirinya. "Lihat aku!"
Berdecak, Oikawa terpaksa mengarahkan pandangannya lagi ke Koushi. Pasang hazel menatap miliknya lamat, seolah sedang menatap sesuatu seperti harta karun; berharga. Hazel itu menatap miliknya pula seolah-olah sedang menjadi peneduh untuk hujan di dalam sana. Tatapannya meneduhkan, disertai dengan kurva yang melengkung cantik. Oikawa terdiam, hatinya berdesir- terasa seperti ditiup semilir angin musim semi.
"Oikawa hebat."
Si alpha menggertakan giginya. "APA BUKTINYA KALAU AKU HEBAT?! Mengalahkan Tobio saja tidak bisa!! Aku ... aku manusia tidak berbakat, rendahan, tidak mampu untuk melakukan apapun selain belajar dan voli. Aku hanya menyukai kegiatan bervoli, Sugawara ... tapi kenapa ..."
Oikawa tersenyum miris. Sorot matanya tidak lagi menatap hazel Koushi. "Aku ... aku memang bintang semu."
Koushi tersenyum tipis dan berjinjit. Jemari lentiknya mengusap lembut kelopak mata milik sang alpha.
"Ini. Aku dapat melihat ambisi yang menggelora di sini. Ambisi yang tidak ingin kalah dari siapapun, ambisi untuk menjadi lebih hebat. Lebih besar dari milik Kageyama maupun Ushiwaka. Kecintaanmu terhadap bola voli lebih besar dari milik siapapun yang pernah kutemui. Mereka sudah menjadi bintang, namun Oikawa adalah hasil dari supernova. Tahu itu? Proses hancurnya bintang, namun akan lahir bintang baru. Lama prosesnya, namun setelah itu ia menjadi bintang yang paling terang."
Koushi mengalihkan tangan kanannya untuk mengelus surai kecokelatan sang alpha. "Dan kau ... kau berharga. You're the apple of my eyes. Jangan merendahkan dirimu sendiri. Ketahuilah, usaha kerasmu sebenarnya membuahkan hasil. Kau tidak tahu kami sebenarnya takut setengah mati saat berhadapan dengan Seijoh."
Oikawa mendengus. Koushi adalah cenayang atau apa? Tidak masuk akal. Matanya bisa melihat hal abstrak seperti kata "ambisi"? Tapi, kenapa matanya hendak menurunkan air mata lagi? Oi, oi, jangan di depan Koushi!
Oikawa terlambat mengontrol emosinya sendiri, cairan bening sudah menjadi sungai di pipinya. Lengannya yang berbalut jaket diangkat, hendak menggusur sungai yang mengalir deras. Koushi menahan lengan, lalu menarik tubuh yang lebih tinggi darinya ke dalam dekapan hangat. Tangan mengusap lembut punggung Oikawa yang bergetar karena menangis sesenggukan.
"Mhm, menangis saja. Maafkan aku, ya."
Tangannya yang lain mengusak surai cokelat Oikawa. Yang diusap tidak mampu lagi untuk gengsi lebih jauh, akhirnya menumpu kepalanya di pundak pemuda monokrom yang bertubuh mungil.
.
.
.
.
[Adalah author :"]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top